Di sebuah sudut kota yang agak remang-remang, tepatnya di sebuah bar kecil dengan lampu neon berkedip tak teratur, suasana malam itu sebenarnya cukup tenang. Hanya ada beberapa orang yang duduk minum, ngobrol, dan sebagian lainnya sibuk menatap layar HP masing-masing, termasuk satu pemuda mungil yang tampaknya sedang khusyuk main game.
Pemuda ini tak mencolok. Tubuhnya
kecil, kacamata minus, rambut agak awut-awutan, dan pakai jaket lusuh yang
kelihatan kebesaran. Namanya tidak kita ketahui, tapi dari penampilannya, semua
orang sepakat: ini bukan tipe orang yang suka cari masalah, apalagi di bar
tempat preman lokal suka mejeng.
Nah, seperti hukum alam dunia bar,
di mana ada orang cupu, pasti akan muncul sosok yang merasa dirinya paling
jagoan: preman lokal. Besar, bertato, dan punya ketawa khas:
“HUEHUEHUE!”
Preman ini melihat si pemuda kecil.
Entah kenapa, mungkin karena bosan atau karena merasa gatal pengen pamer
jurus-jurus bela diri yang pernah dia lihat di film Jackie Chan, dia mendekat
dengan tatapan menantang.
Tanpa aba-aba, tanpa alasan, tanpa
dosa, tiba-tiba...
“Ciaaaaattt!!”
Satu tendangan keras mendarat di
tubuh mungil si pemuda. Kursinya terjungkal, HP-nya terpental, dan pemuda itu
terhempas ke lantai.
Seisi bar mendadak hening. Semua
menoleh.
Dengan penuh percaya diri, si preman
berdiri gagah lalu berkata lantang, “Itu tadi Taekwondo dari Korea!”
Gila, ini orang gak cuma nyerang,
tapi sekalian pamer jurusan olahraga.
Si pemuda kecil? Dia hanya menatap
sebentar, menelan ludah, lalu dengan perlahan bangkit dan kembali duduk di
kursinya. Matanya masih menatap lantai, mungkin sedang mempertanyakan nasib.
Belum sempat napasnya kembali
normal...
“Yeaaahhh GUBRAAAK!!”
Kali ini, si preman membanting si
pemuda hingga hampir nempel ke meja sebelah. Tangannya meliuk-liuk sebelum
mendarat, seolah ingin menunjukkan koreografi aksi.
Sambil mengibaskan tangan, ia
berkata lagi, “Itu tadi Judo dari Jepang!”
Baru bangun sebentar, eh... belum
juga sadar dari bantingan judo, mendadak...
“BUGGG!!”
Satu pukulan telak mendarat di
rahang si pemuda. Kali ini cukup membuat sudut bibirnya berdarah.
Dan tentu saja, si preman kembali
membuka seminar bela dirinya, “Itu Boxing dari Amerika!”
Orang-orang di bar mulai resah, tapi
tidak ada yang berani melerai. Si pemuda kecil duduk perlahan sambil menyeka
darah di mulutnya. Tatapannya kosong. Mungkin dalam pikirannya sedang
menghitung jumlah bintang yang berputar-putar di atas kepala.
Tapi tiba-tiba, ia berdiri. Diam.
Lalu melangkah pelan keluar dari bar.
Semua mengira ia menyerah, atau
mungkin lari mencari bantuan.
10
Menit Kemudian: Balasan Tak Terduga
Suasana bar kembali normal. Preman
tadi duduk santai, ketawa-ketiwi sendiri sambil menirukan gaya bela diri yang
barusan dipraktikkan.
Tapi...
Pintu bar kembali terbuka. Si pemuda
kecil tadi masuk dengan langkah pelan, ekspresi tenang, dan tangan kosong. Ia
berjalan mendekat ke arah preman, dan...
“BLETOKKKK!!!”
Satu pukulan keras menghantam kepala
si preman. Bukan tinju, bukan tendangan, bukan juga bantingan gaya Shaolin.
Melainkan...
LINGGIS.
Yup. Si pemuda kecil memukulkan
linggis panjang langsung ke kepala si preman yang mendadak roboh kayak boneka
habis kehabisan baterai.
Seisi bar melongo. Bahkan bartender
yang sedang ngocok minuman pun berhenti mendadak. Musik dari speaker kecil
langsung kerasa sunyinya.
Preman itu pingsan seketika. Tak
sempat bicara, tak sempat mengenali jurus yang menghantamnya. Hanya diam dalam
kesadaran yang tercerabut.
Si pemuda kecil menarik napas
dalam-dalam, ingin menjelaskan apa nama jurusnya. Mungkin ingin berkata, “Itu Steel
Fist of Justice, jurus pamungkas dari Gang Gudang.”
Tapi karena si preman sudah
terkapar, ia hanya mengangkat bahu, lalu menghampiri pemilik bar dan berkata
dengan tenang:
“Pak, tolong... kalau preman ini
bangun, bilang ke dia: yang tadi itu linggis dari gudang.”
Kemudian si pemuda berjalan keluar.
Pelan. Tanpa musik latar. Tapi dramatis.
Saatnya
Bicara Serius: Bela Diri Gak Selalu Tentang Jurus
Cerita ini memang konyol, lucu, dan
penuh gaya barat-timur. Tapi di balik semua aksi dan tawa, sebenarnya ada pesan
serius yang bisa kita renungkan:
1.
Bela Diri Itu Bukan Buat Nunjukin Siapa Paling Jago
Bela diri sejatinya adalah alat
untuk melindungi, bukan untuk pamer. Tapi sayangnya, banyak orang belajar bela
diri justru agar terlihat sangar. Seperti si preman dalam cerita: semua jurus
hanya jadi alasan untuk menyakiti orang yang gak bersalah.
2.
Orang Lemah Bukan Berarti Gak Bisa Melawan
Kadang, orang yang terlihat lemah
justru punya potensi paling besar. Tapi karena mereka tahu kapan harus tenang,
mereka juga tahu kapan harus menyerang. Dan ketika waktunya tepat, mereka bisa
lebih “mematikan” dari orang paling jago sekalipun.
3.
Jangan Remehkan Alat Sehari-hari
Siapa bilang bela diri harus pakai
seragam dan ikat pinggang warna-warni? Kadang, linggis dari gudang jauh lebih
efektif dalam kondisi darurat. 😂
Kesimpulan:
Kadang, Keadilan Butuh Linggis
Cerita ini bukan ajakan untuk balas
dendam pakai benda tajam. Tapi kadang, dalam dunia yang gak adil, dibutuhkan
keberanian untuk melawan dengan cara yang mungkin tidak konvensional.
Si pemuda kecil dalam cerita ini
bukan jagoan dalam pengertian biasa. Dia tidak bersabuk hitam, tidak punya
gelar dari dojo, dan tidak pernah tampil di turnamen. Tapi dia punya satu hal
yang gak dimiliki si preman:
Kesabaran.
Dan kesabaran itu, ketika diberi
waktu dan alat yang pas... bisa berubah jadi keadilan versi linggis.
Jadi, kalau kamu suatu saat jadi
korban ketidakadilan, ingatlah cerita ini. Kamu boleh lemah, kamu boleh kecil,
kamu boleh kalah di ronde awal. Tapi jangan biarkan itu jadi akhir cerita.
Karena seperti kata pepatah modern:
“When life gives you linggis, smash
injustice.”