Ironi Random dalam Hidup
"Aku bilang aku nggak lapar, tapi kalau ada makanan gratis aku makan
duluan."
"Aku nggak suka hujan, tapi kalau panas aku ngeluh juga."
"Aku suka berkendara, terutama kalau jalanan macet."
"Aku nggak butuh perhatian, makanya aku sering update status galau."
"Aku suka alam, tapi kalau kena nyamuk aku nyalahin alam."
Hidup itu kadang lucu. Lucu bukan dalam arti kita selalu ketawa senang,
tapi lucu karena betapa kontradiktif, ironis, bahkan absurd cara kita bersikap
dan berpikir. Kita semua manusia, dan manusia itu adalah makhluk yang paling
pintar… untuk membohongi diri sendiri.
Nah, hari ini aku mau cerita (dan sedikit mengajak kita semua ngaca)
tentang ironi-ironi random yang sering banget terjadi dalam hidup sehari-hari.
Kalau kalian pernah ngalamin, selamat: berarti kalian normal. Atau justru
abnormal bersama-sama. Yang penting kompak.
1. Aku bilang aku nggak lapar,
tapi kalau ada makanan gratis aku makan duluan
Ini klasik. Siapa yang nggak pernah bilang, “Aku nggak lapar kok,” padahal
sebenarnya dalam hati kayak anak kos yang nunggu traktiran?
Bayangkan:
Temen: “Mau makan nggak?”
Aku (sok cool): “Ah, nggak usah, aku nggak lapar.”
Temen: mesen makanan, bayar sendiri
Aku: ngelirik, diem, akhirnya bilang “Cicip dong.”
Atau lebih brutal lagi:
Temen: “Ini gratis, ambil aja.”
Aku: langsung berubah jadi T-Rex “Serius? Yaudah ya aku duluan!”
Ironi ini bukan sekadar lucu, tapi menunjukkan dua hal: kita kadang ingin
terlihat mandiri dan nggak butuh orang lain, tapi begitu ada hal gratisan
langsung hilang gengsi. Gratisan itu memang punya daya magis. Makanan gratis
adalah kunci perdamaian dunia. Kalau semua perang diganti bagi-bagi nasi
bungkus gratis, mungkin manusia akan berhenti berantem.
Dan kenapa ya, makanan orang itu selalu lebih enak daripada makanan kita
sendiri? Ini misteri kuliner nomor satu. Nasi padang beli bareng, lauk sama,
tapi nasi padang temen kok lebih nikmat?
Aku rasa lidah manusia itu bukan cuma organ pengecap, tapi juga sensor
sosial: “Makin gratis, makin enak.”
2. Aku nggak suka hujan, tapi
kalau panas aku ngeluh juga
Hujan itu romantis. Kata orang. Katanya lagi: hujan itu inspirasi. Katanya.
Tapi begitu hujan beneran datang:
“Yaelah hujan mulu. Banjir dong!”
“Aduh jemuran belum diangkat!”
“Gimana mau keluar nih, hujan!”
Lalu kalau panas terik:
“Gila panas banget kayak di gurun Sahara.”
“Kipas angin gue nyerah.”
“AC nggak ngaruh, keringetan mulu.”
Intinya: manusia nggak pernah puas. Hujan salah, panas salah. Bahkan cuaca
mendung pun kena juga:
“Aduh kok mendung gini ya, jadi mager.”
Jadi maunya apa? Cuaca sejuk 24 derajat celcius dengan angin semilir dan
sinar matahari keemasan kayak di wallpaper Windows XP? Kalau bisa pesen cuaca
kayak pesen kopi (“Saya mau panas tapi nggak hujan, berawan tipis, semilir
angin utara ya Bang.”), pasti semua orang jadi ahli meteorologi dadakan.
Sialnya, Tuhan nggak bikin hidup kayak Gojek. Cuaca itu paket
all-inclusive. Kadang hujan. Kadang panas. Kadang hujan + panas + pelangi
(bonus foto aesthetic). Kadang hujan lokal di jalan sebelah.
Tapi ya begitulah kita. Mengeluh itu hobi nasional.
3. Aku suka berkendara, terutama
kalau jalanan macet
“Aku suka nyetir. Rasanya bebas.”
“Oke bro, ayo touring.”
5 menit kemudian
“ANJIR MACET! NGAPAIN SIH ORANG-ORANG KELUAR SEMUA?!”
Ini ironis banget. Berkendara itu katanya simbol kebebasan. Mobil atau
motor itu kuda besi, kendaraan para petualang. Tapi di kota besar, berkendara =
duduk di jok sambil nonton punggung kendaraan depan.
Orang bilang: “Aku suka nyetir. Biar bisa sambil mikir.”
Mikir apa? Rute alternatif? Cara nyalip angkot? Cara maki-maki sopir lain
secara diplomatis?
Dan lucunya, kalau lagi macet, kita ngeluh:
“Kenapa sih semua orang pada keluar?”
Padahal kita juga bagian dari “semua orang” itu. Kalau semua orang nggak keluar
rumah biar nggak macet, ya kita juga nggak bisa ke mana-mana dong.
Aku pernah dengar teori kalau macet itu sebenarnya bentuk demokrasi. Semua
orang sama di jalan: mau mobil mewah, motor butut, atau angkot sama-sama nggak
gerak.
Tapi jujur, kadang aku rindu macet. Loh? Iya, kalau misal lagi janjian sama
orang dan aku telat, aku bisa bilang:
“Macet parah bro, sorry banget.”
Padahal aku yang bangun kesiangan.
Jadi ya macet itu musuh bersama sekaligus alibi terbaik. Ironi bukan?
4. Aku nggak butuh perhatian,
makanya aku sering update status galau
“Gue tuh nggak butuh perhatian orang lain.”
“Makanya jangan drama di sosmed dong.”
“Ih nggak drama, cuma share perasaan.”
Lalu update status:
“Sendirian itu nggak apa-apa. Cuma kadang cape.”
“Yang pergi biar pergi.”
“:)”
Ayo ngaku. Kita semua pasti pernah. Status galau samar, sindiran halus,
caption puitis. Tujuannya apa? Biar orang nanya:
“Kamu kenapa?”
Padahal katanya nggak butuh perhatian.
Yang lebih lucu, kalau nggak ada yang komen, malah kesel.
“Temen-temen nggak ada yang peduli. Dunia emang kejam.”
Klasik.
Bahkan update galau itu udah jadi bahasa universal. Kadang orang update
galau bukan buat mantan, tapi biar timeline rame. Bahkan kalau lagi nggak sedih
pun suka cari-cari quote sedih.
Ironinya di situ: kita bilang “Aku mandiri. Aku kuat,” tapi kita pengen
juga divalidasi. Itu manusiawi. Dan nggak apa-apa juga sih sebenarnya, asal
sadar aja. Yang nggak asik itu kalau sudah bilang “Aku nggak butuh
siapa-siapa,” tapi kalau nggak ada yang nanyain malah bikin status tambahan:
“Emang dunia ini individualis.”
5. Aku suka alam, tapi kalau kena
nyamuk aku nyalahin alam
Siapa yang hobinya ngepost foto camping, naik gunung, atau duduk di kafe
hutan sambil nulis caption:
“Nature is healing.”
“Alam adalah guru terbaik.”
“Aku anak bumi.”
Tapi begitu kena nyamuk:
“GILA NIH ALAM NAPA BANYAK NYAMUK!”
“Ya Allah gatel semua.”
“Besok-besok ke alam tapi bawa obat nyamuk semprot satu liter.”
Katanya cinta alam, tapi protes sama penghuni alam. Nyamuk itu bagian
ekosistem, Bro. Mereka juga warga Bumi. Mereka juga punya kehidupan. Mereka
juga butuh makan. Kebetulan aja menunya kita.
Kadang kita juga sebel sama binatang lain:
“Kok ada lintah sih di sungai.”
“Kenapa tanah becek.”
“Kenapa banyak ulat.”
Alam itu nggak kayak studio foto Instagram. Nggak bisa diatur lighting-nya,
nggak bisa difilter, dan nggak selalu wangi. Alam itu liar. Kadang kotor.
Kadang bikin kaki gatal. Kadang bikin kita harus kencing jongkok di balik
semak. Tapi justru di situ serunya (atau horornya).
Jadi kalau mau cinta alam, siap juga sama nyamuknya. Kalau mau healing di
hutan, siap juga sama sensasi “siapa aja di semak-semak.” Kalau mau naik
gunung, siap juga sama “hotel bintang seribu” (tidur beratap langit).
Ironis banget ya? Tapi lucu juga.
Ironi Lain dalam Hidup (Bonus)
Selain lima contoh di atas, sebenarnya masih banyak ironi-ironi random
dalam hidup kita:
- “Gue nggak
suka drama,” tapi hobinya nonton sinetron.
- “Aku nggak
mau ribet,” tapi overthinking sendiri.
- “Aku
realistis,” tapi percaya ramalan zodiak.
- “Aku
cuek,” tapi tersinggung kalau dicuekin.
- “Aku
simpel,” tapi 1 jam milih filter Instagram.
- “Aku nggak
suka basa-basi,” tapi bilang ‘kapan-kapan ngopi’ padahal nggak pernah
janjian.
- “Aku bodo
amat,” tapi update story biar dilihat dia.
- “Aku nggak
suka ghibah,” tapi bilang ‘aku cerita biar nggak suuzon.’
- “Aku
dewasa,” tapi ngambek kalau nggak dibales chat.”
Semua itu bukti bahwa manusia adalah makhluk paradoks. Kadang kita nggak
konsisten. Kadang kita bilang A, tapi ngelakuin B. Tapi ya itulah hidup.
Penutup: Ketawa Dulu, Ngaca
Kemudian
Kalau kalian ketawa baca ini, bagus. Kalau kalian ketawa sambil bilang “Wah
kok gue banget,” lebih bagus lagi.
Karena hidup emang penuh ironi, dan itu yang bikin seru. Kita bisa saling
ledek, saling ngaca, saling ngakak.
Dan pada akhirnya, nggak apa-apa juga kok punya ironi dalam hidup. Kita
bukan robot yang logis terus. Kadang manusiawi itu artinya kontradiktif. Yang
penting kita bisa ketawa bareng, nggak baperan, dan kalau bisa belajar dari
situ.
Jadi kalau lain kali kalian bilang:
“Aku nggak lapar,” tapi habisin pizza orang,
atau
“Aku cinta alam,” tapi bawa lotion anti nyamuk satu liter,
anggap aja itu bagian dari seni hidup.
Seni berkontradiksi. Seni menjadi manusia.
Sekian cerita lucu (dan sedikit nyebelin) tentang ironi random dalam hidup.
Kalau kalian punya contoh lain, tulis di kolom komentar ya. Biar kita
ngakak bareng.
Karena hidup terlalu singkat untuk konsisten. Lebih baik konsisten tidak
konsisten.
No comments:
Post a Comment