Cinta itu memang aneh. Kadang kita nulis surat cinta sepenuh hati, berharap dibaca dengan air mata haru dan musik melankolis di latar belakang.
Tapi kenyataannya?
Si doi malah ketawa
sambil bacain surat kita ke gengnya.
Ya, cinta
memang bisa bikin buta, tapi ternyata juga bisa bikin kita jadi bahan stand-up
comedy gratis.
1. Awal Cerita: Surat Cinta Paling Niat Sepanjang Sejarah
Kisah ini
bermula dari seseorang yang sangat tulus — yaitu aku sendiri.
Waktu itu aku masih muda, polos, dan percaya kalau cinta sejati bisa
disampaikan lewat tulisan tangan.
Alih-alih
kirim chat seperti orang normal, aku malah beli kertas surat warna pink muda
bergambar hati.
Lengkap dengan amplop bunga-bunga dan sedikit semprotan parfum, biar wangi khas
cinta itu nempel.
Aku nulis
pakai pulpen ungu, biar beda. Soalnya hitam dan biru udah terlalu biasa.
Dalam pikiranku, doi bakal baca sambil senyum malu-malu, terus bilang ke temennya,
“Dia tuh
beda banget, romantis banget, tulisannya dalem banget…”
Tapi
ternyata... yang dia bilang justru:
“HAHAHAHA
gila nih orang, tulisannya kayak naskah sinetron!”
2. Isi Suratnya: Campuran Puitis, Drama, dan Sedikit Gagal Fokus
Mari kita
flashback sedikit ke isi surat yang bikin malu itu.
Suratnya panjang banget — kalau dibaca keras-keras bisa menghabiskan dua jam
dan satu kotak tisu.
Kalimat
pembuka:
“Hai kamu,
yang sering mampir di mimpiku tanpa permisi.”
Ya Allah,
sekarang aja aku pengen menampar diri sendiri waktu nulis kalimat itu.
Lalu lanjut
dengan kalimat-kalimat sok puitis seperti:
“Kalau kamu
hujan, aku mau jadi payungnya. Tapi kalau kamu pelangi, aku rela jadi langit
yang nungguin kamu muncul.”
🤦♂️
Waktu nulis
itu, aku merasa kayak penulis novel cinta yang puitis dan mendalam.
Tapi ternyata, bagi dia dan gengnya, itu cuma bahan ketawaan.
Bahkan mereka sempat menirukan dengan nada teater:
“Aku mau
jadi langitnyaa~ HAHAHA!”
Astaga.
3. Momen Tragis: Ketahuan Suratnya Jadi Hiburan Geng Doi
Awalnya aku
gak tahu. Aku pikir suratku dibaca diam-diam, disimpan di bawah bantal, dan
mungkin sesekali diendus karena masih wangi parfum cinta sejati.
Sampai
suatu hari, aku lewat depan kelas mereka dan mendengar suara familiar:
“HAHAHA,
nih liat, dia nulis: ‘Tanpamu dunia terasa sepi seperti Indomaret jam 3
pagi.’”
Suara tawa
bergema.
Dan di tengah lingkaran manusia yang tertawa itu, ada doi — si penerima surat.
Tangannya memegang lembaran pink yang sangat aku kenal.
Rasanya
seperti menonton sinetron di mana pemeran utamanya sadar kalau dia bukan
pemeran utama, tapi figuran yang dijadikan bahan ketawaan.
Aku berdiri
di situ, setengah ingin menghilang, setengah ingin pindah planet.
4. Rasa Malu Level Dewa
Sejak
kejadian itu, setiap kali aku lewat depan kelas doi, aku bisa dengar gumaman
dan tawa kecil.
Temannya bilang, “Eh, itu tuh yang nulis surat pelangi!”
Yang lain menimpali, “Woi, langitnya lewat tuh! HAHAHA.”
Setiap
langkah terasa kayak lomba jalan cepat menuju kehancuran harga diri.
Aku gak pernah ngerasa sekecil itu dalam hidupku.
Bahkan pas
nilai matematika 40 pun gak sesakit ini.
Karena yang ini bukan soal angka — ini soal harga diri yang dijadikan hiburan
publik.
5. Fase Pura-Pura Tenang Tapi Dalam Hati Menjerit
Aku
berusaha tetap cool.
Senyum-senyum aja kalau mereka ketawa. Dalam hati sih udah teriak:
“Tolong,
bumi, telan aku sekarang juga!”
Tapi yang
keluar cuma tawa palsu dan kalimat,
“Haha, iya,
lucu ya. Emang aku suka nulis-nulis gitu.”
Padahal
setelah itu aku langsung ke toilet, ngaca, dan ngomong sendiri:
“Kenapa,
sih, kamu kayak pujangga gagal?”
Setelah
kejadian itu, aku sumpah, setiap kali pegang pulpen warna ungu, tanganku
otomatis gemetar.
Trauma.
6. Fase Galau dan Refleksi Diri
Beberapa
malam setelah kejadian “surat dijadikan bahan ketawa nasional,” aku merenung.
“Kenapa
bisa begini? Aku kan cuma ingin jujur tentang perasaan.”
Tapi
ternyata tidak semua kejujuran pantas diceritakan dalam bentuk surat wangi yang
isinya metafora kelewatan.
Ada kalanya perasaan cukup disimpan di hati — bukan di amplop.
Karena
kalau di amplop, bisa bocor, dan kalau bocor… ya jadi bahan ketawaan.
7. Fase Balas Dendam Penuh Gaya
Tentu saja,
dalam setiap kisah pilu, selalu ada fase bangkit.
Dan aku memilih untuk balas dendam — dengan cara elegan.
Aku mulai
menulis lagi, tapi kali ini bukan surat cinta. Aku bikin cerita
komedi tentang seseorang yang nulis surat cinta dan diketawain
doi bareng gengnya.
Lucunya,
orang-orang yang baca malah ngakak dan bilang:
“Wah,
relate banget, gue juga pernah tuh!”
Dan dari
situ aku sadar: kadang hal paling memalukan dalam hidup bisa jadi bahan hiburan
yang menghidupi (minimal secara mental, kalau belum secara finansial).
8. Doi Akhirnya Nyamperin Lagi (Tapi Terlambat)
Beberapa
bulan kemudian, mungkin karena bosan atau karma, doi tiba-tiba nyamperin.
“Eh, maaf
ya dulu soal surat itu. Kita cuma bercanda kok.”
Dalam
hatiku: “Oh, cuma bercanda? Iya, bercanda yang bikin aku hampir ganti nama dan
pindah sekolah.”
Tapi aku
cuma senyum.
“Gak
apa-apa. Sekarang aku malah nulis blog komedi. Judulnya ‘Suratku Dikoleksi Si
Doi.’”
Wajahnya
langsung berubah antara kaget dan malu.
Karma is digital, my friend.
9. Hikmah dari Surat yang Jadi Bahan Ketawaan
Dari tragedi
ini, aku belajar beberapa hal penting:
1.
Jangan pernah tulis surat cinta
kalau hatimu masih lebay.
Tunggu minimal tiga hari setelah galau, biar tulisanmu lebih waras.
2.
Kalau nulis, jangan terlalu puitis.
Kalimat seperti “aku langitmu” bisa berubah jadi bahan roasting dalam 10 detik.
3.
Jangan underestimate kekuatan geng.
Kalau doi punya geng yang doyan gosip, semua rahasiamu bisa jadi “konten
spontan.”
4.
Tertawakan dirimu sendiri.
Karena kalau kamu bisa ketawa duluan, gak ada yang bisa menertawakanmu lagi.
5.
Dan yang paling penting:
Cinta sejati itu bukan tentang siapa yang bisa bikin surat paling indah, tapi
siapa yang gak menjadikan isi hatimu bahan ketawaan.
10. Epilog: Dari Surat ke Konten
Sekarang
setiap kali aku ingat surat itu, aku gak lagi merasa malu.
Aku malah ketawa sendiri. Karena kalau dipikir-pikir, lucu banget.
Bayangin
aja: aku nulis dengan air mata, dia baca dengan air mata juga — tapi air mata
karena ngakak.
Sungguh simbiosis yang tidak mutualistik.
Tapi ya begitulah
hidup.
Kadang kamu berharap adegan romantis ala film, tapi yang kamu dapat malah
sketsa komedi realita.
Dan kalau
suatu hari nanti aku ketemu orang baru, aku akan bilang dengan tegas:
“Aku gak
akan kirim surat cinta lagi, kecuali kamu janji gak bacain sambil ngumpul
bareng geng gosipmu.”
Kalau dia
setuju, barulah aku tulis. Tapi kali ini di Google Docs, biar bisa
di-edit
dulu sebelum bikin malu lagi.
✍️ Ditulis oleh Tim
CERCU — di mana kisah tragis cinta berubah jadi bahan tertawaan, dan rasa malu
berubah jadi materi yang layak dibagikan ke dunia.
Kata
Kunci
·
cerita lucu cinta
·
surat cinta gagal
·
curhatan kocak
·
kisah cinta jadi bahan ketawaan
·
humor remaja
No comments:
Post a Comment