Ketika Nur Mengaku Hamil — Sebuah Kisah di Balik Suara Hati dan Sakit Perut
Siang itu suasana rumah keluarga
kecil di pinggiran kota masih sepi. Hanya ada suara kipas angin berdetak pelan
di ruang tengah. Di dapur, sang ibu sedang sibuk menghangatkan makanan kesukaan
anaknya: sayur asem, tempe goreng, dan sambal terasi yang bikin mata
berkaca-kaca bahkan sebelum dimakan.
Tiba-tiba dari kamar muncullah sosok
remaja laki-laki dengan ekspresi cemas. Dia adalah Nurdin, atau yang
biasa dipanggil Nur oleh keluarga dan teman-teman dekatnya. Nama yang
awalnya diberikan sang ibu karena terinspirasi dari ayat-ayat suci, tapi karena
Nurdin punya sisi feminim yang kuat, nama panggilan itu lebih cocok dipakai
untuk menyesuaikan ekspresi dirinya sehari-hari.
Adegan
Pembuka: Sebuah Pengakuan Mengejutkan
“Ma, Ayah ke mana ya?” tanya
Nur sambil berdiri di ambang pintu dapur.
Sang ibu menoleh tanpa terlalu
memikirkan raut wajah si anak. “Ayah ke Cengkareng. Emangnya ada apa, Nur?”
Nur menggigit bibir, seolah berusaha
menahan sesuatu yang penting banget untuk diungkapkan. Akhirnya dia meledak:
“Aduh Bu, kayaknya saya sudah
hamil di luar nikah!”
…
Bunyi sendok jatuh ke lantai. Tapi
bukan karena syok, melainkan karena tangan Ibu yang sedang pegang sendok
terlalu licin karena minyak goreng. Ia menoleh pelan ke arah Nur, lalu menjawab
dengan datar:
“Ah kamu ini ada-ada aja.”
Nur melangkah masuk, lebih serius
dari biasanya. “Benar Bu, suwer… Lihat pakaian saya udah sempit, kayaknya
perut saya udah mulai besar.”
Ibu masih belum mengubah ekspresi.
Mungkin sudah terlalu terbiasa dengan kelakuan anaknya yang suka dramatis sejak
kecil. “Ah… kebanyakan makan kali kamu. Tadi malam kamu habisin nasi goreng
dua piring kan?”
“Benar loh Bu… Saya tadi
muntah-muntah, Bu!”
“Masuk angin barangkali Nur.
Pergi makan sana, Mama sudah masakin makanan kesukaanmu. Sayur asem tuh.”
Tapi Nur tetap berdiri di tempat,
matanya berair dan mukanya mulai meringis.
“Aduh Bu, nggak bisa makan saya.
Saya pengin yang asam-asam. Pokoknya pengen yang asem banget, yang bikin
ngiluuu…”
Saat
Ibu Kehabisan Kesabaran
Dan di sinilah titik batas sang Ibu
tercapai. Dia meletakkan sendok di meja, membalikkan badan ke arah anaknya
dan...
“Nurdin, diam kamu!! Kamu itu
BENCONG! Ngaku-ngaku HAMIL!”
Suara itu menggema di seluruh rumah.
Bahkan tetangga depan yang sedang nyapu halaman sampai berhenti dan memiringkan
telinga. Seekor kucing yang sedang tidur pun kabur ke atas lemari.
Bukan
Soal Hamil, Tapi Soal Didengar
Nurdin terdiam. Matanya
berkaca-kaca, tapi bukan karena merasa malu. Lebih karena kecewa.
Yang dia butuhkan saat itu bukanlah
ibu yang menjelaskan pelajaran biologi soal mustahilnya laki-laki bisa hamil.
Bukan juga makian atau bentakan. Yang dia butuhkan hanyalah seseorang yang
duduk dan mau mendengarkan.
Karena yang Nurdin rasakan itu
nyata.
Bukan karena kehamilan palsu, tapi
karena rasa sakit dan bingung yang sedang dia alami. Badannya memang
lelah, kepalanya pening, emosinya naik turun. Entah karena faktor hormonal,
atau hanya campuran dari stres dan ketidakpastian identitas diri.
Dan celakanya, di rumah, dia tidak
punya ruang untuk cerita secara jujur.
Nurdin
dan Dunia yang Tak Ramah
Nurdin, atau Nur, memang sejak kecil
menunjukkan sisi feminin. Dia suka main boneka, suka nonton acara masak, dan
senang meniru gaya bicara artis perempuan. Tapi dia juga cerdas, penuh kasih,
dan sangat perhatian.
Masalahnya, dunia — termasuk
keluarganya sendiri — tidak sepenuhnya siap menerima itu.
Ketika ia mengaku “ingin jadi
perempuan”, yang diterima justru ledekan. Ketika ia ingin pakai baju longgar
dan lembut, yang diberikan malah celana jeans robek biar “lebih jantan”. Ketika
dia muntah-muntah, satu-satunya penjelasan yang muncul di kepalanya hanya satu:
“Aku pasti hamil.”
Karena itu yang sering ia tonton di
sinetron: orang muntah, langsung dikira hamil.
Jadi ketika ia benar-benar merasa
sakit, perut kembung, mual, dan bajunya mulai sempit karena kembung atau
kolesterol, otaknya yang sedang kacau menyimpulkan yang paling dramatis: “Saya
hamil.”
Di
Balik Kekonyolan, Ada Pesan yang Dalam
Kisah Nurdin memang terdengar kocak,
absurd, bahkan bisa bikin ngakak karena dramanya. Tapi di balik semua itu, ada
hal penting yang patut kita renungkan:
1.
Anak Perlu Didengar, Bukan Dibentak
Kadang, di balik kalimat yang
terdengar konyol, ada jeritan minta tolong yang gak terdengar. “Saya hamil”
bisa saja berarti “Saya sedang bingung banget soal diri saya sendiri.”
2.
Tidak Semua Drama Harus Dianggap Lucu
Sebagian orang menggunakan lelucon
untuk menutupi luka. Sama seperti Nur, yang mungkin mengatakan hal aneh karena
tidak tahu harus mulai dari mana untuk menjelaskan perasaannya.
3.
Identitas dan Emosi Itu Rumit
Mereka yang sedang mencari jati diri
— terutama yang merasa tidak pas dengan identitas gendernya — sering kali
bergulat sendiri. Dan ketika tidak punya tempat aman untuk cerita, semua jadi
campur aduk: realita dan fiksi, rasa dan logika.
Epilog:
Setelah Suara Tinggi Ibu Mereda
Setelah suasana sedikit tenang, sang
ibu duduk sendiri di ruang makan. Ia melihat piring sayur asem yang tak
disentuh. Ia teringat tatapan mata Nur yang biasanya ceria, tapi kali ini sayu.
Mungkin benar, Nurdin tidak hamil.
Tapi mungkin juga... anaknya sedang butuh pelukan, bukan peringatan.
Beberapa saat kemudian, sang ibu
mengetuk pintu kamar Nurdin.
“Nur... Maaf ya tadi Mama marah.
Kamu nggak papa, kan?”
Tidak ada jawaban. Tapi dari balik
pintu terdengar suara isakan pelan.
Sang ibu menyandarkan tubuhnya ke
pintu. “Mama nggak ngerti gimana rasanya jadi kamu. Tapi Mama pengen
belajar. Boleh?”
Dan di sanalah, untuk pertama
kalinya, suara hati bertemu dengan suara kasih.