Tuesday, March 11, 2025

MISI RAHASIA: MEMBUKA BUNGKUS PERMEN DI MALAM HARI TANPA KETAHUAN

 




🎭 “MISI RAHASIA: MEMBUKA BUNGKUS PERMEN DI MALAM HARI TANPA KETAHUAN”

Karakter:

·         Rian – Tokoh utama, ingin makan permen diam-diam tengah malam. Jiwanya setengah ninja, setengah lapar.

·         Ibu – Sosok yang punya pendengaran ultra-sensitif dan radar anti-gula di malam hari.

·         Narator – Suara latar dramatis, bergaya film aksi/mata-mata.

·         Kucing (opsional) – Jadi pengalih perhatian atau ikut bikin misi kacau.

 

[Adegan 1 – Tengah Malam, Rumah Hening]

(Lampu padam. Semua orang tidur. Jam digital menunjukkan pukul 00:31.)

Narator (suara tegang):
Dalam dunia yang penuh bahaya, hanya satu anak muda yang berani melawan aturan...
Makan permen jam 12 malam.
Inilah... Misi Rahasia: Operasi Permen Tengah Malam.

(Rian mengendap-endap ke dapur. Pelan, dramatis. Musik tegang ala Mission: Impossible.)

Rian (berbisik ke diri sendiri):
Oke, target: permen rasa stroberi di laci kanan.
Hambatan: lantai kayu berdecit, plastik berisik, dan radar telinga ibu yang setara kelelawar militer.

 

[Adegan 2 – Misi Dimulai]

(Rian membuka laci pelan. Menemukan kantong plastik isi permen. Saat disentuh…)

SUARA PLASTIK: KRESEEEK KRESEEEK KREEEET

Rian (panik):
Astaga. Plastik ini kayak pengkhianat.

Narator:
Diketahui: plastik pembungkus permen dibuat dari material paling berisik di seluruh tata surya.
Bahkan lebih berisik dari tetangga yang karaokean.

(Rian memutuskan strategi baru: membawa permen ke kamar.)

 

[Adegan 3 – Operasi Pembukaan Bungkus]

(Di kamar. Lampu mati. Hanya cahaya dari HP. Rian duduk seperti sedang membongkar bom.)

Rian:
Oke. Satu gerakan salah, dunia bisa hancur.
Target: buka permen tanpa suara.

(Ia mulai pelan-pelan membuka bungkus.)

SUARA BUNGKUS: KREEEEET—

(Ia berhenti. Tunggu. Dengar suara... langkah kaki?)

SUARA IBU (dari jauh, galak & mengintimidasi):
SIAPA ITU YANG MAINAN PLASTIK MALAM-MALAM?!
UDAH JAM BERAPA, RIAN?!

(Rian panik, sembunyikan permen ke bawah bantal.)

Rian (tegang, berbisik):
Operasi gagal. Ulangi: operasi gagal. Target terdeteksi.

 

[Adegan 4 – Plot Twist]

(Ibu membuka pintu, bawa senter.)

Ibu:
Kamu ngapain, hah?

Rian (grogi):
Ngg... ini... aku... meditasi.

Ibu (melirik mencurigakan):
Meditasi sambil pegang plastik?

(Suara “kresek” tiba-tiba muncul dari balik pintu…)

Narator (dramatis):
Dan saat itulah… fakta mengejutkan terungkap…

(Kamera beralih ke... IBU. Ternyata... beliau juga pegang permen.)

Rian (kaget):
Ibu?! Ibu juga?!

Ibu (tersipu, tapi tetap galak):
Ssst! Jangan berisik! Ayah belum tidur! Ini rahasia negara!

 

[Adegan 5 – Damai Tengah Malam]

(Keduanya duduk berdampingan, makan permen pelan-pelan dalam sunyi. Musik mellow instrumental.)

Rian:
Kita ini... pasukan pembungkus plastik.
Penuh dosa gula, tapi setia dalam suara kresek.

Ibu:
Dan kita nggak boleh ketahuan siapa pun...
...kecuali kucing.

(Kucing lewat, menatap sinis, lalu pergi tanpa komentar.)

 

Epilog

Narator (penuh hikmah):
Dalam hidup, ada pertempuran yang tidak pernah tertulis dalam sejarah…
Salah satunya adalah:
Membuka bungkus permen di malam hari tanpa membangunkan satu rumah.

 

Pesan Moral:

Permen itu manis. Tapi suara plastiknya... penuh pengkhianatan.
Dan kadang, orang yang melarang kita makan permen...
...ternyata juga ngumpet makan permen.

 


=====================

🎭 MISI RAHASIA: Membuka Bungkus Permen di Malam Hari Tanpa Ketahuan

Ada dua jenis orang di dunia ini:

  1. Yang bisa membuka permen tanpa suara,

  2. Dan yang berakhir membuka permen seperti sedang sobekin plastik bekas pembungkus panci baru.

Dan malam itu, saya... memilih untuk menjadi agen rahasia.

🕵️ Misi Dimulai: Jam 00.07 WIB

Semua rumah sudah sunyi.
Angin malam hanya terdengar dari kipas angin level satu.
Lampu kamar dimatikan. HP sudah dicas. Anak-anak tidur.
Suami sudah ngorok.

Lalu saya tergoda...
Satu permen rasa kopi...
Yang tadi sore saya sembunyikan di laci, agar tidak direbut anak.

Masalahnya satu:
Bungkusnya berbunyi seperti suara ledakan di film aksi.

🎯 Target Terkunci

Permen ditemukan. Bentuknya kecil, manis, mungil... dan berbungkus plastik foil yang mengkilap seperti harapan palsu.

Saya ambil pelan-pelan...

“Crk... krkk...
Eh. Baru disentuh aja udah bersuara.

Saya berhenti. Menahan napas. Menoleh ke arah ranjang.
Suami mendengus, lalu balik badan.
Aman.

Saya lanjut. Kali ini mencoba teknik sobek satu sisi perlahan.

“krRRRREEEETTTT.”

ASTAGA.

Bunyi itu seperti konser mini di tengah malam.
Saya langsung frozen, seperti anak kecil ketahuan nyontek.

🧠 Strategi Berubah

Oke. Rencana awal gagal.
Saatnya pakai teknik kamuflase bunyi.

Saya nyalakan kipas ke level tiga, biar ada suara angin.
Lalu saya batuk-batuk kecil, sambil SRET! buka bungkusnya.

Gagal.
Justru suara batuknya kalah sama suara plastik.

Akhirnya saya coba teknik ninja:
Buka bungkus di bawah bantal.

Katanya, bantal bisa menyerap suara.
Yang ada, malah bunyi plastiknya mantul ke gendang telinga seperti efek surround sound.

⚠️ Level Krisis

Di tengah perjuangan itu, anak saya yang umur 6 tahun...
Tiba-tiba duduk.
Matanya setengah terbuka.

“Mama... makan apa tuh?”

Saya spontan lempar permennya ke belakang ranjang dan pura-pura ngelus perut.

“Mama... ini... cuma nyari minyak kayu putih…”

Anak itu memandangi saya dengan tatapan curiga...
lalu tidur lagi.

Permen? Hilang di belakang ranjang.
Hidup saya? Nyaris juga.

📦 Epilog: Permen, Kau Licik

Keesokan paginya, suami saya menemukan permen itu di belakang kasur.

“Ini siapa yang ngemil tengah malam tapi gagal total?”

Saya jawab dengan kalimat andalan semua ibu:

“Bukan aku. Mungkin... angin.”

🎯 Pesan Moral:

Membuka permen di malam hari saat semua orang tidur adalah:

  • 20% teknik,

  • 30% keberuntungan,

  • dan 50% mengatur napas biar nggak panik.

Dan percayalah…
Permen di malam hari jauh lebih berisik dari yang kamu kira.
Tapi rasanya juga... lebih nikmat dari biasanya.

Kalau kamu pernah melakukan “Misi Rahasia” serupa—entah itu buka permen, ambil keripik, atau makan mi instan tengah malam—tulis di komentar ya!

Atau tag teman kamu yang pasti gagal menyembunyikan suara bungkus camilan.

Monday, March 10, 2025

🎭 "Balada Remote TV yang Selalu Hilang"

 


🎭 "Balada Remote TV yang Selalu Hilang"

Karakter:

·         Ibu – Sabar, rajin, tapi bisa jadi detektif saat remote hilang.

·         Ayah – Sok tenang, sok tahu lokasi remote, tapi 80% salah.

·         Rara – Anak remaja, pemilik hak veto atas semua channel.

·         Dito – Adik kecil, sering dicurigai, padahal polos.

·         Narator – Suara latar nyinyir yang membocorkan rahasia tiap tokoh.

 

[Adegan 1 – Ruang Keluarga, Pagi Hari]

(TV menyala menampilkan layar biru. Semua orang di ruang tamu. Tapi… remote tidak terlihat.)

Ibu
(Tangan di pinggang)
Oke. Siapa yang terakhir megang remote?

Rara
(Belaga sibuk pegang HP)
Bukan aku, Bu. Terakhir kayaknya Ayah.

Ayah
(Harap-harap cemas)
Lho, masa saya? Kan saya tidur dari tadi sore.

Dito
(Polos)
Aku pegang tadi… terus aku main pesawat… terus… aku lupa.

Narator
Dan di situlah awal tragedi dimulai.
Satu rumah. Satu remote. Banyak tersangka.

 

[Adegan 2 – Proses Pencarian]

(Semua mulai mencari remote dengan gaya masing-masing. Musik tegang seperti film detektif.)

Ibu
(Buka bantal sofa satu per satu, seperti sedang cari emas)
Kok bisa sih benda sepanjang 15 cm ini menghilang kayak diculik alien?!

Ayah
(Cek kulkas, freezer, dan dispenser)
Kita nggak boleh abaikan kemungkinan-kemungkinan absurd.

Rara
(Aktif scroll HP)
Bentar-bentar. Aku search: “Cara mencari remote TV yang hilang secara spiritual.”

Dito
(Senang sendiri)
Aku nemu remote mobil-mobilan. Bisa nggak, ya?

Narator
Dan inilah kekuatan remote:
Saat hilang, semua orang merasa jago investigasi. Tapi hasilnya: nol besar.

 

[Adegan 3 – Ketegangan Meningkat]

Ibu
(duduk pasrah)
Sudah 30 menit kita cari, masih belum ketemu.
TV menyala sia-sia. Listrik terbuang. Sabar mulai menguap.

Ayah
(Berkata bijak)
Mungkin… mungkin remote tidak hilang.
Mungkin dia hanya ingin sendiri.
Menjauh dari hiruk pikuk kehidupan modern.

Ibu
(Antara marah dan geli)
Itu remote, bukan mantan pacar!

 

[Adegan 4 – Penemuan Mengejutkan]

(Dito mendadak berseru dari bawah meja.)

Dito
BUUUU!! Aku nemu!!!
Remote-nya ada di dalam… tempat nasi!

Ibu, Ayah, dan Rara serempak:
APA?!

Dito
Tadi waktu makan ayam, aku pegang remote juga... terus aku bingung... jadi aku simpan aja.

Narator
Remote ditemukan. Damai kembali. Tapi luka di hati… masih tertinggal.

 

[Epilog – 5 Menit Kemudian]

(TV mulai dipindah-pindah channel oleh Rara. Semua sudah tenang.)

Ibu
Eh, remote-nya mana lagi?

Ayah
Lho… kan tadi di tangan kamu?

Rara
Enggak… tadi aku taruh di...

Dito
(Ekspresi panik)
...Bukan aku kali ini!!

Narator
Dan begitulah...
Remote TV, kecil bentuknya... besar pengaruhnya... hilang datangnya tak bisa diprediksi.
Mungkin bukan remote yang hilang.
Mungkin… kita yang belum siap kehilangannya.

 

Pesan Moral:

Jangan remehkan remote TV.
Karena begitu dia hilang,
satu keluarga bisa berubah jadi tim SAR.

 


=======================================================

🎭 Balada Remote TV yang Selalu Hilang

Di setiap rumah, pasti ada satu benda kecil tapi punya kekuatan besar. Bukan emas, bukan surat tanah, tapi...

REMOTE TV.

Benda mungil ini punya kemampuan mengendalikan semua orang di rumah. Saat dia ada, semua damai. Tapi begitu hilang...

Perang Dunia Ketiga pun bisa dimulai.

Dan pagi itu, di ruang keluarga keluarga kecil kita, perang pun meletus.

🛋️ [ADEGAN 1 – TV Menyala, Remote Menghilang]

TV sudah nyala, layar biru menatap semua orang dengan tatapan "ayo, ganti channel dong."
Tapi... tidak ada yang bisa. Karena remotenya hilang.

Ibu berdiri dengan tangan di pinggang, tatapan tajam seperti detektif kriminal.

Ibu:
"Oke. Siapa yang terakhir megang remote?"

Rara, si remaja yang hidupnya sudah menyatu dengan HP, menjawab tanpa menoleh:

Rara:
"Bukan aku, Bu. Terakhir kayaknya Ayah."

Ayah yang baru sadar dia diseret jadi tersangka langsung panik elegan:

Ayah:
"Lho, masa saya? Kan saya tidur dari tadi sore!"

Dan seperti biasa, tersangka utama adalah makhluk paling kecil dan paling polos di rumah:

Dito (6 tahun, lugu):
"Aku pegang tadi… terus aku main pesawat… terus… aku lupa."

Narator:
Dan di situlah awal tragedi dimulai.
Satu rumah. Satu remote. Banyak tersangka.
Dan semuanya... bersikeras tak bersalah.

🔍 [ADEGAN 2 – Misi Pencarian Remote Dimulai]

Operasi SAR pun resmi dimulai. Semua orang bergerak dengan gaya masing-masing.

Ibu: Buka-buka bantal sofa satu per satu kayak sedang cari tambang emas.
Ayah: Ngecek kulkas, freezer, sampai dispenser. Karena “siapa tahu aja masuk situ.”
Rara: Googling. Tapi bukan cara mencari remote secara logis. Dia malah cari:

“Cara menemukan remote TV yang hilang secara spiritual.”

Sementara itu, Dito…

Dito:
"Aku nemu remote mobil-mobilan. Bisa nggak ya ganti channel pakai ini?"

Narator:
Dan itulah keajaiban remote.
Saat dia hilang, semua orang tiba-tiba merasa seperti detektif...
Tapi hasilnya: nol besar dan satu rumah makin panas.

🔥 [ADEGAN 3 – Ketegangan Menyentuh Puncaknya]

Waktu terus berjalan. TV tetap menyala, menayangkan... layar biru.
Ibu sudah pasrah, duduk di sofa sambil pijat pelipis.

Ibu:
"Sudah 30 menit kita cari, masih belum ketemu.
TV nyala sia-sia. Listrik terbuang. Sabar mulai menipis."

Tapi Ayah tetap sok filosofis:

Ayah (dalam mode bijak):
"Mungkin… remote tidak hilang. Mungkin dia hanya... ingin sendiri.
Menjauh dari hiruk pikuk kehidupan modern."

Ibu:
"Itu remote, Pak. Bukan mantan pacar!"

🧺 [ADEGAN 4 – Kebenaran Terungkap]

Tiba-tiba, terdengar teriakan penuh kemenangan dari bawah meja makan.

Dito:
"BUUUU!! Aku nemu!!!
Remote-nya ada di dalam… tempat nasi!"

Seluruh rumah terdiam.

Ibu, Ayah, Rara (serempak):
"APA?!"

Dito (nyengir):
"Tadi pas makan ayam, aku sambil pegang remote… terus aku bingung, jadi aku simpen aja."

Narator:
Remote ditemukan. Kedamaian kembali hadir.
Tapi luka di hati... dan listrik yang sudah kebuang... tetap menyisakan trauma.

📺 [EPILOG – Lima Menit Kemudian…]

TV akhirnya berfungsi. Rara pegang kendali penuh atas remote, mulai gonta-ganti channel seperti dewa kecil. Semua sudah tenang...

Sampai...

Ibu:
"Eh, remote-nya mana lagi?"

Ayah:
"Lho… tadi di tangan kamu?"

Rara:
"Enggak… tadi aku taruh di…"

Dito (langsung defensif):
"BUKAN AKU KALI INI!!"

Narator:
Dan begitulah…
Remote TV — kecil bentuknya, besar pengaruhnya.
Hilang, datang, dan kadang... membuat satu keluarga bertanya-tanya:

“Apakah kita yang belum siap kehilangannya… atau dia yang terlalu bebas dicintai semua orang?”

🎯 Pesan Moral:

Jangan remehkan remote TV.
Begitu dia hilang,
Satu keluarga bisa berubah jadi tim pencarian dan penyelamatan nasional.
Dan kadang... jawaban dari misterinya...
ada di tempat nasi.


Sunday, March 9, 2025

"Suami Disuruh Pilih Gorden, Hasilnya Bencana"


🎭  "Suami Disuruh Pilih Gorden, Hasilnya Bencana"

Karakter:

·         Maya – Istri yang perfeksionis, stylish, dan percaya suaminya “bisa disuruh belanja hal simple.”

·         Doni – Suami polos, sok yakin, tidak tahu bedanya gorden dan taplak meja.

·         Penjual Gorden – Ramah, tapi pasrah.

·         Narator – Menjelaskan isi hati para tokoh dengan gaya nyinyir.

 

[Adegan 1 – Di Rumah]

(Maya duduk di sofa sambil scroll Pinterest. Doni baru bangun, masih pakai kaus tidur.)

Maya:
Sayang, kita ganti gorden ruang tamu, yuk.

Doni:
(garuk-garuk kepala)
Oke. Warna apa?

Maya:
Yang netral, elegan, klasik, tapi nggak membosankan. Pokoknya cocok sama tone ruang tamu, ya.

Doni:
(ngangguk yakin)
Tenang, serahkan pada ahlinya.

Narator:
Dan di sinilah letak kesalahan terbesar dalam rumah tangga modern:
“Serahkan pada ahlinya.”

 

[Adegan 2 – Di Toko Gorden]

(Doni masuk ke toko, menatap kebingungan. Semua gorden terlihat… seperti gorden.)

Penjual:
Selamat siang, Pak. Mau cari gorden yang seperti apa?

Doni:
(elegan)
Yang netral... klasik... tapi nyentrik... tapi juga... lembut... tapi berani.

Penjual:
(berpikir keras)
Bapak maunya... gorden atau zodiak?

(Doni menunjuk kain mencolok: ungu mengkilap dengan bordir naga dan glitter.)

Doni:
Nah, ini. Ini nih. Elegan banget. Ada unsur budaya Asia juga!

Penjual:
Itu sebenarnya kain pelapis untuk panggung dangdut, Pak.

Doni:
Justru! Biar ruang tamu kita punya vibes konser!

 

[Adegan 3 – Di Rumah, Gorden Terpasang]

(Maya pulang dari kantor. Lihat ke ruang tamu. Mendadak... sunyi. Lalu...)

Maya:
APA ITU?!

Doni:
Dengan bangga, saya persembahkan...
Gorden Galaxy Ungu Edisi Terbatas!

Maya:
Itu...
Itu kelap-kelip, Don!
Itu bukan gorden, itu seperti... kostum Didi Kempot untuk konser tahun baru!

Doni:
Tapi kan elegan? Ada unsur budaya? Ada sentuhan personal? Aku bahkan minta bordir nama kita di pojok!

Narator:
Dan di titik itulah Maya sadar...
Tidak semua hal bisa dipercayakan kepada suami. Bahkan sesuatu sesederhana: “Pilih gorden.”

 

[Adegan 4 – Epilog Rumah Tangga]

(Maya menggulung gorden ungu glitter itu. Doni duduk lemas.)

Maya:
Mulai sekarang, kamu urus yang lain aja ya. Misalnya... bayar listrik.

Doni:
Baik. Tapi kalau nanti meteran diganti sama disko lamp, jangan salahkan aku...

 

Pesan Moral:

Suami boleh berpendapat. Tapi untuk urusan interior, percayakan saja pada istri. Atau… bersiaplah hidup dengan gorden yang bikin tamu trauma.

 

🎭 Suami Disuruh Pilih Gorden, Hasilnya Bencana

Ada kalanya dalam rumah tangga, seorang istri percaya bahwa suaminya bisa diberi kepercayaan.
Dan hari itu... Maya salah.

Semua berawal saat Maya sedang duduk santai di sofa sambil scroll Pinterest—surganya inspirasi estetik dan jebakan tren interior.

“Sayang, kita ganti gorden ruang tamu, yuk,” kata Maya sambil tetap fokus melihat foto ruang tamu impian dengan tone beige, hijau sage, dan aura ‘calm but expensive’.

Doni, sang suami tercinta, yang baru bangun tidur dan masih pakai kaus oblong dari zaman PDKT, menjawab penuh percaya diri:

“Oke. Warna apa?”

“Yang netral, elegan, klasik, tapi nggak membosankan. Pokoknya cocok sama tone ruang tamu, ya,” jawab Maya, seperti menjelaskan soal estetika pada calon mahasiswa desain interior.

Doni mengangguk mantap.

“Tenang, serahkan pada ahlinya.”

Dan di sinilah letak kesalahan fatal dalam sejarah rumah tangga Indonesia:

“Serahkan pada ahlinya.”

[Misi Gorden: Doni di Lapangan]

Berbekal semangat dan kepercayaan diri yang berlebihan, Doni pun berangkat ke toko gorden. Setibanya di sana, dia berdiri bingung. Semua kain terlihat sama: panjang, mengalir, dan... ya, seperti gorden.

Penjual menyapa ramah, “Selamat siang, Pak. Mau cari gorden yang seperti apa?”

Doni, dengan gaya seperti arsitek yang baru menang sayembara desain, menjawab:

“Yang netral... klasik... tapi nyentrik... lembut... tapi berani.”

Penjual terdiam. Matanya menerawang, mencoba menguraikan maksud dari kalimat puitis tapi tidak aplikatif ini.

“Bapak maunya... gorden atau zodiak?”

Akhirnya, Doni menunjuk satu kain mencolok berwarna ungu metalik, lengkap dengan bordiran naga emas dan aksen glitter.

“Nah, ini! Elegan banget! Ada unsur budaya Asia juga!”

Penjual menatap kain itu, lalu pelan menjelaskan:

“Itu sebenarnya kain pelapis panggung dangdut, Pak.”

“Justru! Biar ruang tamu kita punya vibes konser!”

[Gorden Terpasang: Mimpi Buruk Dimulai]

Sore harinya, Maya pulang kerja. Dia membuka pintu rumah dengan santai… lalu terdiam.

Apa yang dia lihat di ruang tamu bukanlah suasana estetik Pinterest yang dia harapkan, tapi seperti backstage konser orkes keliling.

“APA ITU?!” jerit Maya.

Doni, yang tampaknya bangga dengan pencapaian artistiknya, berdiri di depan gorden itu seolah sedang memperkenalkan karya seni kontemporer:

“Dengan bangga, saya persembahkan...
Gorden Galaxy Ungu Edisi Terbatas!

“Itu... kelap-kelip, Don! Itu bukan gorden, itu kayak kostum Didi Kempot waktu konser tahun baru!”

Doni tetap bertahan. Ia menyebutkan kata-kata ajaib seperti “unsur budaya”, “sentuhan personal”, bahkan:

“Aku minta bordir nama kita di pojok. Romantis, kan?”

Narator dalam hati Maya berkata lirih:

“Dan di titik itulah Maya sadar… tidak semua hal bisa dipercayakan kepada suami. Bahkan sesuatu sesederhana: pilih gorden.

[Epilog Rumah Tangga]

Besoknya, Maya terlihat menggulung gorden ungu itu dengan tatapan datar. Doni duduk di sudut ruangan, seperti murid yang kena skors.

“Mulai sekarang, kamu urus yang lain aja ya. Misalnya... bayar listrik,” kata Maya tegas.

Doni mengangguk pasrah, lalu bergumam:

“Tapi kalau nanti meteran diganti sama disko lamp, jangan salahkan aku…”

🎯 Pesan Moral:

Suami boleh berpendapat.
Tapi untuk urusan interior rumah, sebaiknya pendapat itu disimpan di dalam hati.

Atau…
Bersiaplah hidup dalam rumah yang tampak seperti panggung orkes keliling.
Dan tamu-tamu pun pulang dengan trauma visual.

Kalau kamu pernah mengalami kejadian seperti ini—baik sebagai Doni maupun Maya—tenang, kamu tidak sendiri.
Silakan share cerita paling absurd versi kamu di kolom komentar!
Dan ingat:
Satu keputusan interior bisa mengubah suasana rumah... dan status hubungan.


Saturday, March 8, 2025

Hidup di Kos yang Dikuasai Setan (Tapi yang Nyata adalah Tetangga Berisik)


– Sebuah kisah horror... yang berubah jadi horor psikologis karena volume speaker tetangga –

 

Karakter:

·         Rino – mahasiswa baru, anak rantau, gampang parno.

·         Ucup – teman sekamar Rino, skeptis, logis, dan cuek.

·         Bang Doni – tetangga kos sebelah, penyuka musik dangdut remix dan horror tengah malam.

·         Narator – suara latar dramatis.

 

[Adegan 1: Awal Kedatangan]

(Kamar kos sederhana. Rino baru pindah, membereskan koper. Ucup sedang makan mie instan.)

Rino
Bro… ini kosnya serem banget ya. Temboknya lembab, lampu kamar mandi kedap-kedip, dan tadi pas aku masuk… ada suara cewek nangis pelan.

Ucup
(Seruput mie)
Itu pasti tetangga sebelah. Tiap hari dia nonton sinetron horor sambil nambah echo sound effect.

Rino
Serius? Gue kira itu kuntilanak.

Ucup
Sama aja sih. Cuma yang ini bayar WiFi tiap bulan.

 

[Adegan 2: Malam Pertama]

(Malam tiba. Lampu dipadamkan. Rino mencoba tidur tapi terus gelisah.)

Rino
Bro, lu denger nggak?

Ucup
(Dari kasur)
Denger apa?

Rino
Itu… suara langkah kaki di atap. Terus tadi pintu bunyi sendiri. Kayak... ada yang bisik-bisik gitu.

Ucup
(Sambil setel YouTube)
Tenang. Itu Bang Doni. Kalau malem dia suka testing speaker baru. Kadang pakai backsound film The Conjuring.

Rino
Ya Allah... aku kira jin lokal, ternyata DJ lokal.

 

[Adegan 3: Puncak Kengerian]

(Jam 1 dini hari. Rino terbangun. Kamar remang. Tiba-tiba terdengar suara perempuan tertawa pelan dari luar jendela.)

Rino
(Wajah pucat)
Bro! Bangun! Gue denger tawa kuntilanak!

Ucup
(Malas bangun)
Itu bukan kunti, itu suara tetangga cewek lantai atas. Lagi live TikTok nyoba filter setan sambil ketawa sendiri.

Rino
(Berkeringat)
Lu yakin?

Ucup
100%. Kemarin juga dia bikin konten setan teriak-teriak. Tapi yang serem itu bukan kontennya, tapi... jumlah likes-nya ratusan ribu.

 

[Adegan 4: Akhir yang Melegakan (dan Menyebalkan)]

(Besok paginya. Rino duduk sambil minum teh. Wajah lelah, mata panda.)

Rino
Gue nggak tidur semaleman, Cup. Udah fix, ini kosan bukan angker… tapi gila.

Ucup
Selamat datang di kehidupan kos, bro. Kadang yang lebih serem dari makhluk halus adalah tetangga yang doyan volume 100 jam 2 pagi.

Rino
Gue dulu ngebayangin hidup sendiri itu tenang, kayak di film. Tapi kenyataannya...

Bang Doni (teriak dari kamar sebelah)
“DJ SETAN REMIIIX!!! CEK CEK CEK...”

Rino (noleh ke arah kamera imajiner):
Tolong, ustaz... ruqyah speaker ini!

 

[Epilog]

Narator:
Di balik cerita horor, terkadang tersimpan realita yang lebih menakutkan...
Bukan karena hantu, bukan karena suara misterius...
Tapi karena tetangga kos yang

·         Punya speaker 12.000 watt,

·         Punya playlist seram,

·         Dan tidak punya batas waktu.

 

[Pesan Moral]

Jangan buru-buru manggil dukun waktu kamu dengar suara aneh di kos...
...bisa jadi itu cuma tetanggamu yang gagal jadi DJ dan memilih karier sebagai penebar teror sonik.

Friday, March 7, 2025

Bimbingan Online yang Tidak Berjalan Mulus


– Ketika Mahasiswa Coba Diskusi Skripsi lewat Zoom, Tapi Dosennya Sibuk Main Burung –

 

Prolog:

Di zaman serba daring ini, semua bisa dilakukan lewat Zoom: rapat, kelas, lamaran online, bahkan... bimbingan skripsi.

Tapi seperti kata pepatah kampus:

"Yang penting bukan sinyal kuat, tapi nasibmu saat dosen buka kamera."

Dan hari ini... nasib berkata: “Selamat datang di mimpi buruk mahasiswa.”

 

[Karakter]

·         Arif – Mahasiswa tingkat akhir, wajah penuh harap dan trauma.

·         Pak Arwan – Dosen pembimbing yang terkenal "alamiah," cinta unggas dan kadang lupa kalau dia sedang Zoom.

·         Narator – Suara latar yang sok bijak.

 

[Adegan 1: Persiapan Penuh Harap]

(Kamar kos Arif. Kamera menyala. Rambut disisir, kemeja dipakai, tapi bawahnya masih sarung. Di layar, Zoom loading.)

Arif
(Sambil ngomong ke cermin)
Hari ini aku harus dapet ACC. Harus.
Kalau bisa, langsung diketik: "Silakan daftar sidang."
Aamiin.

(Zoom connect. Masuk ke ruang tunggu. Muncul tulisan: “Tunggu host memulai meeting.”)

Arif
(Sambil berdoa)
Ya Allah, mudahkanlah bimbingan ini. Jauhkan dari sinyal putus, suara delay, dan... burung.

 

[Adegan 2: Dosen yang Tak Terduga]

(Zoom tersambung. Kamera Pak Arwan menyala. Tapi... yang terlihat bukan wajah Pak Arwan, melainkan kandang besar. Suara burung ramai berkicau. Ada tangan sedang menyuap burung lovebird.)

Arif
(Pelan)
Pak... Pak Arwan?

Pak Arwan
(Dari luar kamera)
Oh iya, Arif... bentar ya... ini si Loly belum makan.

(Burung bersiul. Arif terpana. Layar Zoom terbelah: satu sisi burung, satu sisi wajah mahasiswa putus asa.)

Arif
(Pelan ke diri sendiri)
Yang dibimbing siapa sih, saya atau Loly?

 

[Adegan 3: Diskusi Penuh Gangguan]

Pak Arwan
(Baru muncul di layar, bawa burung nempel di bahu)
Nah, gimana Bab 2 kamu? Udah saya baca... tapi setengah. Sisanya, kemarin kena tumpahan pakan.

Arif
(Otak nge-lag)
P-pakan, Pak?

Pak Arwan
Iya. Loly tuh kalau makan suka loncat. Kertasmu kena serbuk biji kenari.
Tapi saya inget, kamu pakai teori Vygotsky ya? Cocok, cocok. Tapi...

(Tiba-tiba burung di bahunya bunyi nyaring: "TWEEEEEET!")

Pak Arwan
Sebentar ya, itu suara dia kalau nggak setuju. Mungkin teori Piaget lebih pas.

Arif
(Shock spiritual)
Teori... disetujui atau tidak... oleh burung?

 

[Adegan 4: Klimaks Kacau]

Arif
Pak, saya juga mau tanya soal metode penelitian saya. Kualitatif deskriptif, sudah cocok?

Pak Arwan
Hmm...
Sebentar ya, Loly kayaknya stres. Dia biasanya ngekek, sekarang diem aja.

Arif
(Melihat jam. Waktu bimbingan tinggal 5 menit.)
Pak, saya cuma minta dikoreksi bagian teknik pengumpulan data aja...

Pak Arwan
Tenang, nanti saya kirim lewat WA ya. Kalau nggak sibuk ngasih vitamin burung.

(Lalu layar Zoom Pak Arwan tiba-tiba mati. Putus.)

Arif
Halo? Pak?
Pak??
...Hello darkness my old friend...

 

[Epilog]

Narator:
Di era digital, tidak semua bimbingan berjalan mulus.
Kadang sinyal yang putus.
Kadang dosennya sibuk Zoom dari kandang burung.
Dan kadang... mahasiswa cuma bisa berkata:

“Antara saya dan Loly, tolong pilih salah satu, Pak.”

 

[Pesan Moral]

Bimbingan online itu butuh tiga hal:

1.      Sinyal kuat

2.      Mahasiswa siap

3.      Dosen tidak sedang jadi juragan lovebird

 

Thursday, March 6, 2025

Skripsi dan Keajaiban Kata “Fix”


(Kisah tragis-lucu perjuangan mahasiswa 99% jadi sarjana… tapi 100% kena revisi.)

Karakter:

·         Reno – mahasiswa semester 14, skripsi sudah 99% selesai (katanya).

·         Dinda – sahabat Reno, realistis dan suka nyeletuk.

·         Pak Dosen – pembimbing skripsi legendaris, kalem tapi selalu menyelipkan revisi.

 

[Adegan 1: Di Kantin Kampus]

(Reno duduk dengan wajah penuh kemenangan. Di tangannya ada flashdisk warna ungu dan map bening berisi skripsi tebal. Dinda datang dengan teh es dan ekspresi penasaran.)

Dinda:
Bro! Gimana? Udah fix?

Reno:
(Face confident)
Fix, Din. Udah. Ini bener-bener fix. Tinggal ACC terus maju sidang. Malam tadi aku sampe cium laptop.

Dinda:
(Curiga)
Cium laptop? Reno, kamu baik-baik aja? Jangan sampe kamu halu gara-gara bab 4.

Reno:
(Hidupkan mode motivator)
Dinda... hidup ini tentang konsistensi dan ketekunan. Kamu lihat ini? (angkat skripsi)
Ini bukan hanya kertas. Ini... harapan keluarga besar dari tiga kabupaten.

Dinda:
(Seruput teh)
Ya semoga aja dosen pembimbingmu sependapat...

 

[Adegan 2: Ruang Dosen Pembimbing]

(Pak Dosen duduk santai di ruangannya. Reno datang dengan wajah percaya diri. Senyum lebar. Menyerahkan skripsi seperti menyerahkan undangan pernikahan.)

Reno:
Pak… ini naskah final saya. Sudah fix. Fix banget. Saya bahkan kasih spasi ganda pakai cinta.

Pak Dosen:
(Senyum tipis)
Wah, hebat. Kita lihat dulu ya… (buka halaman)
Hmm…
Bab 1... baik.
Bab 2... mantap.
Bab 3... oh, bagus.
Bab 4... nah... ini dia.

Reno:
(Ekspresi berubah sedikit)
Kenapa Pak? Ada yang keliru?

Pak Dosen:
Cuma perlu sedikit revisi kecil...

Reno:
(Sigap ambil catatan)
Oke Pak. Revisi kecil. Minor. Aman. Kayak tambalan luka kecil.

Pak Dosen:
Ya, cuma tambahkan dua teori pendukung, ganti semua diagram dengan SPSS versi terbaru, perbaiki metode, ganti daftar pustaka dengan yang pakai APA style, dan...

Reno:
(Panik mode aktif)
...dan?

Pak Dosen:
Dan buatkan bab 5 yang lebih eksploratif. Dan jangan lupa daftar isi ulang, karena halaman berubah semua.

Reno:
(Tersenyum... lalu membeku seperti patung Pancoran)
Fix, ya Pak?

Pak Dosen:
Fix... untuk direvisi.

 

[Adegan 3: Kembali ke Kantin]

(Reno kembali duduk di meja. Skripsi tampak lebih tebal dari sebelumnya. Dinda menatapnya dengan ekspresi “udah kuduga.”)

Dinda:
Gimana? Fix?

Reno:
(Berat napas)
Fix…
Fix… ternyata cuma kata pengantar menuju neraka akademik.

Dinda:
Jangan lebay, Ren.

Reno:
Aku udah 99%, Din. Tapi ternyata 1% itu bukan sisa. Itu plot twist.

Dinda:
(Lempar kerupuk)
Yah... itu tandanya kamu mahasiswa tulen. Kalau skripsimu nggak pernah direvisi mendadak, gelar S1-nya bisa dibatalkan sepihak sama dewa kampus.

Reno:
Tapi aku udah janji ke mamaku. Katanya kalau aku lulus tahun ini, aku dibikinkan spanduk.

Dinda:
Gampang. Bikin spanduk-nya dulu. Lulusnya belakangan. Itu yang banyak dilakukan orang tua Indonesia.

 

[Adegan Penutup: Di Kamar Reno]

(Reno duduk depan laptop. Halaman skripsi terbuka. Ia menulis ulang dengan tatapan pasrah.)

Reno:
(Sambil mengetik pelan)
Fix.
Fix.
Fix revisi.
Fix hati yang patah.
Fix hidup ini misteri.

 

Narator:
Dalam dunia skripsi, "fix" bukanlah akhir.
"Fix" adalah awal dari revisi yang tak berkesudahan.
Tapi ingatlah, wahai pejuang skripsi...
Setiap revisi mendekatkanmu...
...ke titik menyerah yang lebih tinggi.