Ada masa dalam hidup kita di mana kita merasa seperti penulis handal. Tapi bukan karena nulis novel, skripsi, atau surat lamaran kerja. Bukan. Kita menulis panjang lebar karena… cinta.
Iya, cinta.
Yang bikin jari-jari kita mengetik seperti jurnalis deadline, tapi isinya bukan
berita dunia, melainkan “perasaanku padamu yang tak terbatas tapi kamu anggap
angin lalu.”
Dan
klimaksnya?
Setelah nulis sepuluh halaman penuh curahan hati, si doi cuma bales:
“OK.”
1. Awal yang Penuh Harapan
Semua berawal
dari niat baik.
Kamu merasa hubungan mulai renggang, komunikasi mulai hambar, dan doi mulai
sibuk dengan “tugas negara” entah apa. Jadilah kamu duduk, membuka laptop (atau
notes HP), dan mulai menulis.
“Sayang, aku
nulis ini bukan untuk menyalahkan, tapi untuk mengungkapkan isi hati aku yang
selama ini mungkin kamu abaikan...”
Kalimat
pembuka sudah kayak surat untuk PBB. Emosi tertata, diksi teratur, gaya bahasa
penuh metafora. Pokoknya niat banget.
Setiap
paragraf diisi dengan refleksi diri, kenangan manis, dan sedikit bumbu drama
Korea.
Kalimatnya halus tapi dalam.
Bahasanya lembut tapi penuh getar-getar kesedihan.
Pokoknya
kamu yakin, setelah doi baca surat ini, dia bakal sadar:
“Ya Tuhan, aku gak pantas ninggalin orang sebaik ini!”
2. Niatnya Ngasih Surat Cinta, Tapi Jadi Skripsi
Kamu nulis
begitu panjang sampai lupa sudah berapa halaman.
Setiap kali mau berhenti, muncul ide baru:
·
“Oh iya, aku belum bahas tentang malam pertama
kita makan bakso bareng.”
·
“Oh, aku juga harus tulis tentang waktu kamu
marah cuma gara-gara aku typo nulis ‘sayank’ jadi ‘sayanf’.”
Tanpa
sadar, surat itu sudah mirip bab satu skripsi: ada latar belakang, tujuan
penulisan, pembahasan, dan kesimpulan. Bahkan kamu sempat mikir buat bikin daftar
pustaka kalau doi nanya sumber referensi perasaanmu.
3. Kirim dengan Harap-Harap Cemas
Setelah
nulis sepuluh halaman penuh emosi dan logika yang campur aduk, kamu baca ulang.
Terharu sendiri. Nangis sedikit. Lalu bangkit lagi.
“Ya Allah,
kok aku bisa sedalem ini, sih.”
Kamu lalu
tekan tombol send.
Chat terkirim. Centang dua.
Dan di situ kamu mulai menunggu, seperti rakyat menunggu hasil pemilu.
Lima
menit...
Sepuluh menit...
Satu jam...
Masih belum dibaca.
Kamu
refresh, buka lagi, tutup lagi. Cek jaringan. Matikan WiFi. Hidupkan lagi.
Masih centang dua.
Doi belum baca.
4. Momen “Dibaca” yang Deg-Degan
Akhirnya...
ting!
Pesanmu dibaca. Ada tanda “Read at 22:14.”
Kamu
deg-degan. Jantung berdegup cepat, tangan dingin.
Otak mulai berandai-andai:
“Mungkin dia lagi nyusun jawaban panjang juga, kan?”
“Dia pasti butuh waktu buat mikir. Ini kan surat penting.”
“Pasti dia juga terharu.”
Kamu
menatap layar dengan penuh harap.
Satu
menit... dua menit... lima menit...
Lalu muncul
notifikasi:
“OK.”
Hanya dua
huruf.
Tanpa emoji. Tanpa tanda baca. Tanpa konteks.
Cuma: OK.
5. Dunia Langsung Slow Motion
Kamu
menatap layar HP tanpa berkedip.
Mata mulai panas, telinga berdenging, dan waktu seolah melambat.
“OK???”
“SEPULUH HALAMAN CUMA DIBALAS OK???”
Kamu bahkan
sempat ngecek sinyal. Siapa tahu pesannya belum terkirim semua. Tapi enggak,
itu beneran cuma “OK.”
Dan lebih
nyeseknya lagi, dia langsung offline.
Habis bales “OK,” dia ngilang kayak ninja.
6. Fase Menyangkal
Kamu mulai
bernegosiasi dengan realitas.
Mungkin doi salah pencet. Mungkin dia lagi sibuk.
Atau mungkin “OK” itu singkatan dari sesuatu?
“OK” = Oh
Kamu Keren?
“OK” = Oke
Kangen?
“OK” = Oh
Kembali?
Tapi makin
lama kamu sadar… enggak. Itu cuma “OK.”
Datar. Hampa. Seperti hatimu saat ini.
7. Fase Marah dan Drama Internal
Setelah
sadar bahwa “OK” itu bukan sandi rahasia cinta, kamu mulai marah.
“Lah, aku
nulis sepuluh halaman, pakai perasaan, pakai air mata, pakai grammar yang
bener, kamu bales cuma OK???”
Kamu mulai
kirim story di WA:
“Kadang
orang gak ngerti seberapa tulus kita, sampai akhirnya kita capek.” 😢
Atau di IG
Story:
“Jangan
balas cinta seseorang dengan satu kata, balaslah dengan ketulusan.”
Disertai lagu galau dari Tulus atau Hindia.
Lalu kamu
menatap HP lagi, berharap doi ngerasa bersalah. Tapi enggak, dia malah upload
story makan ayam geprek sambil ketawa.
8. Fase Galau, Tapi Tetap Sayang
Setelah
drama internal mereda, kamu mulai mellow.
Kamu baca ulang chat panjangmu.
Masih terharu sendiri.
“Padahal
bagus banget tulisanku. Kenapa cuma dibales ‘OK’ ya?”
Kamu mulai
mikir buat simpan chat itu di folder khusus:
📁 “Kenangan yang Tak Dibalas Sepadan.”
Dan tiap
kali kamu buka, kamu baca lagi, lalu nangis sedikit, lalu ngakak sendiri karena
sadar betapa lebay-nya kamu waktu itu.
9. Fase Menemukan Humor dalam Luka
Beberapa
hari kemudian, setelah lewat masa denial dan marah, kamu mulai bisa ketawa.
Kamu ceritain ke teman-teman:
“Gila, gue
nulis kayak cerpen cinta penuh emosi, dia bales cuma OK. Kayak aku kirim novel,
dibales pamphlet!”
Temanmu
ngakak. Kamu ikut ngakak.
Dan dari situ, kamu sadar satu hal: ternyata hidup ini lucu kalau kita lihat
dari sudut yang tepat.
Kamu bahkan
mulai mikir:
“Kalau aku upload curhatan itu ke blog, bisa jadi konten lucu, nih.”
(Dan ya, bener banget — sekarang kamu lagi baca hasilnya 😆).
10. Hikmah dari Balasan “OK”
Dari
pengalaman traumatik nan kocak itu, kamu belajar banyak hal.
Pertama, jangan pernah kirim curhatan sepuluh halaman lewat chat. Karena makin
panjang tulisanmu, makin pendek biasanya balasannya.
Kedua,
tidak semua orang punya kapasitas membaca perasaan orang lain.
Ada yang baca dengan hati, ada yang cuma baca sekilas sambil makan nasi goreng.
Ketiga,
kadang “OK” bukan tanda tidak peduli. Bisa jadi doi cuma bingung mau jawab apa.
Tapi kalau udah sering banget “OK” doang?
Ya, mungkin memang hatinya cuma sebatas dua huruf itu.
Dan yang
terakhir — kamu belajar bahwa cinta yang tulus memang layak diperjuangkan, tapi
kalau perjuangannya dibales “OK,” ya sudah, saatnya mundur dengan elegan.
11. Bonus: Drama Pasca-“OK”
Beberapa
minggu kemudian, doi tiba-tiba ngechat:
“Kok udah
jarang chat aku sih?”
Dalam hati
kamu ingin jawab:
“Karena aku
udah trauma sama dua huruf sakral itu.”
Tapi kamu
tetap jawab santai:
“OK.”
Dan
rasanya... puas banget 😎
12. Kesimpulan ala CERCU
Dalam dunia
percintaan, “OK” bisa jadi senjata paling mematikan.
Bukan karena nadanya kasar, tapi karena kesederhanaannya yang bikin sesak.
Kalau
diibaratkan dalam dunia kuliner, kamu udah masak rendang 4 jam, doi cuma
bilang:
“Hmm,
lumayan.”
Kalau
diibaratkan dalam dunia akademik, kamu nulis skripsi 150 halaman, dosen cuma
komentar:
“Baik.”
Begitulah
cinta. Kadang kita berharap tepuk tangan, tapi yang datang cuma “OK.”
Tapi jangan
sedih. Suatu hari nanti kamu bakal ketemu orang yang kalau kamu kirim pesan
satu kalimat aja, dia bales tiga paragraf. Orang yang bukan cuma baca
kata-katamu, tapi juga paham perasaan di baliknya.
Sampai saat
itu datang, nikmati dulu lucunya kisah ini. Karena nanti, kalau kamu udah
bahagia, kamu bakal ketawa sendiri sambil bilang:
“Gila, dulu
aku pernah nulis sepuluh halaman cuma buat dibales ‘OK’ doang.”
✍️ Ditulis oleh Tim
CERCU — tempat di mana tragedi cinta dijadikan komedi, dan luka dijadikan bahan
tertawaan (tapi yang elegan, ya).
Kata
Kunci :
·
cerita lucu cinta
·
balasan chat lucu
·
kisah galau tapi kocak
·
doi bales OK doang
·
humor percintaan
Curhat sepuluh halaman penuh cinta, tapi doi cuma bales “OK”? Cerita lucu nan
pedih ini akan bikin kamu ngakak sambil bilang: “Gue banget!” 😂