Wednesday, June 29, 2022

Ketika Nur Mengaku Hamil — Sebuah Kisah di Balik Suara Hati dan Sakit Perut

 


Ketika Nur Mengaku Hamil — Sebuah Kisah di Balik Suara Hati dan Sakit Perut

Siang itu suasana rumah keluarga kecil di pinggiran kota masih sepi. Hanya ada suara kipas angin berdetak pelan di ruang tengah. Di dapur, sang ibu sedang sibuk menghangatkan makanan kesukaan anaknya: sayur asem, tempe goreng, dan sambal terasi yang bikin mata berkaca-kaca bahkan sebelum dimakan.

Tiba-tiba dari kamar muncullah sosok remaja laki-laki dengan ekspresi cemas. Dia adalah Nurdin, atau yang biasa dipanggil Nur oleh keluarga dan teman-teman dekatnya. Nama yang awalnya diberikan sang ibu karena terinspirasi dari ayat-ayat suci, tapi karena Nurdin punya sisi feminim yang kuat, nama panggilan itu lebih cocok dipakai untuk menyesuaikan ekspresi dirinya sehari-hari.

 

Adegan Pembuka: Sebuah Pengakuan Mengejutkan

Ma, Ayah ke mana ya?” tanya Nur sambil berdiri di ambang pintu dapur.

Sang ibu menoleh tanpa terlalu memikirkan raut wajah si anak. “Ayah ke Cengkareng. Emangnya ada apa, Nur?

Nur menggigit bibir, seolah berusaha menahan sesuatu yang penting banget untuk diungkapkan. Akhirnya dia meledak:

Aduh Bu, kayaknya saya sudah hamil di luar nikah!

Bunyi sendok jatuh ke lantai. Tapi bukan karena syok, melainkan karena tangan Ibu yang sedang pegang sendok terlalu licin karena minyak goreng. Ia menoleh pelan ke arah Nur, lalu menjawab dengan datar:

Ah kamu ini ada-ada aja.

Nur melangkah masuk, lebih serius dari biasanya. “Benar Bu, suwer… Lihat pakaian saya udah sempit, kayaknya perut saya udah mulai besar.

Ibu masih belum mengubah ekspresi. Mungkin sudah terlalu terbiasa dengan kelakuan anaknya yang suka dramatis sejak kecil. “Ah… kebanyakan makan kali kamu. Tadi malam kamu habisin nasi goreng dua piring kan?

Benar loh Bu… Saya tadi muntah-muntah, Bu!

Masuk angin barangkali Nur. Pergi makan sana, Mama sudah masakin makanan kesukaanmu. Sayur asem tuh.

Tapi Nur tetap berdiri di tempat, matanya berair dan mukanya mulai meringis.

Aduh Bu, nggak bisa makan saya. Saya pengin yang asam-asam. Pokoknya pengen yang asem banget, yang bikin ngiluuu…

 

Saat Ibu Kehabisan Kesabaran

Dan di sinilah titik batas sang Ibu tercapai. Dia meletakkan sendok di meja, membalikkan badan ke arah anaknya dan...

Nurdin, diam kamu!! Kamu itu BENCONG! Ngaku-ngaku HAMIL!

Suara itu menggema di seluruh rumah. Bahkan tetangga depan yang sedang nyapu halaman sampai berhenti dan memiringkan telinga. Seekor kucing yang sedang tidur pun kabur ke atas lemari.

 

Bukan Soal Hamil, Tapi Soal Didengar

Nurdin terdiam. Matanya berkaca-kaca, tapi bukan karena merasa malu. Lebih karena kecewa.

Yang dia butuhkan saat itu bukanlah ibu yang menjelaskan pelajaran biologi soal mustahilnya laki-laki bisa hamil. Bukan juga makian atau bentakan. Yang dia butuhkan hanyalah seseorang yang duduk dan mau mendengarkan.

Karena yang Nurdin rasakan itu nyata.

Bukan karena kehamilan palsu, tapi karena rasa sakit dan bingung yang sedang dia alami. Badannya memang lelah, kepalanya pening, emosinya naik turun. Entah karena faktor hormonal, atau hanya campuran dari stres dan ketidakpastian identitas diri.

Dan celakanya, di rumah, dia tidak punya ruang untuk cerita secara jujur.

 

Nurdin dan Dunia yang Tak Ramah

Nurdin, atau Nur, memang sejak kecil menunjukkan sisi feminin. Dia suka main boneka, suka nonton acara masak, dan senang meniru gaya bicara artis perempuan. Tapi dia juga cerdas, penuh kasih, dan sangat perhatian.

Masalahnya, dunia — termasuk keluarganya sendiri — tidak sepenuhnya siap menerima itu.

Ketika ia mengaku “ingin jadi perempuan”, yang diterima justru ledekan. Ketika ia ingin pakai baju longgar dan lembut, yang diberikan malah celana jeans robek biar “lebih jantan”. Ketika dia muntah-muntah, satu-satunya penjelasan yang muncul di kepalanya hanya satu: “Aku pasti hamil.”

Karena itu yang sering ia tonton di sinetron: orang muntah, langsung dikira hamil.

Jadi ketika ia benar-benar merasa sakit, perut kembung, mual, dan bajunya mulai sempit karena kembung atau kolesterol, otaknya yang sedang kacau menyimpulkan yang paling dramatis: “Saya hamil.”

 

Di Balik Kekonyolan, Ada Pesan yang Dalam

Kisah Nurdin memang terdengar kocak, absurd, bahkan bisa bikin ngakak karena dramanya. Tapi di balik semua itu, ada hal penting yang patut kita renungkan:

1. Anak Perlu Didengar, Bukan Dibentak

Kadang, di balik kalimat yang terdengar konyol, ada jeritan minta tolong yang gak terdengar. “Saya hamil” bisa saja berarti “Saya sedang bingung banget soal diri saya sendiri.”

2. Tidak Semua Drama Harus Dianggap Lucu

Sebagian orang menggunakan lelucon untuk menutupi luka. Sama seperti Nur, yang mungkin mengatakan hal aneh karena tidak tahu harus mulai dari mana untuk menjelaskan perasaannya.

3. Identitas dan Emosi Itu Rumit

Mereka yang sedang mencari jati diri — terutama yang merasa tidak pas dengan identitas gendernya — sering kali bergulat sendiri. Dan ketika tidak punya tempat aman untuk cerita, semua jadi campur aduk: realita dan fiksi, rasa dan logika.

 

Epilog: Setelah Suara Tinggi Ibu Mereda

Setelah suasana sedikit tenang, sang ibu duduk sendiri di ruang makan. Ia melihat piring sayur asem yang tak disentuh. Ia teringat tatapan mata Nur yang biasanya ceria, tapi kali ini sayu.

Mungkin benar, Nurdin tidak hamil. Tapi mungkin juga... anaknya sedang butuh pelukan, bukan peringatan.

Beberapa saat kemudian, sang ibu mengetuk pintu kamar Nurdin.

Nur... Maaf ya tadi Mama marah. Kamu nggak papa, kan?

Tidak ada jawaban. Tapi dari balik pintu terdengar suara isakan pelan.

Sang ibu menyandarkan tubuhnya ke pintu. “Mama nggak ngerti gimana rasanya jadi kamu. Tapi Mama pengen belajar. Boleh?

Dan di sanalah, untuk pertama kalinya, suara hati bertemu dengan suara kasih.

 

No comments:

Post a Comment