Wednesday, October 15, 2025

Suratku Dikoleksi Si Doi… Ternyata Buat Bahan Ketawain Bareng Temennya

Cinta itu memang aneh. Kadang kita nulis surat cinta sepenuh hati, berharap dibaca dengan air mata haru dan musik melankolis di latar belakang.

Tapi kenyataannya?
Si doi malah ketawa sambil bacain surat kita ke gengnya.

Ya, cinta memang bisa bikin buta, tapi ternyata juga bisa bikin kita jadi bahan stand-up comedy gratis.

 

1. Awal Cerita: Surat Cinta Paling Niat Sepanjang Sejarah

Kisah ini bermula dari seseorang yang sangat tulus — yaitu aku sendiri.
Waktu itu aku masih muda, polos, dan percaya kalau cinta sejati bisa disampaikan lewat tulisan tangan.

Alih-alih kirim chat seperti orang normal, aku malah beli kertas surat warna pink muda bergambar hati.
Lengkap dengan amplop bunga-bunga dan sedikit semprotan parfum, biar wangi khas cinta itu nempel.

Aku nulis pakai pulpen ungu, biar beda. Soalnya hitam dan biru udah terlalu biasa.
Dalam pikiranku, doi bakal baca sambil senyum malu-malu, terus bilang ke temennya,

“Dia tuh beda banget, romantis banget, tulisannya dalem banget…”

Tapi ternyata... yang dia bilang justru:

“HAHAHAHA gila nih orang, tulisannya kayak naskah sinetron!”

 

2. Isi Suratnya: Campuran Puitis, Drama, dan Sedikit Gagal Fokus

Mari kita flashback sedikit ke isi surat yang bikin malu itu.
Suratnya panjang banget — kalau dibaca keras-keras bisa menghabiskan dua jam dan satu kotak tisu.

Kalimat pembuka:

“Hai kamu, yang sering mampir di mimpiku tanpa permisi.”

Ya Allah, sekarang aja aku pengen menampar diri sendiri waktu nulis kalimat itu.

Lalu lanjut dengan kalimat-kalimat sok puitis seperti:

“Kalau kamu hujan, aku mau jadi payungnya. Tapi kalau kamu pelangi, aku rela jadi langit yang nungguin kamu muncul.”

🤦

Waktu nulis itu, aku merasa kayak penulis novel cinta yang puitis dan mendalam.
Tapi ternyata, bagi dia dan gengnya, itu cuma bahan ketawaan.
Bahkan mereka sempat menirukan dengan nada teater:

“Aku mau jadi langitnyaa~ HAHAHA!”

Astaga.

 

3. Momen Tragis: Ketahuan Suratnya Jadi Hiburan Geng Doi

Awalnya aku gak tahu. Aku pikir suratku dibaca diam-diam, disimpan di bawah bantal, dan mungkin sesekali diendus karena masih wangi parfum cinta sejati.

Sampai suatu hari, aku lewat depan kelas mereka dan mendengar suara familiar:

“HAHAHA, nih liat, dia nulis: ‘Tanpamu dunia terasa sepi seperti Indomaret jam 3 pagi.’

Suara tawa bergema.
Dan di tengah lingkaran manusia yang tertawa itu, ada doi — si penerima surat.
Tangannya memegang lembaran pink yang sangat aku kenal.

Rasanya seperti menonton sinetron di mana pemeran utamanya sadar kalau dia bukan pemeran utama, tapi figuran yang dijadikan bahan ketawaan.

Aku berdiri di situ, setengah ingin menghilang, setengah ingin pindah planet.

 

4. Rasa Malu Level Dewa

Sejak kejadian itu, setiap kali aku lewat depan kelas doi, aku bisa dengar gumaman dan tawa kecil.
Temannya bilang, “Eh, itu tuh yang nulis surat pelangi!”
Yang lain menimpali, “Woi, langitnya lewat tuh! HAHAHA.”

Setiap langkah terasa kayak lomba jalan cepat menuju kehancuran harga diri.
Aku gak pernah ngerasa sekecil itu dalam hidupku.

Bahkan pas nilai matematika 40 pun gak sesakit ini.
Karena yang ini bukan soal angka — ini soal harga diri yang dijadikan hiburan publik.

 

5. Fase Pura-Pura Tenang Tapi Dalam Hati Menjerit

Aku berusaha tetap cool.
Senyum-senyum aja kalau mereka ketawa. Dalam hati sih udah teriak:

“Tolong, bumi, telan aku sekarang juga!”

Tapi yang keluar cuma tawa palsu dan kalimat,

“Haha, iya, lucu ya. Emang aku suka nulis-nulis gitu.”

Padahal setelah itu aku langsung ke toilet, ngaca, dan ngomong sendiri:

“Kenapa, sih, kamu kayak pujangga gagal?”

Setelah kejadian itu, aku sumpah, setiap kali pegang pulpen warna ungu, tanganku otomatis gemetar.
Trauma.

 

6. Fase Galau dan Refleksi Diri

Beberapa malam setelah kejadian “surat dijadikan bahan ketawa nasional,” aku merenung.

“Kenapa bisa begini? Aku kan cuma ingin jujur tentang perasaan.”

Tapi ternyata tidak semua kejujuran pantas diceritakan dalam bentuk surat wangi yang isinya metafora kelewatan.
Ada kalanya perasaan cukup disimpan di hati — bukan di amplop.

Karena kalau di amplop, bisa bocor, dan kalau bocor… ya jadi bahan ketawaan.

 

7. Fase Balas Dendam Penuh Gaya

Tentu saja, dalam setiap kisah pilu, selalu ada fase bangkit.
Dan aku memilih untuk balas dendam — dengan cara elegan.

Aku mulai menulis lagi, tapi kali ini bukan surat cinta. Aku bikin cerita komedi tentang seseorang yang nulis surat cinta dan diketawain doi bareng gengnya.

Lucunya, orang-orang yang baca malah ngakak dan bilang:

“Wah, relate banget, gue juga pernah tuh!”

Dan dari situ aku sadar: kadang hal paling memalukan dalam hidup bisa jadi bahan hiburan yang menghidupi (minimal secara mental, kalau belum secara finansial).

 

8. Doi Akhirnya Nyamperin Lagi (Tapi Terlambat)

Beberapa bulan kemudian, mungkin karena bosan atau karma, doi tiba-tiba nyamperin.

“Eh, maaf ya dulu soal surat itu. Kita cuma bercanda kok.”

Dalam hatiku: “Oh, cuma bercanda? Iya, bercanda yang bikin aku hampir ganti nama dan pindah sekolah.”

Tapi aku cuma senyum.

“Gak apa-apa. Sekarang aku malah nulis blog komedi. Judulnya ‘Suratku Dikoleksi Si Doi.’”

Wajahnya langsung berubah antara kaget dan malu.
Karma is digital, my friend.

 

9. Hikmah dari Surat yang Jadi Bahan Ketawaan

Dari tragedi ini, aku belajar beberapa hal penting:

1.      Jangan pernah tulis surat cinta kalau hatimu masih lebay.
Tunggu minimal tiga hari setelah galau, biar tulisanmu lebih waras.

2.      Kalau nulis, jangan terlalu puitis.
Kalimat seperti “aku langitmu” bisa berubah jadi bahan roasting dalam 10 detik.

3.      Jangan underestimate kekuatan geng.
Kalau doi punya geng yang doyan gosip, semua rahasiamu bisa jadi “konten spontan.”

4.      Tertawakan dirimu sendiri.
Karena kalau kamu bisa ketawa duluan, gak ada yang bisa menertawakanmu lagi.

5.      Dan yang paling penting:
Cinta sejati itu bukan tentang siapa yang bisa bikin surat paling indah, tapi siapa yang gak menjadikan isi hatimu bahan ketawaan.

 

10. Epilog: Dari Surat ke Konten

Sekarang setiap kali aku ingat surat itu, aku gak lagi merasa malu.
Aku malah ketawa sendiri. Karena kalau dipikir-pikir, lucu banget.

Bayangin aja: aku nulis dengan air mata, dia baca dengan air mata juga — tapi air mata karena ngakak.
Sungguh simbiosis yang tidak mutualistik.

Tapi ya begitulah hidup.
Kadang kamu berharap adegan romantis ala film, tapi yang kamu dapat malah sketsa komedi realita.

Dan kalau suatu hari nanti aku ketemu orang baru, aku akan bilang dengan tegas:

“Aku gak akan kirim surat cinta lagi, kecuali kamu janji gak bacain sambil ngumpul bareng geng gosipmu.”

Kalau dia setuju, barulah aku tulis. Tapi kali ini di Google Docs, biar bisa di-edit dulu sebelum bikin malu lagi.

 

Ditulis oleh Tim CERCU — di mana kisah tragis cinta berubah jadi bahan tertawaan, dan rasa malu berubah jadi materi yang layak dibagikan ke dunia.

 

Kata Kunci

·         cerita lucu cinta

·         surat cinta gagal

·         curhatan kocak

·         kisah cinta jadi bahan ketawaan

·         humor remaja


No comments:

Post a Comment