Tuesday, July 5, 2022

Mabok, Taksi, dan Tabokan Cinta — Kisah 3 Pemuda dan 1 Supir yang Kena Mental


Pernah gak sih kamu ketemu orang mabok di jalan? Kalau pernah, kamu pasti tahu satu hal: mereka ini makhluk paling jujur, spontan, dan kadang… absurd di muka bumi. Kadang bikin kita ketawa, kadang bikin geregetan, tapi selalu berhasil jadi cerita seru yang bisa kamu ulang di tongkrongan tanpa bosen.

Nah, kali ini gue bakal ceritain sebuah kisah nyata (atau mungkin urban legend, siapa tahu), tentang tiga pemuda yang mabok berat, satu sopir taksi, dan satu pelajaran hidup tentang kecepatan dan persepsi.

 

BABAK 1: MABOK BERAT TAPI MASIH TAU ARAH

Malam itu, kota mulai sepi. Lampu-lampu jalan mulai berpendar redup, warung kaki lima tinggal beberapa, dan taksi-taksi parkir di pinggir jalan, berharap ada penumpang. Di salah satu sudut kota, muncullah tiga pemuda dengan langkah goyah, tertawa-tawa gak jelas sambil nyanyi lagu dangdut yang gak komplit liriknya.

Mereka baru pulang dari… ya, kamu tau lah, tempat yang penuh lampu kelap-kelip, musik jedag-jedug, dan minuman yang bikin mulut bau alkohol dan hati berani berlebihan.

Salah satu dari mereka, sebut aja Togar, bilang:

“Gue udah gak sanggup jalan bro, gue butuh kendaraan... teleportasi... atau pelukan mantan...”

Temennya, Joni, sambil merangkul tiang listrik:

“Udah, kita naik taksi aja... Kita ini manusia... kita layak dihormati!”

Lalu si paling mabok, Anto, dengan heroik angkat tangan dan nyetop taksi yang kebetulan lewat.

 

BABAK 2: SUPIR TAKSI YANG CAPEK MENTAL

Supir taksinya ini bukan orang baru. Udah 12 tahun kerja malam, dia hafal mana penumpang biasa, mana penumpang nyebelin, mana penumpang bawa durian, dan mana penumpang mabok.

Begitu lihat tiga makhluk goyah itu masuk ke mobilnya, dia langsung mikir:

"Waduh... tamu dari planet Saturnus nih. Bisa-bisa muntah di jok atau ngajak debat harga."

Tapi daripada ribut, si sopir tetap senyum palsu sambil tanya, “Mau ke mana, Mas?”

Togar jawab sambil mengacung:

“Ke... ke... sana! Pokoknya... ke tujuan hidup!”

Supir cuma bisa angguk-angguk sambil menahan tawa. Lalu muncul ide iseng di kepalanya. Karena tahu ini penumpang mabok berat, dia mau iseng dikit. Ya... bukan balas dendam, cuma pelajaran ringan.

Dia langsung nyalain mesin taksi, terus matiin lagi, dan dengan suara serius dia bilang:

“Udah nyampe, Mas.”

 

BABAK 3: RESPON AJAIB PARA PEMABOK

Dan di sinilah letak keajaiban dunia mabok.

Alih-alih sadar bahwa mobil bahkan belum jalan 1 meter pun, tiga pemuda ini langsung bereaksi… dengan gaya yang sangat percaya diri.

Si Togar (pemuda 1):

Langsung merogoh kantong celana, keluarin uang receh yang udah lecek, dan kasih ke sopir sambil senyum tulus:

“Makasih ya, Bang. Cepet banget. Bapak sopir terbaik dalam hidup saya…”

Lalu dia keluar dari mobil dengan langkah bangga, kayak baru turun dari pesawat pribadi.

Si Joni (pemuda 2):

Dengan wibawa seorang pejabat negara, dia menyalami sopir dengan khidmat:

“Terima kasih atas jasamu... kau telah mengantar kami dengan sangat... smooth...”

Lalu dia peluk tiang parkir sambil ngomong: “Akhirnya kita sampai...”

Dan akhirnya...

Si Anto (pemuda 3):

Keluar pelan-pelan, kemudian PLAKK!
Menabok kepala sopir taksi dengan ringan tapi penuh makna.

Supir yang tadinya iseng, langsung kaget dan marah:

“Lah! Kenapa ditabok, Mas? Salah saya apa?!”

Dan jawaban si Anto adalah plot twist paling kocak di dunia transportasi malam:

“Lain kali jangan ngebut-ngebut, Mas. Santai aja bawa mobilnya... kepala saya muter, tau!”

🥴 Speechless.

 

BABAK 4: KENAPA CERITA INI JADI LEGENDA

Cerita ini menyebar ke mana-mana. Mulai dari grup WhatsApp keluarga, komunitas supir taksi, bahkan jadi status Facebook ibu-ibu yang ngetik pakai huruf kapital semua.

Kenapa?

Karena lucu dan relatable banget.

Kita semua pernah (atau tahu orang yang pernah) berinteraksi dengan orang mabok, dan tahu gimana mereka bisa:

  • Merasa benar sendiri
  • Salah arah tapi yakin
  • Dikasih prank, tapi tetap merasa menang

Dan yang paling penting: mereka sering jadi bahan cerita tak terlupakan.

 

TAPI… ADA MAKNA DI BALIK CERITA INI

Oke, emang ini cerita lucu. Tapi yuk kita coba ambil sisi bijaknya dikit (biar tulisan ini gak receh 100%).

1. Orang Percaya Apa yang Dirasakan, Bukan yang Nyata

Tiga pemuda tadi benar-benar percaya bahwa mereka udah sampai tujuan. Karena dalam kondisi mabok, persepsi bisa ngalahin kenyataan. Lucunya, ini juga sering terjadi di kehidupan sehari-hari.

Kadang kita merasa udah kerja keras — padahal baru mulai.
Kadang kita merasa disakiti — padahal cuma salah paham.
Kadang kita merasa dikhianati — padahal cuma gak ditelpon.

2. Kebaikan Kadang Bisa Kena Tabok

Si sopir taksi awalnya cuma iseng. Tapi justru kena tabok. Di dunia nyata juga begitu: kadang kita bantu orang, malah disalahpahami. Tapi ya itulah hidup. Bantu ya bantu aja. Tapi siap juga kalau ending-nya gak sesuai harapan.

3. Jangan Mabok, Apalagi Kalau Gak Tahan

Ya, ini pelajaran paling jelas. Mau lucu kayak gimana pun, mabok tetap bukan gaya hidup keren. Satu dua cerita mungkin jadi bahan tawa, tapi yang kebablasan bisa jadi tragedi beneran.

 

PENUTUP: ANTARA NGAKAK DAN NGACA

Akhir kata, mari kita ucapkan terima kasih pada tiga pemuda legendaris yang mengajarkan:

  • Bahwa hidup itu kadang cuma soal percaya aja dulu.
  • Bahwa iseng itu boleh, tapi siap-siap kena getahnya.
  • Bahwa dunia ini butuh lebih banyak cerita kocak kayak gini... biar kita gak gila ngadepin dunia nyata.

Jadi, buat kamu yang lagi capek hidup, pengen ngerasa waras, atau cuma butuh alasan buat senyum hari ini...

Ingatlah cerita ini.

Dan kalau suatu saat kamu naik taksi, dan sopirnya bilang “Udah nyampe” padahal mobil belum jalan…

CEK DULU, JANGAN LANGSUNG BAYAR!

 

Wednesday, June 29, 2022

Ketika Nur Mengaku Hamil — Sebuah Kisah di Balik Suara Hati dan Sakit Perut

 


Ketika Nur Mengaku Hamil — Sebuah Kisah di Balik Suara Hati dan Sakit Perut

Siang itu suasana rumah keluarga kecil di pinggiran kota masih sepi. Hanya ada suara kipas angin berdetak pelan di ruang tengah. Di dapur, sang ibu sedang sibuk menghangatkan makanan kesukaan anaknya: sayur asem, tempe goreng, dan sambal terasi yang bikin mata berkaca-kaca bahkan sebelum dimakan.

Tiba-tiba dari kamar muncullah sosok remaja laki-laki dengan ekspresi cemas. Dia adalah Nurdin, atau yang biasa dipanggil Nur oleh keluarga dan teman-teman dekatnya. Nama yang awalnya diberikan sang ibu karena terinspirasi dari ayat-ayat suci, tapi karena Nurdin punya sisi feminim yang kuat, nama panggilan itu lebih cocok dipakai untuk menyesuaikan ekspresi dirinya sehari-hari.

 

Adegan Pembuka: Sebuah Pengakuan Mengejutkan

Ma, Ayah ke mana ya?” tanya Nur sambil berdiri di ambang pintu dapur.

Sang ibu menoleh tanpa terlalu memikirkan raut wajah si anak. “Ayah ke Cengkareng. Emangnya ada apa, Nur?

Nur menggigit bibir, seolah berusaha menahan sesuatu yang penting banget untuk diungkapkan. Akhirnya dia meledak:

Aduh Bu, kayaknya saya sudah hamil di luar nikah!

Bunyi sendok jatuh ke lantai. Tapi bukan karena syok, melainkan karena tangan Ibu yang sedang pegang sendok terlalu licin karena minyak goreng. Ia menoleh pelan ke arah Nur, lalu menjawab dengan datar:

Ah kamu ini ada-ada aja.

Nur melangkah masuk, lebih serius dari biasanya. “Benar Bu, suwer… Lihat pakaian saya udah sempit, kayaknya perut saya udah mulai besar.

Ibu masih belum mengubah ekspresi. Mungkin sudah terlalu terbiasa dengan kelakuan anaknya yang suka dramatis sejak kecil. “Ah… kebanyakan makan kali kamu. Tadi malam kamu habisin nasi goreng dua piring kan?

Benar loh Bu… Saya tadi muntah-muntah, Bu!

Masuk angin barangkali Nur. Pergi makan sana, Mama sudah masakin makanan kesukaanmu. Sayur asem tuh.

Tapi Nur tetap berdiri di tempat, matanya berair dan mukanya mulai meringis.

Aduh Bu, nggak bisa makan saya. Saya pengin yang asam-asam. Pokoknya pengen yang asem banget, yang bikin ngiluuu…

 

Saat Ibu Kehabisan Kesabaran

Dan di sinilah titik batas sang Ibu tercapai. Dia meletakkan sendok di meja, membalikkan badan ke arah anaknya dan...

Nurdin, diam kamu!! Kamu itu BENCONG! Ngaku-ngaku HAMIL!

Suara itu menggema di seluruh rumah. Bahkan tetangga depan yang sedang nyapu halaman sampai berhenti dan memiringkan telinga. Seekor kucing yang sedang tidur pun kabur ke atas lemari.

 

Bukan Soal Hamil, Tapi Soal Didengar

Nurdin terdiam. Matanya berkaca-kaca, tapi bukan karena merasa malu. Lebih karena kecewa.

Yang dia butuhkan saat itu bukanlah ibu yang menjelaskan pelajaran biologi soal mustahilnya laki-laki bisa hamil. Bukan juga makian atau bentakan. Yang dia butuhkan hanyalah seseorang yang duduk dan mau mendengarkan.

Karena yang Nurdin rasakan itu nyata.

Bukan karena kehamilan palsu, tapi karena rasa sakit dan bingung yang sedang dia alami. Badannya memang lelah, kepalanya pening, emosinya naik turun. Entah karena faktor hormonal, atau hanya campuran dari stres dan ketidakpastian identitas diri.

Dan celakanya, di rumah, dia tidak punya ruang untuk cerita secara jujur.

 

Nurdin dan Dunia yang Tak Ramah

Nurdin, atau Nur, memang sejak kecil menunjukkan sisi feminin. Dia suka main boneka, suka nonton acara masak, dan senang meniru gaya bicara artis perempuan. Tapi dia juga cerdas, penuh kasih, dan sangat perhatian.

Masalahnya, dunia — termasuk keluarganya sendiri — tidak sepenuhnya siap menerima itu.

Ketika ia mengaku “ingin jadi perempuan”, yang diterima justru ledekan. Ketika ia ingin pakai baju longgar dan lembut, yang diberikan malah celana jeans robek biar “lebih jantan”. Ketika dia muntah-muntah, satu-satunya penjelasan yang muncul di kepalanya hanya satu: “Aku pasti hamil.”

Karena itu yang sering ia tonton di sinetron: orang muntah, langsung dikira hamil.

Jadi ketika ia benar-benar merasa sakit, perut kembung, mual, dan bajunya mulai sempit karena kembung atau kolesterol, otaknya yang sedang kacau menyimpulkan yang paling dramatis: “Saya hamil.”

 

Di Balik Kekonyolan, Ada Pesan yang Dalam

Kisah Nurdin memang terdengar kocak, absurd, bahkan bisa bikin ngakak karena dramanya. Tapi di balik semua itu, ada hal penting yang patut kita renungkan:

1. Anak Perlu Didengar, Bukan Dibentak

Kadang, di balik kalimat yang terdengar konyol, ada jeritan minta tolong yang gak terdengar. “Saya hamil” bisa saja berarti “Saya sedang bingung banget soal diri saya sendiri.”

2. Tidak Semua Drama Harus Dianggap Lucu

Sebagian orang menggunakan lelucon untuk menutupi luka. Sama seperti Nur, yang mungkin mengatakan hal aneh karena tidak tahu harus mulai dari mana untuk menjelaskan perasaannya.

3. Identitas dan Emosi Itu Rumit

Mereka yang sedang mencari jati diri — terutama yang merasa tidak pas dengan identitas gendernya — sering kali bergulat sendiri. Dan ketika tidak punya tempat aman untuk cerita, semua jadi campur aduk: realita dan fiksi, rasa dan logika.

 

Epilog: Setelah Suara Tinggi Ibu Mereda

Setelah suasana sedikit tenang, sang ibu duduk sendiri di ruang makan. Ia melihat piring sayur asem yang tak disentuh. Ia teringat tatapan mata Nur yang biasanya ceria, tapi kali ini sayu.

Mungkin benar, Nurdin tidak hamil. Tapi mungkin juga... anaknya sedang butuh pelukan, bukan peringatan.

Beberapa saat kemudian, sang ibu mengetuk pintu kamar Nurdin.

Nur... Maaf ya tadi Mama marah. Kamu nggak papa, kan?

Tidak ada jawaban. Tapi dari balik pintu terdengar suara isakan pelan.

Sang ibu menyandarkan tubuhnya ke pintu. “Mama nggak ngerti gimana rasanya jadi kamu. Tapi Mama pengen belajar. Boleh?

Dan di sanalah, untuk pertama kalinya, suara hati bertemu dengan suara kasih.

 

Tuesday, June 7, 2022

Cinta Ditolak, Becanda Menyerang – Supri dan Nabila JKT

 


Cinta Ditolak, Becanda Menyerang – Supri dan Nabila JKT

Setiap zaman punya gayanya sendiri buat nyatain cinta. Dulu mungkin lewat surat cinta dilipat segitiga, diselipkan di dalam buku PR. Trus naik level jadi SMS panjang 160 karakter, lengkap dengan kata “luv u 4ever”. Sekarang? Cukup lewat DM, live TikTok, atau balasan instastory pakai emoji hati.

Tapi kisah cinta yang satu ini agak beda. Agak… unik. Bahkan bisa dibilang berani mati. Karena Supri, cowok sederhana berkepala licin alias Si Botak, nekat menembak seorang cewek populer, Nabila JKT. Bukan Nabila biasa, tapi seleb medsos yang kalau live bisa tembus 3 ribu viewers dalam 2 menit.

 

Supri: Cowok Sejuta Optimisme

Supri ini bukan cowok sembarangan. Dia punya semangat yang luar biasa, kepercayaan diri tingkat langit, dan jurus andalan yang dia sebut: “modal nekat + doa emak.”

Kerjaannya sih biasa aja, katanya masih freelance ngurus sound di kampung. Tapi hatinya? Ambisius. Romantis. Visioner.

Sore itu, Supri sedang duduk di teras rumah, ditemani kopi hitam dan lagu dangdut remix. Sambil gulung kabel sound bekas hajatan, HP-nya bunyi.

Notifikasi: Nabila JKT mulai live.

Matanya langsung berbinar. “Wah, si Neng siaran nih…”

 

Chat Awal yang Mencurigakan

Dengan jari sedikit bergetar, Supri masuk ke live Nabila JKT dan langsung kirim komentar:

"Kang lagi apa??"
(NOTE: Iya, dia manggil diri sendiri “Kang”, padahal posisinya dia yang nanya.)

Live belum selesai, Nabila jawab:

"Lagi ngafal, neng."

"Ngafal apa, kang?? Mau UN ya?"

Dan di sinilah Supri keluarin jurus maut:

"Bukan… menghafal nama neng NABILA, supaya lancar ijab qabul… siapa tahu jodoh."

...

...

Hening sejenak.

Seluruh netizen di live TikTok langsung jedag-jedug dalam hati. Ada yang ketawa, ada yang ngedukung, ada juga yang komen:

“Edannn… Supri gas pollll!!!”
“Kebanyakan nonton FTV ini mah…”
“Brooo ini nembak apa ngebacok perasaan publik???”

 

Jawaban Maut dari Sang Nabila

Nabila yang biasanya lembut, tiba-tiba kasih jawaban super tajam, pendek, dan… menyakitkan:

"Idiiihhh, amit-amit, najis tralala..." (dengan emoji jijik dan emot muntah)

Komentar netizen langsung meledak kayak kembang api tahun baru:

  • “Fix ini yang namanya cinta ditolak, becandaan bersambung…”
  • “Najis tralala cuy wkwkwkwkw”
  • “Supri menangis dalam diam”

Tapi Supri? Dia gak tinggal diam. Dia gak nyerah. Bahkan dia bales:

"Mang tadi aku ngomong apa?"

Dan Nabila, yang mungkin lagi bosan atau pengen mainin suasana, jawab balik:

"Ngafalin namaku biar lancar ijab qobul, siapa tau jodoh, gitu kan?"

Supri langsung cepet-cepet bales:

"Idiiih amit-amit najis trililiii~"

Bisa dibilang, twist of the century. Supri bales dengan senjata yang sama. Dan yang paling mengejutkan?

NABILA: #NANGISS... Gw ditipu si botak...

 

Plot Twist yang Gak Ketebak

Cerita ini viral dalam waktu singkat. Screen capture-nya menyebar ke Instagram, grup WhatsApp, bahkan jadi bahan status di Twitter. Banyak yang ngakak, banyak juga yang bilang:

“Respect buat Supri. Dia gak cuma berani, tapi juga punya mental kebal ocehan.”

Bahkan ada netizen yang bikin analisis:

  • “Supri tahu dia bakal ditolak. Tapi dia siapin punchline balesan, dan ternyata, dia yang menang!”
  • “Nabila JKT kena serangan balik. Karma instan. Wkwkwk.”

Sampai akhirnya, tagar #SiBotakMelawan trending di beberapa forum lokal.

 

Apa Kita Bisa Belajar dari Supri?

Jangan ketawa dulu. Di balik kelucuan dan kenekatan Supri, sebenarnya ada pelajaran penting:

1. Cinta Butuh Keberanian

Iya, memang Supri bukan siapa-siapa. Tapi dia punya keberanian buat ngomong. Banyak cowok lain cuma bisa liatin story gebetan tiap hari, tapi gak pernah berani nyapa. Supri? Gas terus.

2. Mental Baja Itu Kunci

Ditolak? Udah pasti. Tapi Supri gak nangis. Dia malah bales dengan gaya santai, bikin yang nolak malah jadi bahan ketawa.

3. Bercanda Itu Seni

Apa yang dilakukan Supri bukan ngeledek. Tapi dia tahu timing, tahu kapan harus mundur, dan kapan kasih balesan lucu. Netizen suka orang yang bisa menghibur, bukan yang baperan.

 

Apa Kata Nabila Setelah Viral?

Beberapa hari setelah kejadian, Nabila sempat bikin story:

“Gak nyangka, chat receh bisa jadi konten nasional. Bang Supri, kamu emang ngakak parah.”

Netizen langsung buatin fanpage: “Tim Supri x Nabila – Receh Tapi Ikhlas”
Dan ada yang berkomentar:

“Kalau jodoh, ya jodoh. Gak usah terlalu banyak gaya.”

 

Penutup: Cinta, Receh, dan Kekuatan Meme

Kisah Supri dan Nabila JKT bukan cuma soal naksir yang gagal. Ini tentang bagaimana ketulusan dan kelucuan bisa menyelamatkan harga diri seseorang. Supri membuktikan, bahwa cinta yang tulus, meski ditolak, tetap bisa jadi hiburan kolektif satu negeri.

Dan buat kalian yang suka ngirim DM ke idola, inget:

  • Jangan GR dulu, tapi jangan juga takut.
  • Kalau ditolak, jangan ngedumel.
  • Bikinlah penolakan itu jadi kenangan lucu, bukan luka.

Karena kadang, komentar receh di live TikTok bisa lebih legendaris daripada gombalan mahal di DM.

 

Tuesday, May 10, 2022

Siaran Radio JUGALA Menjelang Buka Puasa — Kisah Asep, Salam Cinta, dan Adzan Magrib


Siaran Radio JUGALA Menjelang Buka Puasa — Kisah Asep, Salam Cinta, dan Adzan Magrib

Menjelang waktu berbuka puasa, suasana di kampung atau kota biasanya mulai berubah. Jalanan makin ramai, suara wajan mulai nyaring, anak-anak keliling bawa petasan, dan… tentu saja, radio mulai diputar lebih keras dari biasanya.

Di sudut dapur, di warung, di mobil angkot, atau di pos ronda — suara penyiar radio lokal mulai mengisi udara dengan suara khas mereka. Dan salah satu yang paling legendaris: Radio JUGALA – JUara seGAla LAgu.

Stasiun radio ini sudah jadi teman setia orang-orang yang sedang menunggu waktu magrib. Dari lagu dangdut koplo, pop lawas, qasidah, sampai remix Arab-Indonesia, semuanya disajikan dengan gaya penyiar yang gokil, nyeleneh, tapi bikin betah.

 

Asep di Polman: Penelpon Sejuta Cinta

Di sore yang sedikit mendung, seorang pemuda bernama Asep dari Polewali Mandar (Polman) mencoba peruntungan. Dia memutar nomor telepon radio JUGALA, berharap bisa masuk dan titip salam. Tangan kirinya pegang ponsel, tangan kanan pegang gelas berisi es kelapa muda yang belum boleh diminum karena masih puasa.

Setelah beberapa kali nada sambung, suara khas penyiar JUGALA masuk:

Penyiar:
“Betooool... dengan siapa, di mana nich...?!”

Asep:
Haloowww... ini Asep di Polman!

Suara Asep agak cempreng, tapi semangatnya 100%.

 

Salam dan Curhat Kolosal

Setelah sapaan awal, Asep mulai tancap gas. Kayak biasanya, momen ini digunakan buat titip salam ke siapa aja yang kepikiran. Dan Asep? Dia punya daftar lengkap.

Asep:
“Mau titip salam buat teman-man yang lagi galau, buat Kang Memet yang lagi nyetir truk di jalur Enrekang-Majene, dan buat yayang Imah yang lagi masak gulai kepala ikan di dapur…”

Penyiar:
“Wuihhh… berat nih, ada yayang juga, hahahaa. Udah mulai kangen-kangenan yaaa?”

Asep:
“Bukan kangen lagi, Bang... Ini mah udah kayak mau tumbang. Dari jam tiga udah nungguin waktu buka, liat air putih aja udah kayak liat surga...”

Penyiar ketawa ngakak. “Wkwkwkw... sabar, sabar, Sef!”

 

Permintaan Lagu Penuh Kejujuran

Setelah salam selesai, penyiar nanya lagu:

“Oke Asep, lagu apa yang mau diputerin nih? Dangdut? Religi? Pop melow?”

Dan jawaban Asep membuat seisi studio kaget campur ngakak:

“Bang... tolong puterin Adzan Magrib lah… udah gak kuat nih…”

...

Langsung suasana studio hening.

Beberapa detik kemudian…

‪#‎BANTINGMEJA!!!

Penyiar ngakak sejadi-jadinya, penelpon lain yang lagi antre ikut tertawa, bahkan tim operator di belakang kedengaran ikut ketawa.

 

Bukan Sekadar Lucu, Tapi Relatable Banget

Permintaan Asep memang lucu. Tapi di balik tawa itu, banyak orang merasa “AKU BANGET!”

Iya, siapa yang gak pernah ngerasa waktu magrib makin lama dari biasanya? Khususnya di lima belas menit terakhir. Antara lapar, haus, dan suara gorengan di dapur yang bikin iman goyah. Ditambah lagi kalau udah capek seharian, terus mendengar lagu-lagu mellow di radio, hati bisa jadi rapuh.

Makanya ketika Asep bilang, “puterin adzan magrib aja, udah gak kuat”, itu bukan cuma permintaan... tapi jeritan hati berjuta umat.

 

Radio Lokal: Hiburan Merakyat dan Obat Galau Kolektif

Apa sih istimewanya radio kayak JUGALA?

Siarannya mungkin gak semewah radio nasional. Kadang suara penyiar putus-putus. Lagu yang diputer kadang ngacak dan kasetnya agak serak. Tapi justru itu yang bikin radio lokal begitu dekat di hati.

Di antara siaran mereka ada:

  • Salam rindu dari perantau buat orang rumah.
  • Curhatan cinta ala anak muda yang ditinggal gebetan.
  • Request lagu jadul buat mengingat masa SMA.
  • Dan tentu saja... permintaan Adzan Magrib karena udah gak kuat puasa.

 

Penyiar: Sosok Tak Terlihat yang Jadi Teman Sejati

Kita mungkin gak pernah tahu siapa penyiar di balik suara radio itu. Tapi suara mereka terasa seperti teman dekat. Mereka tahu cara membuat kita tertawa, menghibur tanpa basa-basi, dan memberi semangat tanpa harus berlagak bijak.

Ketika Asep nelpon dan minta adzan diputerin, penyiar bukan cuma ketawa. Dia juga bilang:

“Tenang Sef, bentar lagi. Udah jam 5.55 nih, sabar ya! Nanti adzannya bakal kami puterin paling awal, spesial buat kamu yang hampir pingsan di Polman!”

Dan Asep? Ketawa, tapi juga lega. Karena meski gak dikasih gorengan atau kolak, setidaknya dia tahu ada yang ngerti rasanya nunggu waktu buka puasa.

 

Sore yang Penuh Tawa, Menunggu Penuh Cinta

Di akhir siaran, setelah lagu religi diputar, dan azan magrib akhirnya berkumandang, Asep menaruh ponselnya.

Dia ambil air putih, tarik napas panjang.

“Alhamdulillah…”

Dan entah kenapa, air putih hari itu terasa jauh lebih nikmat. Karena bukan cuma menyegarkan tenggorokan, tapi juga menenangkan hati yang sejak tadi gelisah.

Berkat suara penyiar, tawa pendengar lain, dan salam-salam penuh cinta, Asep merasa buka puasanya kali ini gak sendirian.

 

Penutup: Asep Adalah Kita Semua

Kisah Asep mungkin lucu. Tapi Asep bisa siapa aja dari kita. Yang menunggu. Yang gelisah. Yang galau. Yang lapar dan haus bukan cuma karena puasa, tapi karena rindu dan rasa yang menumpuk.

Radio JUGALA, dan ribuan radio lokal lain, telah menjadi jembatan. Antara yang jauh dan yang dekat. Antara yang kuat dan yang nyaris menyerah.

Dan untuk kita yang pernah teriak dalam hati: “Tolong puterin adzan magrib!” — ingatlah, itu bukan cuma soal lapar…

Tapi soal ketabahan. Soal menahan. Soal menanti.

Dan kadang, soal menertawakan diri sendiri... biar tetap waras.

 

Tuesday, April 12, 2022

Surti ke Jakarta – Ketika Lift Disangka Kamar Hotel


Surti ke Jakarta – Ketika Lift Disangka Kamar Hotel

Setiap orang punya kali pertama. Pertama kali naik pesawat, pertama kali makan sushi, pertama kali ke luar negeri, atau… pertama kali nginep di hotel bintang lima.

Dan kali ini, giliran Surti.

Gadis desa yang lugu tapi percaya diri luar biasa ini akhirnya menginjakkan kaki di Jakarta untuk liburan. Bukan liburan ecek-ecek. Bukan juga nginap di rumah saudara yang sempit dan rame. Surti ingin mencoba hidup mewah ala selebgram: nginep di hotel bintang lima, pesan kamar luxury, dan menikmati hidup sejenak dari hiruk-pikuk sawah dan ternak.

“Pokoknya, aku gak mau disebut kampungan! Aku mau buktiin, anak desa juga bisa tampil gaya!” katanya dengan semangat 45 sambil ngeluarin powerbank dari tas anyaman.

 

Babak Awal: Check-in dan Cita-cita

Hari itu, Surti tiba di Jakarta dengan travel. Rambutnya dikuncir dua, pakai baju blouse bermotif bunga cerah, dan sandal wedges yang baru dibeli di pasar Minggu kemarin. Di tangannya, koper pink terang yang bunyinya krek-krek setiap ditarik.

Begitu tiba di hotel, matanya membulat.

Lobby-nya luas, lampunya berkilauan, dan pegawainya berdasi semua. Ada bunga-bunga wangi di meja resepsionis, air mancur kecil di sudut, dan suara piano mengalun pelan. Surti langsung berdiri tegak dan melangkah penuh gaya.

“Selamat datang di Hotel Mahadewi Premier, ada yang bisa kami bantu, Ibu?” sapa resepsionis sopan.

Surti tersenyum, mencoba tampil seperti sosialita. “Saya pesan luxury room, yang view-nya bisa liat kota dari atas. Ini hotel bintang lima kan? Harus istimewa!”

Sang resepsionis mengangguk, lalu memanggil RoomBoy, petugas hotel yang akan mengantarnya ke kamar. RoomBoy ini sopan, tinggi, rapi, dan sudah biasa menghadapi tamu dari berbagai kalangan. Tapi kali ini, dia belum tahu... akan menghadapi badai Surti.

 

Adegan Menggelikan: Lift yang Disangka Kamar

RoomBoy berjalan di depan, menarik koper Surti. Sambil tersenyum, dia membuka pintu LIFT, dan mempersilakan Surti masuk lebih dulu.

Surti menatap ruangan sempit dengan dinding mengkilap, tanpa kasur, tanpa TV, tanpa kamar mandi. Dia mulai curiga. Tapi karena orangnya to the point, dia langsung bicara:

Hey bang!! Aku emang orang kampung, tapi aku gak kampungan ya! Jangan dikira aku gak bisa bayar sewa kamar hotel mewah ini!!

RoomBoy terdiam, kaget. Tamu ini langsung meledak tanpa aba-aba.

Ini bukan kamar yang aku pesan!!! Kamar ini sempit, sumpek, gak ada TV, tempat tidur, kamar mandi!! Masa luxury room kayak gini? Bapak kira saya ini tamu recehan?

Suasana di dalam lift mendadak tegang.

RoomBoy masih berusaha tenang. Dengan suara hati-hati, dia menjelaskan:

Maaf Mbak… ini belum kamarnya. Kita ini… masih di lift.

Seketika, dunia seakan berhenti.

Surti terdiam.

Mukanya memerah. Bukan karena marah, tapi karena malu setengah mati. Merah padam seperti tomat disiram cabe rawit. Matanya berkaca-kaca. Bukan mau nangis, tapi nahan rasa ingin ngilang dari muka bumi.

Lift pun akhirnya berbunyi ting! dan pintu terbuka.

RoomBoy tetap profesional, seolah tidak terjadi apa-apa, dan mempersilakan Surti masuk ke kamar yang sesungguhnya: luas, mewah, lengkap dengan TV layar datar, jendela tinggi dengan pemandangan kota Jakarta, dan ranjang besar empuk seperti awan.

Surti hanya bisa berdiri mematung, lalu berkata pelan:

“Hehe... maaf ya Bang... aku kira tadi itu udah kamarnya...”

RoomBoy tersenyum sopan. Tapi saat dia balik badan keluar kamar, dia baru bisa senyum lebar dan nyaris ketawa cekikikan di lorong.

 

Cerita Malu yang Jadi Legenda

Beberapa jam kemudian, Surti duduk di kursi kamar, minum teh sambil merenung. Peristiwa barusan terus berputar di kepalanya. Rasa malunya belum hilang. Tapi kemudian dia mikir:

“Yah... daripada pura-pura ngerti tapi gak ngerti, mending ngomong jujur aja. Kan aku juga belajar…”

Dan benar saja, kisah “Surti ngamuk di lift karena disangka kamar hotel” akhirnya menyebar ke grup WhatsApp keluarga, lalu ke status Facebook tante-tantenya, dan akhirnya jadi cerita lucu yang akan diulang-ulang tiap kali reuni keluarga.

 

Tapi, Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Surti?

1. Jangan Takut Salah, Tapi Jangan Sok Tahu

Surti salah sangka, iya. Tapi lebih baik dia ngomong daripada diam dan pura-pura ngerti. Kadang, kejujuran dalam kebodohan lebih baik daripada kesombongan dalam kepalsuan.

2. Malu Itu Manusiawi

Semua orang pasti pernah malu. Entah karena salah ngomong, salah masuk ruangan, salah kirim chat, atau kayak Surti: salah kira lift sebagai kamar hotel. Tapi dari rasa malu itu, kita belajar untuk lebih hati-hati, lebih bijak, dan lebih... tertawa atas kebodohan sendiri.

3. Percaya Diri Boleh, Tapi Jangan Meledak Duluan

Surti over percaya diri. Begitu masuk lift, langsung meledak tanpa investigasi. Pelajaran buat kita: tunggu sebentar, lihat dulu situasinya, baru bereaksi. Karena seringkali yang kita kira “masalah besar” ternyata cuma… lift.

 

Epilog: Dari Desa ke Dunia Konten

Setelah kejadian itu, Surti malah jadi terkenal. Video pendek dari CCTV hotel bocor ke media sosial (eh, jangan tanya legalitasnya ya...), dan akhirnya Surti diundang ke acara talkshow TV nasional untuk cerita soal pengalaman lucunya.

Judul acaranya? “Orang Desa Naik Level” – dan Surti tampil dengan gaun cantik, makeup cetar, dan gaya bicara khasnya.

Di akhir acara, dia ditanya, “Kalau sekarang disuruh masuk lift lagi, masih takut gak?”

Surti dengan senyum lebar menjawab:

“Enggak dong... sekarang aku udah tahu... itu cuma lift, bukan neraka.” 😂

 

Penutup

Surti adalah cermin banyak dari kita. Punya semangat besar, tapi belum paham dunia luar. Tapi justru dari salah paham, rasa malu, dan pengalaman konyol, kita tumbuh jadi orang yang lebih kuat — dan lebih siap menghadapi dunia modern, meski dari titik nol.

Jadi kalau kamu pernah malu, pernah salah tempat, salah ngomong, atau bahkan salah naik kendaraan, tenang aja...

Kamu masih lebih keren dari Surti yang ngamuk di lift.