Wednesday, December 1, 2021

Ilmu Bela Diri dan Linggis yang Tak Tertulis dalam Buku


Di sebuah sudut kota yang agak remang-remang, tepatnya di sebuah bar kecil dengan lampu neon berkedip tak teratur, suasana malam itu sebenarnya cukup tenang. Hanya ada beberapa orang yang duduk minum, ngobrol, dan sebagian lainnya sibuk menatap layar HP masing-masing, termasuk satu pemuda mungil yang tampaknya sedang khusyuk main game.

Pemuda ini tak mencolok. Tubuhnya kecil, kacamata minus, rambut agak awut-awutan, dan pakai jaket lusuh yang kelihatan kebesaran. Namanya tidak kita ketahui, tapi dari penampilannya, semua orang sepakat: ini bukan tipe orang yang suka cari masalah, apalagi di bar tempat preman lokal suka mejeng.

Nah, seperti hukum alam dunia bar, di mana ada orang cupu, pasti akan muncul sosok yang merasa dirinya paling jagoan: preman lokal. Besar, bertato, dan punya ketawa khas: “HUEHUEHUE!”

Preman ini melihat si pemuda kecil. Entah kenapa, mungkin karena bosan atau karena merasa gatal pengen pamer jurus-jurus bela diri yang pernah dia lihat di film Jackie Chan, dia mendekat dengan tatapan menantang.

Tanpa aba-aba, tanpa alasan, tanpa dosa, tiba-tiba...

“Ciaaaaattt!!”

Satu tendangan keras mendarat di tubuh mungil si pemuda. Kursinya terjungkal, HP-nya terpental, dan pemuda itu terhempas ke lantai.

Seisi bar mendadak hening. Semua menoleh.

Dengan penuh percaya diri, si preman berdiri gagah lalu berkata lantang, “Itu tadi Taekwondo dari Korea!”

Gila, ini orang gak cuma nyerang, tapi sekalian pamer jurusan olahraga.

Si pemuda kecil? Dia hanya menatap sebentar, menelan ludah, lalu dengan perlahan bangkit dan kembali duduk di kursinya. Matanya masih menatap lantai, mungkin sedang mempertanyakan nasib.

Belum sempat napasnya kembali normal...

“Yeaaahhh GUBRAAAK!!”

Kali ini, si preman membanting si pemuda hingga hampir nempel ke meja sebelah. Tangannya meliuk-liuk sebelum mendarat, seolah ingin menunjukkan koreografi aksi.

Sambil mengibaskan tangan, ia berkata lagi, “Itu tadi Judo dari Jepang!”

Baru bangun sebentar, eh... belum juga sadar dari bantingan judo, mendadak...

“BUGGG!!”

Satu pukulan telak mendarat di rahang si pemuda. Kali ini cukup membuat sudut bibirnya berdarah.

Dan tentu saja, si preman kembali membuka seminar bela dirinya, “Itu Boxing dari Amerika!”

Orang-orang di bar mulai resah, tapi tidak ada yang berani melerai. Si pemuda kecil duduk perlahan sambil menyeka darah di mulutnya. Tatapannya kosong. Mungkin dalam pikirannya sedang menghitung jumlah bintang yang berputar-putar di atas kepala.

Tapi tiba-tiba, ia berdiri. Diam. Lalu melangkah pelan keluar dari bar.

Semua mengira ia menyerah, atau mungkin lari mencari bantuan.

 

10 Menit Kemudian: Balasan Tak Terduga

Suasana bar kembali normal. Preman tadi duduk santai, ketawa-ketiwi sendiri sambil menirukan gaya bela diri yang barusan dipraktikkan.

Tapi...

Pintu bar kembali terbuka. Si pemuda kecil tadi masuk dengan langkah pelan, ekspresi tenang, dan tangan kosong. Ia berjalan mendekat ke arah preman, dan...

“BLETOKKKK!!!”

Satu pukulan keras menghantam kepala si preman. Bukan tinju, bukan tendangan, bukan juga bantingan gaya Shaolin.

Melainkan...

LINGGIS.

Yup. Si pemuda kecil memukulkan linggis panjang langsung ke kepala si preman yang mendadak roboh kayak boneka habis kehabisan baterai.

Seisi bar melongo. Bahkan bartender yang sedang ngocok minuman pun berhenti mendadak. Musik dari speaker kecil langsung kerasa sunyinya.

Preman itu pingsan seketika. Tak sempat bicara, tak sempat mengenali jurus yang menghantamnya. Hanya diam dalam kesadaran yang tercerabut.

Si pemuda kecil menarik napas dalam-dalam, ingin menjelaskan apa nama jurusnya. Mungkin ingin berkata, “Itu Steel Fist of Justice, jurus pamungkas dari Gang Gudang.”

Tapi karena si preman sudah terkapar, ia hanya mengangkat bahu, lalu menghampiri pemilik bar dan berkata dengan tenang:

“Pak, tolong... kalau preman ini bangun, bilang ke dia: yang tadi itu linggis dari gudang.”

Kemudian si pemuda berjalan keluar. Pelan. Tanpa musik latar. Tapi dramatis.

 

Saatnya Bicara Serius: Bela Diri Gak Selalu Tentang Jurus

Cerita ini memang konyol, lucu, dan penuh gaya barat-timur. Tapi di balik semua aksi dan tawa, sebenarnya ada pesan serius yang bisa kita renungkan:

1. Bela Diri Itu Bukan Buat Nunjukin Siapa Paling Jago

Bela diri sejatinya adalah alat untuk melindungi, bukan untuk pamer. Tapi sayangnya, banyak orang belajar bela diri justru agar terlihat sangar. Seperti si preman dalam cerita: semua jurus hanya jadi alasan untuk menyakiti orang yang gak bersalah.

2. Orang Lemah Bukan Berarti Gak Bisa Melawan

Kadang, orang yang terlihat lemah justru punya potensi paling besar. Tapi karena mereka tahu kapan harus tenang, mereka juga tahu kapan harus menyerang. Dan ketika waktunya tepat, mereka bisa lebih “mematikan” dari orang paling jago sekalipun.

3. Jangan Remehkan Alat Sehari-hari

Siapa bilang bela diri harus pakai seragam dan ikat pinggang warna-warni? Kadang, linggis dari gudang jauh lebih efektif dalam kondisi darurat. 😂

 

Kesimpulan: Kadang, Keadilan Butuh Linggis

Cerita ini bukan ajakan untuk balas dendam pakai benda tajam. Tapi kadang, dalam dunia yang gak adil, dibutuhkan keberanian untuk melawan dengan cara yang mungkin tidak konvensional.

Si pemuda kecil dalam cerita ini bukan jagoan dalam pengertian biasa. Dia tidak bersabuk hitam, tidak punya gelar dari dojo, dan tidak pernah tampil di turnamen. Tapi dia punya satu hal yang gak dimiliki si preman:

Kesabaran.

Dan kesabaran itu, ketika diberi waktu dan alat yang pas... bisa berubah jadi keadilan versi linggis.

 

Jadi, kalau kamu suatu saat jadi korban ketidakadilan, ingatlah cerita ini. Kamu boleh lemah, kamu boleh kecil, kamu boleh kalah di ronde awal. Tapi jangan biarkan itu jadi akhir cerita.

Karena seperti kata pepatah modern:

“When life gives you linggis, smash injustice.”

 

No comments:

Post a Comment