Wednesday, July 16, 2014

"Linggis dari Gudang": Balas Dendam Pemuda Kecil di Bar

1. "Linggis dari Gudang": Balas Dendam Pemuda Kecil di Bar

Di sebuah kota kecil yang hanya punya satu jalan utama, satu pasar tradisional, dan satu bar dengan kursi goyang rusak di pojok ruangan, terjadi sebuah kejadian luar biasa.

Bar itu bernama "Santuy's Tavern". Tidak terlalu ramai, tapi cukup terkenal. Bukan karena minumannya enak, melainkan karena pemilik bar-nya, Pak Jatmiko, yang dikenal suka karaoke sendirian dengan suara seperti knalpot bocor.

Malam itu, suasana bar cukup tenang. Hanya ada beberapa pelanggan. Di sudut ruangan, duduk seorang pemuda kecil—badannya mungil, kurus, memakai jaket jeans belel dan celana ngatung. Ia sedang menyeruput minuman ringan sambil menikmati musik pelan dari radio tua.

Tak ada yang spesial darinya. Ia bukan pengunjung tetap, juga bukan pemabuk. Tapi malam itu, ia seolah menjadi tokoh utama dalam drama laga… dan tragedi.

Masuklah Si Preman

Pintu bar mendadak terbuka keras. Angin malam menyelinap masuk, mengibaskan tirai usang.

Masuklah Kobar, preman lokal. Badannya besar, perut buncit, dan lengan penuh tato gambar naga, harimau, dan entah kenapa… telur mata sapi. Kobar adalah legenda di lingkungan itu—tapi bukan karena kehebatannya, melainkan karena tidak ada yang berani bilang bahwa dia sebenarnya lebih mirip penjaga parkir minimarket daripada preman sungguhan.

Malam itu, Kobar sedang mencari “sensasi”.

Dan matanya langsung tertuju pada pemuda kecil itu.

Heh, cacing pipih! Duduk santai aja? Gak kenal saya, ya?!

Pemuda kecil tidak menjawab. Dia hanya melirik sebentar, lalu kembali memandangi gelasnya.

Tapi Kobar tak suka diabaikan. Tanpa peringatan, dia langsung menendang kursi si pemuda.

Ciaaaattt!!” teriaknya, entah kenapa dengan gaya silat film 80-an.

Pemuda kecil jatuh tersungkur dari bangku.

Dengan sombong, Kobar berkata, “Itu tadi... Taekwondo dari Korea!

Semua orang di bar diam. Pemilik bar mencoba pura-pura sibuk mengelap gelas yang sudah bersih sejak dua jam lalu.

Pemuda kecil, pelan-pelan, bangkit. Dia mengusap lututnya, duduk kembali di bangku, dan... diam. Tidak ada protes. Tidak ada balasan.

Aksi Kedua: Judo dari Jepang

Tak puas dengan aksi pertamanya, Kobar kembali menghampiri si pemuda. Kali ini dengan gaya lebih dramatis. Dengan satu tangan, dia menarik kerah jaket si pemuda dan...

"GUBRAKKK!"

Dibantingnya si pemuda ke lantai.

Itu tadi... Judo dari Jepang!” katanya sambil menyeringai.

Pemuda kecil mulai terlihat memar. Tapi tetap tidak ada perlawanan. Ia duduk kembali, kali ini sedikit tertatih.

Orang-orang mulai kasihan. Tapi tak seorang pun berani mencampuri. Kobar memang dikenal bengis (walau sebenarnya takut sama istrinya).

Aksi Ketiga: Boxing dari Amerika

Beberapa menit berlalu. Pikir Kobar, belum puas kalau belum “kombo 3 jurus.”

Dia datang lagi. Kali ini tanpa basa-basi, langsung menghajar si pemuda dengan tinju ke pipi kiri.

BUGGG!

Pemuda itu terhuyung. Mulutnya mengeluarkan darah. Ia jatuh. Tapi masih sadar.

Kobar tertawa sambil berkata, “Itu tadi... Boxing dari Amerika, Bung!

Pemuda kecil duduk. Tapi kali ini tidak kembali ke kursinya.

Dengan napas berat, ia berdiri perlahan. Lalu melangkah pelan ke arah pintu. Tidak berkata sepatah kata pun.

Hahaha! Kabur dia!” seru Kobar bangga. Ia kembali ke mejanya, memesan minuman.

Misteri Gudang & Balasan Tertunda

Beberapa menit berlalu. Kobar masih tertawa sendiri, sambil menyombongkan diri ke siapa pun yang mau mendengarkan.

Tiba-tiba… pintu bar terbuka lagi.

Semua menoleh.

Masuklah pemuda kecil tadi.

Tapi kali ini, ada yang berbeda.

Dia tidak lagi berwajah bingung. Tidak gemetar. Ia melangkah pelan… pasti… seperti aktor laga dalam film India saat adegan klimaks.

Dia menghampiri Kobar. Dan sebelum siapa pun bisa bereaksi...

"BLETOKKKK!!"

Satu pukulan keras mendarat tepat di kepala Kobar.

Tubuh sang preman raksasa itu limbung, lalu jatuh ke lantai... pingsan. Nyaris tanpa suara.

Semua orang terdiam. Pemuda kecil mengusap pelipisnya yang sedikit berdarah. Ia memandang tubuh Kobar yang tergeletak, lalu memandang pemilik bar, Pak Jatmiko.

Dengan tenang, ia berkata:

“Pak, kalau dia bangun… tolong bilang... yang tadi itu adalah linggis dari gudang.”

Kejadian yang Mengubah Sejarah Bar

Keesokan harinya, cerita itu menyebar seantero kota kecil. Orang-orang menyebutnya “Insiden Linggis.” Kobar, sang preman, tidak berani keluar rumah selama dua minggu. Konon, ia mulai ikut kursus manajemen emosi dan meditasi.

Bar "Santuy's Tavern" mendadak ramai dikunjungi orang-orang yang ingin tahu cerita asli dari Pak Jatmiko.

Dan pemuda kecil itu? Ia pergi begitu saja malam itu setelah membayar minumannya. Tapi legenda tentangnya tetap hidup.

Pelajaran Moral (atau Tidak?)

Cerita ini menyimpan banyak hikmah:

  1. Jangan remehkan orang berdasarkan ukuran tubuh. Kadang yang kecil itu menyimpan “alat berat”.

  2. Taekwondo, Judo, dan Boxing memang keren, tapi linggis di gudang juga cukup mematikan.

  3. Kalau mau cari ribut, jangan di bar. Apalagi kalau bar-nya punya gudang.

Dan tentu saja…

  1. Selalu pastikan gudang Anda terkunci.

Penutup

Kisah pemuda kecil dan si preman menjadi salah satu cerita paling lucu dan legendaris yang pernah terjadi di kota kecil itu. Masyarakat bahkan mengusulkan agar bar "Santuy's Tavern" mengganti nama jadi “Linggis & Co.” sebagai penghargaan.

Pak Jatmiko menolak, tapi diam-diam mulai menjual kaos bertuliskan:

“Itu tadi… linggis dari gudang.”

CERCU
Cerita Lucu, Humor Tajam Setajam Linggis


======================================================

2. "Sandaran dari Warung Sebelah"

(Balada Bangku Kayu dan Dendam Tukang Bakso)

Di sebuah gang sempit yang hanya bisa dilewati satu motor dan satu kucing bersamaan (asal kucingnya rela minggir), terdapat sebuah warung kopi legendaris bernama "WarKop Damai". Bukan karena kopinya enak, tapi karena bangkunya keras dan senderannya longgar.

Pemiliknya, Pak Harun, sudah tua tapi semangatnya membara seperti air ketel yang lupa dimatikan. Di warung itu, berkumpullah para tukang ojek, bapak-bapak pensiunan, dan... satu tukang bakso keliling bernama Ujang.

Ujang adalah pribadi santun. Tapi di balik mangkok baksonya, tersimpan dendam lama—karena sandaran bangku Pak Harun telah merusak reputasi punggungnya.

Awal Mula Insiden

Suatu sore, Ujang mampir untuk ngopi. Duduklah ia di bangku kayu dengan senderan legendaris itu. Baru juga bersandar sedikit...

KREK!!

Sandarannya patah. Ujang jatuh ke belakang seperti jati diri saat ditinggal mantan.

Pak Harun: “Waduh, maaf, Jang! Itu memang udah goyang dari dulu...”

Ujang: “Dari dulu kenapa gak diganti, Pak?”

Pak Harun: “Itu sandaran punya nilai sejarah. Pernah diduduki ketua RT tiga periode berturut-turut.”

Ujang: “Punggung saya juga punya sejarah, Pak! Dan sekarang retaknya nambah babak!”

Pak Harun hanya nyengir sambil menawarkan kopi gratis. Tapi bagi Ujang, ini bukan sekadar jatuh. Ini... penghinaan terhadap sistem musculoskeletal nasional!

Aksi Balas Dendam

Seminggu kemudian, Ujang datang lagi.

Tapi kali ini... dia membawa obeng dan lem Fox.

Diam-diam, sebelum duduk, ia memperbaiki bangku yang patah. Tapi bukan untuk memperbaiki kenyamanan. Tidak, teman-teman.

Ia merekayasa bangku itu menjadi jebakan mematikan.

Sandarannya ia perkuat sedikit, namun hanya di satu sisi. Sisi lainnya ia ganjal pakai tusuk sate dan sumpah serapah dalam hati.

Lalu Ujang pergi.

Korban Pertama

Esok harinya, datanglah Pak RT yang sombong dan suka nitip utang kopi. Ia duduk di bangku jebakan Ujang. Dengan gaya sok penting, ia menyandarkan diri dan bilang:

Pak RT: “Wah, sandarannya udah dibenerin ya, Pak Harun?”

Pak Harun: “Lho? Saya gak benerin apa-apa...”

Pak RT: “Eh?”

KRAAAK!!!

Pak RT terguling, keteknya nyangkut di gagang pintu warung.

Ujang dari kejauhan hanya tersenyum...

Itu tadi... sandaran dari warung sebelah.

Epilog

Sejak saat itu, bangku itu dikenal dengan nama “Bangku Penguji Keimanan.” Siapa pun yang mencoba menyandar tanpa izin, biasanya jatuh… atau tercerahkan.

Pak Harun akhirnya mengganti semua bangku dengan plastik. Tapi cerita tentang Ujang si Penjual Bakso dan Dendam Sandaran tetap hidup di antara seduhan kopi dan keringat sore hari.

Pelajaran Moral:

  • Jangan pernah remehkan tukang bakso dengan obeng.

  • Sandaran palsu lebih berbahaya dari mantan yang pura-pura sayang.

  • Kalau ingin nyaman… bawa kursi sendiri.

CERCU
Cerita Lucu, Selegendaris Senderan Warung 😄


===============================================================

3. "Kerupuk dari Surau"

(Kisah Suara Mistis dan Rahasia Ibu-Ibu Pengajian)

Di sebuah desa yang adem dan damai, berdirilah Surau Al-Ikhlas, tempat di mana bapak-bapak mengaji, ibu-ibu bergosip berbalut doa, dan anak-anak lari-larian sambil makan kerupuk gratis.

Surau itu punya satu kebiasaan unik: setiap malam Jumat, ada pengajian khusus ibu-ibu lengkap dengan konsumsi—biasanya teh manis, pisang goreng, dan kerupuk udang cap Sabar Tak Bertepi.

Namun suatu malam, kejadian aneh terjadi.

Suara Gaib dari Dalam Surau

Malam itu, pengajian berjalan seperti biasa. Bu RT sedang khusyuk membaca ayat, Bu Lurah sibuk nyorekin pisang goreng, dan Bu Yati diam-diam menyelipkan dua kerupuk ke tasnya.

Tiba-tiba…

“KRAUK... KRAUK... KRAUK...”

Terdengar suara orang makan kerupuk—kencang dan dalam... padahal semua ibu-ibu sudah habis makan.

Semua saling pandang.

Bu RT: “Itu… suara siapa ya, Bu?”

Bu Yati (nada panik): “Saya gak makan lagi kok… sumpah, ini sisa gigitan terakhir saya tadi!”

Mereka diam. Sunyi. Tapi...

“KRAUK… KRAUK…”

Suara itu terdengar lagi. Kali ini lebih berat. Seperti... suara dari alam lain yang juga suka camilan gurih.

Seketika suasana mencekam. Ibu-ibu mulai merapat ke pintu keluar.

Bu Lurah: “Jangan-jangan… suraunya angker?”

Bu RT: “Jangan-jangan... kerupuknya jin yang punya!”

Tiba-tiba… pintu gudang surau terbuka pelan

“Ciiiiit…”

Dan muncullah... Udin, anak kecil tetangga surau, dengan kerupuk menempel di pipi dan senyum bego.

Udin: “Maaf, Bu-Bu... saya ngumpet tadi... soalnya takut disuruh ngaji.”

Tangisan, Tawa, dan Terselamatkannya Surau

Setelah itu, suasana tegang berubah jadi tawa lepas. Ibu-ibu menertawakan diri sendiri. Bahkan Bu Yati, yang kerupuknya tinggal satu di tas, mengaku rela berbagi dengan Udin.

Bu RT: “Lain kali ngaji ya, Din, bukan ngunyah!”

Udin: “Siap, Bu. Tapi boleh sambil bawa kerupuk gak?”

Pelajaran Moral:

  • Jangan langsung menyalahkan jin kalau dengar suara aneh. Bisa jadi... anak tetangga belum makan malam.

  • Ibu-ibu bisa lebih takut sama suara kerupuk daripada suara ceramah.

  • Dan tentu saja... kerupuk dari surau tidak pernah salah. Yang salah hanya niat makan doang, tapi gak ikut ngaji.

==================================================================

4. "Kentut Misterius Saat Shalat Tarawih"

(Drama Masjid, Bau Tak Kasat Mata, dan Fitnah Berantai)

Ramadan di kampung Cibebek Wetan selalu meriah. Anak-anak main petasan, remaja masjid semangat ngatur karpet, dan ibu-ibu... sibuk ngeteh di emperan masjid sebelum Tarawih.

Tapi malam itu...
Di rakaat ke-6 Tarawih, terjadilah sebuah insiden yang mencoreng kesunyian dan ketakwaan.

Kronologi Bau

Imam masjid sedang khusyuk membaca:

“Walad dhaaallliiin… Aamiin…”

Dan jamaah pun ruku'.

Saat itulah, kejadian itu terjadi.

“PPRRROOOTTTTTT.”

Suara kentut keras, jelas, dan beraroma penuh penderitaan, muncul dari shaf tengah bagian kanan.
Semua jamaah langsung sadar... bahwa malam ini bukan sekadar ujian iman, tapi juga uji ketahanan napas.

Beberapa orang mulai goyah. Satu dua jamaah menahan tawa. Yang lain terbatuk pelan, berpura-pura masuk angin.

Pak RW, yang berada tepat di belakang sumber suara, terlihat gemetar. Bukan karena takut… tapi karena sedang menahan muntah sambil istighfar.

Fitnah dan Tuduhan Tak Berdasar

Selesai salam, jamaah masih duduk. Tapi suasana aneh. Sunyi… tapi tegang.

Pak Daeng: “Kayaknya si Ucup deh. Dia dari tadi gerak-gerak aneh.”

Pak RT: “Enggak, kayaknya yang pakai sarung kotak-kotak. Wajahnya merah.”

Buya Haji: “Semua diam… ini masjid. Kita jaga prasangka baik.”

Tapi sejujurnya… semua sedang menilai siapa yang paling mencurigakan.
Yang paling gelisah, paling ngipasin hidung, atau yang terlalu cepat keluar masjid.

Pahlawan Tak Terduga

Saat jamaah mulai bubar, dan kecurigaan makin kuat, seorang anak kecil datang dari arah belakang. Namanya Unyil. Usianya 9 tahun. Lugu, polos, dan... habis makan telur rebus busuk dari warung sebelah.

Dengan wajah tak berdosa, dia berkata:

“Pak Haji... tadi maaf ya. Saya gak tahan… abis makan telur, terus kebelet... jadinya kentut.”

Semua langsung menoleh.

Pak RW: “HAH?! Itu kamu?! Astaghfirullah... hampir saya fitnah tetangga saya sendiri!”

Pak Daeng: “Kirain si Ucup. Maaf ya, Cup.”

Ucup: “Gue emang sering gerak-gerak, tapi bukan berarti gue kentut, Bang!”

Semua pun tertawa lega… meski masih ada yang menutup hidung karena trauma.

Epilog

Sejak malam itu, masjid kampung Cibebek Wetan membuat aturan baru:

  • Anak-anak duduk di shaf paling belakang.

  • Yang habis makan telur, dilarang ikut Tarawih sebelum 30 menit lewat.

  • Dan siapa pun yang kentut, harus punya keberanian seperti Unyil: jujur, meski memalukan.

Unyil sendiri?
Ia dijuluki “Syekh Bau Angin” oleh anak-anak komplek. Tapi juga dihormati karena keberaniannya… menghadapi kenyataan, dan... gas buatan sendiri.

Pelajaran Moral:

  • Kentut bisa merusak ibadah, tapi fitnah bisa lebih membahayakan.

  • Jangan langsung menuduh orang... bisa jadi yang salah malah si bocil.

  • Dan paling penting: hindari makan telur rebus sebelum Tarawih.


Tuesday, June 10, 2014

JANDA PERAWAN

 

Janda Perawan

Di sebuah klinik kandungan, seorang dokter dikejutkan dengan pasien yang... ya, bisa dibilang unik bin ajaib.

Datanglah seorang perempuan elegan, wajahnya tenang tapi menyimpan sejuta cerita. Usianya sudah matang, penampilannya rapi, dan dari nada bicaranya tampak percaya diri. Tapi yang membuat dokter agak mengerutkan dahi adalah ketika sang pasien memperkenalkan diri:

"Dok, hati-hati ya periksanya… saya masih perawan lho!"

Dokternya langsung berhenti menulis.

“Lho? Ibu kan katanya sudah menikah tiga kali dan cerai tiga kali, kok masih perawan?”

Senyum si ibu tak luntur. Ia menjawab dengan enteng:

“Gini lho dok… Suami saya yang pertama ternyata impoten, gak bisa ngapa-ngapain. Jadi ya... aman, dok.”

Dokter mengangguk pelan. “Oh... begitu. Tapi suami kedua, pasti normal, kan?”

“Normal sih iya, dok. Cuma... ternyata dia gay. Jadi saya gak pernah disentuh juga.”

Kening sang dokter mulai berkerut lebih dalam. “Oke… tapi suami ketiga? Masa iya dia juga gak nyentuh ibu?”

Si ibu mengangguk sambil menarik napas panjang.

“Suami saya yang ketiga itu politisi, dok...”

Dokter menghela napas, separuh frustasi, separuh penasaran.

“Lah? Apa hubungannya sama keperawanan ibu?”

Dan jawaban si janda sukses membuat dokter hampir tersedak:

“Dia cuma janji-janji terus, dok… gak pernah direalisasiin!”

😂😂😂

Kesimpulan moral dari cerita ini?
Kadang, yang paling menyakitkan itu bukan impoten, bukan orientasi, tapi janji-janji manis tanpa realisasi.

Jadi hati-hati ya, jangan sampai kamu jadi "korban politisi" juga. Hehehe.

CERCU - Cerita Lucu
Buat hari kamu lebih ringan, karena tawa adalah obat paling mujarab tanpa efek samping.

Kalau kamu suka cerita ini, jangan lupa share ke teman kamu yang lagi galau... Biar tahu, ada juga "janda perawan" karena janji-janji palsu! 😄

===================================================

PENJAGA WARNET YANG BIJAK

Di sebuah kota kecil, ada warnet legendaris yang sudah beroperasi sejak zaman Facebook masih pakai status "Is feeling happy". Penjaganya, sebut saja Bang Udin, dikenal bukan hanya galak kalau ada yang colokin flashdisk sembarangan, tapi juga bijak dan filosofis.

Suatu hari, seorang anak muda datang ke warnet dan langsung nanya:

“Bang, ada komputer yang deket colokan gak?”

Bang Udin jawab tanpa menoleh:

“Semua komputer deket colokan, Dik… tinggal kamu yang mau berjuang atau enggak.”

Anak itu bingung. Tapi dia milih senyum aja dan duduk.

Beberapa menit kemudian:

“Bang, internetnya lemot nih!”

Bang Udin mendekat pelan, lalu dengan wajah serius berkata:

“Lemot bukan karena jaringan, Dik... tapi karena hatimu belum bisa move on dari mantan.”

Anak itu langsung tutup semua tab yang isinya mantan lagi nikah.

Gak lama kemudian, ada bocah kecil main game teriak-teriak sambil marah-marah karena kalah terus.

“GILA NIH GAME, KAYAK SETAN!”

Bang Udin datang, tepuk bahunya, dan bilang:

“Jangan maki-maki, Nak… Karena kadang kita kalah bukan karena game-nya jahat, tapi karena skill kita yang pas-pasan.”

😂😂😂

Pelajaran dari Warnet Bang Udin:
Hidup ini bukan soal sinyal, tapi soal sikap. Lemot bisa jadi karena kamu terlalu banyak buka tab masa lalu. 😎

Kalau kamu suka cerita ini, tunggu cerita Bang Udin berikutnya:
"Ketika Emak Nebeng Wi-Fi Warnet Buat Nonton Drama Korea" 😆


Friday, May 9, 2014

Kesalahan yang Menjadi Kebiasaan


Drama Kantor Sehari-hari: Kejutan Kecil dari Tono

Tokoh-tokoh:

  1. Pak Budi - Bos yang sering bingung, tetapi baik hati.
  2. Rina - Sekretaris yang cerdas, tetapi terkadang suka lupa.
  3. Tono - Pegawai baru yang selalu ingin mencoba hal baru, tetapi sering salah.
  4. Dina - Rekan kerja yang selalu sibuk dan agak sarkastis.

Setting: Ruang kantor dengan meja, kursi, komputer, dan telepon.

Adegan 1: Di ruang kantor, Rina sedang sibuk mengetik sesuatu di komputer. Pak Budi masuk dengan tampang bingung, mencari sesuatu di kantong celananya.

Pak Budi: (berbisik pada diri sendiri) "Mana kunci kantor, ya? Tadi kayaknya di sini deh."

Rina: (melihat Pak Budi) "Pak Budi, ada yang bisa saya bantu?"

Pak Budi: "Rina, kamu lihat kunci kantor nggak? Tadi kayaknya di saku saya."

Rina: (berpikir) "Hmm, coba Bapak cek di meja kerja Bapak."

Pak Budi: "Oh, iya, benar juga. Mungkin ketinggalan di sana." (keluar dari ruangan dengan panik)

Tono: (masuk dengan tawa) "Pak Budi selalu begitu ya, suka lupa sendiri."

Rina: "Ya, namanya juga Pak Budi. By the way, Ton, kamu udah beres kerjaan hari ini?"

Tono: "Ehm, hampir. Tapi... aku tadi nggak sengaja menghapus file penting."

Rina: (terkejut) "Apa? File yang mana?"

Tono: "Yang... laporan bulanan itu."

Rina: (mengerang) "Aduh, Tono! File itu penting banget! Kamu udah lapor ke Pak Budi belum?"

Tono: "Belum. Aku takut dimarahi."

Rina: "Ya ampun, yaudah coba kamu cari cara buat ngembalikan file-nya. Cepat sebelum Pak Budi tahu!"

Adegan 2: Dina masuk sambil membawa banyak berkas. Dia terlihat sibuk dan terburu-buru.

Dina: "Rina, kamu lihat berkas yang aku minta tadi pagi?"

Rina: "Ehm... tunggu sebentar." (mencari berkas di tumpukan kertas)

Dina: (sambil melirik ke arah Tono) "Tono, kok kamu kayaknya pucat? Ada apa?"

Tono: "Aduh, Mbak Dina, aku tadi nggak sengaja hapus file laporan bulanan."

Dina: (tertawa sarkastis) "Hapus? Ya ampun, Tono. Kamu memang selalu bikin kejutan, ya. Udah tahu belum kalau Pak Budi itu bisa berubah jadi Hulk kalau tahu hal begini?"

Tono: "Hah? Hulk? Ya ampun, gimana nih?"

Dina: "Tenang, tenang. Bercanda kok. Tapi serius, coba minta tolong bagian IT. Siapa tahu bisa diselamatkan."

Adegan 3: Pak Budi kembali ke ruangan dengan wajah lega, memegang kunci kantor.

Pak Budi: "Aha! Ketemu juga kuncinya! Eh, kalian kenapa? Kok pada tegang?"

Rina: (terkekeh) "Nggak kok, Pak. Cuma Tono tadi habis ngasih kejutan kecil."

Tono: "Iya, Pak, kejutan. Hehehe..."

Pak Budi: "Hah? Kejutan apa?"

Dina: (sambil tersenyum) "Nggak ada yang serius kok, Pak. Cuma dia lagi belajar supaya nggak bikin kesalahan lagi."

Pak Budi: "Bagus, bagus. Asal belajarnya benar, jangan sampai jadi kebiasaan aja, ya!"

Tono: "Siap, Pak! Saya janji!"

Pak Budi: "Nah, sekarang ayo kerja lagi! Besok kan ada rapat besar. Jangan sampai ada kejutan lagi, ya!"

Semua: (bersamaan) "Siap, Pak!"

Penutup: Semua kembali ke meja kerja masing-masing. Tono terlihat sedikit tegang tapi tersenyum lega.

===============================

 

 Drama Kantor Sehari-hari: Kejutan Kecil dari Tono

Pagi itu, suasana di kantor masih cukup tenang. Suara keyboard mengetik dan deru kipas angin dari AC tua menjadi latar belakang rutin. Rina, sang sekretaris yang cerdas tapi agak pelupa, sedang fokus mengetik laporan di komputernya. Seperti biasa, kacamata duduk manis di ujung hidungnya, dan secangkir kopi sudah separuh habis di samping monitor.

Tiba-tiba pintu terbuka pelan. Pak Budi, bos besar yang dikenal baik hati tapi sering kali kebingungan, masuk dengan langkah ragu. Wajahnya seperti sedang mencari sesuatu—dan memang benar.

“Mana kunci kantor, ya?” bisiknya pada diri sendiri sambil merogoh kantong celana depan, lalu belakang, lalu depan lagi. “Tadi kayaknya di sini deh.”

Rina mengangkat kepala, menoleh. “Pak Budi, ada yang bisa saya bantu?”

Pak Budi menatap Rina dengan wajah penuh harap. “Rina, kamu lihat kunci kantor nggak? Tadi kayaknya di saku saya, tapi sekarang hilang.”

Rina berpikir sejenak, lalu berkata, “Coba Bapak cek di meja kerja Bapak. Siapa tahu ketinggalan di sana.”

Mata Pak Budi langsung membesar seolah baru dapat pencerahan. “Oh iya, benar juga! Mungkin ketinggalan di sana.” Dan tanpa basa-basi, ia keluar dari ruangan dengan langkah panik.

Tak lama kemudian, muncullah Tono, pegawai baru yang penuh semangat dan rasa penasaran. Sayangnya, semangatnya itu sering kali justru berujung pada kekacauan kecil.

“Pak Budi selalu begitu ya, suka lupa sendiri,” katanya sambil tertawa, menurunkan tas dari bahu.

Rina mengangkat alis dan tersenyum kecil. “Ya, namanya juga Pak Budi. Tapi hatinya baik, kok. By the way, Ton, kamu udah beres kerjaan hari ini?”

Tono menggaruk-garuk kepala, terlihat ragu. “Ehm... hampir. Tapi... aku tadi nggak sengaja menghapus file penting.”

Rina langsung berhenti mengetik. “Apa? File yang mana?”

“Yang... laporan bulanan itu,” jawab Tono dengan suara nyaris seperti bisikan.

Rina memutar mata. “Aduh, Tono! File itu penting banget! Kamu udah lapor ke Pak Budi belum?”

Tono menggeleng cepat. “Belum. Aku takut dimarahi.”

Rina menarik napas dalam. “Ya ampun. Yaudah, coba kamu cari cara buat ngembaliin file-nya. Mungkin bisa recovery. Cepetan sebelum Pak Budi tahu!”

Belum selesai suasana cemas itu reda, Dina masuk ke ruangan. Dina ini rekan kerja mereka yang selalu tampak sibuk—lengkap dengan berkas bertumpuk di pelukannya dan gaya bicara yang kadang sarkastis.

“Rina, kamu lihat berkas yang aku minta tadi pagi?” tanyanya tanpa basa-basi.

Rina langsung membuka tumpukan kertas di mejanya. “Ehm... tunggu sebentar ya.”

Dina melirik ke arah Tono yang terlihat seperti anak ayam kehilangan induk.

“Tono, kok kamu kayaknya pucat? Ada apa?”

Tono terlihat makin panik. “Aduh, Mbak Dina, aku tadi nggak sengaja hapus file laporan bulanan.”

Dina tertawa kecil, gaya khasnya. “Hapus? Ya ampun, Tono. Kamu memang selalu bikin kejutan, ya. Udah tahu belum kalau Pak Budi itu bisa berubah jadi Hulk kalau tahu hal begini?”

“Hah? Hulk?” Tono makin panik. “Ya ampun, gimana nih?”

Dina menepuk pundaknya. “Tenang, tenang. Bercanda kok. Tapi serius, coba minta tolong bagian IT. Siapa tahu bisa diselamatkan. Biasanya sih ada backup-nya.”

Saran Dina itu langsung membuat Tono seperti mendapatkan secercah cahaya di tengah badai. “Iya, iya, aku ke IT sekarang!” Dan ia langsung melesat keluar.

Beberapa menit kemudian, pintu terbuka kembali. Pak Budi muncul lagi dengan wajah sumringah sambil mengacung-acungkan kunci kantor.

“Aha! Ketemu juga kuncinya!” serunya penuh kemenangan. “Eh, kalian kenapa? Kok pada tegang?”

Rina terkekeh. “Nggak kok, Pak. Cuma Tono tadi habis ngasih kejutan kecil.”

Tono baru saja kembali dari bagian IT, dengan wajah agak lega meski masih cemas. “Iya, Pak. Kejutan. Hehehe...”

Pak Budi mengerutkan dahi. “Hah? Kejutan apa?”

Dina langsung sigap menengahi. “Nggak ada yang serius kok, Pak. Cuma dia lagi belajar supaya nggak bikin kesalahan lagi.”

Pak Budi menepuk bahu Tono. “Bagus, bagus. Asal belajarnya benar, jangan sampai jadi kebiasaan aja, ya!”

“Siap, Pak! Saya janji!”

Pak Budi tersenyum puas. “Nah, sekarang ayo kerja lagi! Besok kan ada rapat besar. Jangan sampai ada kejutan lagi, ya!”

“Siap, Pak!” jawab mereka serempak, seperti anak-anak sekolah menjawab gurunya.

Semua pun kembali ke tempat masing-masing. Rina kembali ke keyboardnya, Dina ke tumpukan berkasnya, dan Tono duduk di depan komputernya sambil bernapas lega.

Pelajaran dari Sebuah Kejutan

Kisah sehari-hari di kantor ini mungkin terdengar sederhana, tapi sesungguhnya menyimpan banyak pelajaran. Pertama, tidak ada yang sempurna di kantor ini. Bahkan Pak Budi, sang bos, bisa lupa tempat naruh kunci. Rina, meski cerdas, kadang suka lupa taruh berkas. Dina, yang kelihatan paling sibuk dan galak, ternyata punya sisi peduli yang cukup besar. Dan Tono? Ya, dia mewakili kita semua di hari pertama kerja: semangat tinggi, tapi kadang malah bikin masalah.

Yang penting adalah bagaimana mereka semua menanggapi kesalahan itu. Nggak ada yang marah berlebihan. Nggak ada yang saling menyalahkan. Yang ada justru saling mengingatkan, membantu, bahkan bercanda agar suasana tetap cair.

Bekerja di kantor bukan cuma soal menyelesaikan tugas. Tapi juga soal membangun hubungan, memahami karakter masing-masing, dan tentu saja... menghadapi kejutan yang bisa datang kapan saja.

Di balik meja-meja, kursi-kursi, komputer yang selalu menyala, dan telepon yang kadang berbunyi tiba-tiba, selalu ada cerita unik yang tak tertulis dalam SOP kantor mana pun. Seperti hari itu, ketika satu file hilang nyaris membuat kantor panik, tapi juga menjadi momen keakraban antar-rekan kerja.

Tono kini tahu bahwa menghapus file penting itu bukan akhir dunia. Selama masih ada niat memperbaiki, masih ada harapan. Dan dia juga belajar, kalau Dina yang kelihatan galak itu, ternyata bisa juga jadi penolong. Rina? Ia belajar untuk lebih rapi lagi menaruh berkas. Sementara Pak Budi? Yah, semoga habis ini beliau mulai memakai gantungan kunci supaya nggak panik tiap pagi.

Akhirnya, semua kembali seperti biasa. Tapi hari itu tetap akan diingat sebagai “Hari Kejutan Tono”. Sebuah kisah yang nantinya mungkin akan diceritakan ke pegawai baru lainnya: “Dulu ada satu anak baru, namanya Tono...”

Dan cerita pun terus berlanjut, seperti hidup yang tak pernah kehabisan drama kecil.

TAMAT

 


Friday, April 11, 2014

Surat Cinta Tangan Pertama untuk Sri – Aco, 2006

 


1. "Surat Cinta Tangan Pertama untuk Sri – Aco, 2006"


Kepada Sri yang selalu bersinar di hatiku,


Halo, Sri… Aku harap kamu baik-baik saja. Aku nulis surat ini sambil dengerin lagu "Kangen" nya Dewa 19. Tiba-tiba aja aku jadi pengen ngungkapin perasaan ini, walau aku nggak tau harus mulai dari mana.

Aku masih inget pertama kali liat kamu di warung Bu Ani waktu kamu beli Tango Wafer cokelat. Rambutmu yang panjang dikepang dua, baju seragam SMP biru putihmu yang agak kebesaran, dan senyummu yang bikin aku nggak bisa tidur semalaman. Sejak saat itu, aku selalu "kebetulan" lewat depan sekolahmu jam 2 siang, biar bisa liat kamu pulang. Kadang aku numpang beli es teh di warung deket gerbang sekolahmu, padahal nggak haus, cuma pengen liat kamu lewat.

Aku nggak berani ngomong langsung, makanya aku nulis surat ini. Aku habisin 3 lembar kertas binder Sinar Dunia buat nulis draftnya. Yang pertama kepanjangan, yang kedua ada coretan tipe-x, yang ketiga… ini, yang akhirnya jadi. Aku pake tinta biru, soalnya kata temenku, tinta hitam terlalu formal kayak surat dinas.

Aku juga semprotin surat ini pake parfum sample dari majalah Gadis (maaf kalau baunya agak aneh, soalnya ini sisa percobaan nomor 4). Aku tempelin stiker bintang-bintang sisa ulangan matematika yang nilainya 60, biar ada kesan "kamu bintang di hidupku" (garing ya? Tapi aku beneran ngerasa gitu).

Aku suka cara kamu ketawa waktu di kelas, suaramu waktu nyanyi "Bintang di Surga" di acara 17-an kemarin, dan… bahkan cara kamu marahin temenmu yang minjem pensil nggak dikembaliin. Aku pengen kenal kamu lebih dekat. Nggak harus jadi pacar sih… tapi kalau kamu mau, aku janji bakal anter kamu pulang pake Honda Astrea Grand punya kakakku (meskipun kadang mogok).

Kalau kamu nggak suka, gapapa kok. Kamu bisa balas surat ini atau kasih tanda "" di pojok kertas kalau mau, atau "" kalau nggak. Tapi tolong jangan kasih ke siapapun, apalagi Bu Tuti guru BK…

Dari Aco yang selalu nunggu di belakang pohon mangga dekat sekolahmu

P.S: Aku selipin foto aku waktu jalan-jalan ke PW, biar kamu tau aku nggak cuma jago nulis surat doang.



Detail "Vintage" Surat Cinta Era 90-an/2000-an:

Media: Kertas binder bergaris, mungkin ada bekas hapusan tip-ex.

Dekorasi: Stiker hello kitty/bintang, parfum sample (bau khas alkohol + floral).

Gaya Bahasa: Jujur tapi malu-malu, pakai referensi pop culture masa itu (Dewa, Peterpan).

Strategi Pengiriman:

Diselipin di buku PR doi lewat temen sekelas.

Atau dikirim via "pos alay" (surat dilipat bentuk love/pesawat kertas).

Bonus Nostalgia:

"Kalau mau jawab, kasih ke Adi aja. Dia tukang jualan permen di kantin."

"Jangan dibalas pake SMS ya, soalnya aku pakai Nokia 3310, pulsa tinggal 200."

Kira-kira Sri bakal jawab apa ya? 😄 #ZamanBaheula

 

===============================================


2. "Surat Cinta Pertama untuk Dian – Andre, 2004 (Versi Gagal Total)"

Kepada Dian yang selalu bikin aku salah tingkah,

Hai, Dian… Aku nulis surat ini sambil dengerin "Cobalah Mengerti" nya Peterpan, soalnya liriknya mirip banget sama isi hatiku. Nggak tau kenapa tiba-tiba aku berani nulis ini, mungkin karena kemarin habis liat kamu jualan kue di bazar sekolah. Eh, tapi jangan salah paham, aku nggak mau pesen kue—aku mau pesen hati kamu. (Garing? Iya, aku tahu.)

Aku pertama kali naksir waktu liat kamu ngambek gara-gara kalah main game PS1 di warnet deket rumahmu. Muka kamu kayak orang mau nyembur api, tapi tetep lucu. Sejak itu, aku sengaja lewat depan rumahmu tiap hari—pura-pura jogging, padahal ngos-ngosan karena nggak biasa olahraga. Nggak tanggung-tanggung, aku sampe beli kartu Telkomsel 10rb buat sms-an sama kamu, tapi cuma berani kirim "met istirahat siang".

Surat ini aku tulis pake kertas buku tulis merk Sidu bekas ulangan IPA (masih ada bekas coretan rumus fotosintesis). Aku tempelin stiker Doraemon sisa jajan Chiki, biar keliatan aesthetic. Aku juga semprot parfum sample dari majalah Aneka Yess! (maaf kalau baunya kayak obat nyamuk, soalnya emang sampelnya udah kadaluarsa).

Aku suka cara kamu ngomong sambil geleng-geleng kepala, suara kamu waktu nyanyi lagu "Bukan Cinta Biasa" di acara pensi, sampe cara kamu marahin adikmu yang numpang hape buat sms-an. Aku pengen kenal kamu lebih dekat. Nggak harus jadi pacar sih… tapi kalau mau, aku janji bakal anter kamu jalan-jalan naik sepeda United (meskipun remnya suka blong).

Kalau kamu nggak suka, nggak apa-apa. Kamu bisa balas surat ini atau kasih tanda:
✅ = Aku juga suka
❎ = Maaf, aku cuma suka sama makananmu

Tolong jangan kasih tahu siapapun—apalagi Pak Joko guru olahraga, soalnya dia suka ngeledekin aku tiap upacara.

Dari Andre yang sering ngintip kamu dari balik pagar

P.S: Aku selipin foto aku waktu jalan-jalan ke TMII, biar kamu tahu aku bisa foto yang bagus (walau pose-nya kaku kayak patung).

 

Detail Nostalgia Zaman Old:

  • Media: Kertas buku tulis kotak-kotak, ada bekas hapusan pakai Tip-Ex yang nggak rapi.
  • Dekorasi: Stiker Power Rangers sisa jajan Chiki + parfum sample bau alkohol tajam.
  • Gaya Bahasa: Alay tapi polos, nyelipin lirik lagu Peterpan/Dewa biar keliatan romantis.
  • Strategi Pengiriman:
    • Diselipin di tas doi lewat adik kelas (yang dibayar 1 bungkus Chiki).
    • Dikirim lewat pos alay (dilipat bentuk hati, tapi akhirnya sobek karena salah lipat).
  • Bonus Kocak:
    *"Kalau mau jawab, kasih ke Mas Heri aja, tukang fotokopian depan sekolah. Jangan lewat BBM ya, soalnya aku pakai HP Nokia 2600memory-nya penuh sama lagu MP3."*

Kira-kira Dian bakal kasih tanda ✅ atau ❎? 😂 #CercuZamanDulu #GagalMoveOn