1. Tukang Gembala
Suatu hari, Bedu berpapasan dengan seorang gembala yang memelihara kambing-kambingnya di padang rumput yang luas. Keterpesonaan Bedu pada kondisi kambing-kambing itu pun tak tertahankan, ia pun tak bisa menahan diri untuk bertanya.
Bedu : "Pak, bolehkah saya
bertanya sesuatu?"
Gembala : "Tentu saja, apa yang ingin kamu
tanyakan?"
Bedu : "Saya tak bisa tidak
mencatat betapa sehatnya kambing-kambing ini. Pak, apa makanan favorit
mereka?"
Gembala : "Maaf, kambing mana yang Anda
maksud? Hitam atau putih?"
Bedu : "Hmm, mari kita mulai
dengan yang hitam."
Gembala : "Mereka menyukai rumput
gajah."
Bedu : "Paham. Bagaimana dengan
yang putih?"
Gembala : "Mereka juga."
Bedul, sedikit
kebingungan, melanjutkan dengan pertanyaan berikutnya.
Bedu : "Pak, berapa kilometer
sehari kambing-kambing ini dapat berjalan?"
Gembala : "Maaf, kembali lagi ke pertanyaan
sebelumnya. Hitam atau putih?"
Bedu, agak jengkel,
menjawab, "Mari kita katakan yang hitam dulu."
Gembala : "Mereka biasanya berjalan sekitar
4 kilometer sehari."
Bedu : "Bagaimana dengan yang
putih?"
Gembala : "Sama."
Bedul semakin
bingung. Kemudian, dengan rasa penasaran yang kian besar, dia bertanya lagi.
Bedu : "Pak, berapa banyak bulu
yang dihasilkan kambing-kambing ini setiap tahun?"
Gembala : "Maaf, saya perlu bertanya lagi.
Hitam atau putih?"
Dengan nada kesal,
Bedul menjawab, "Mari kita selesaikan yang hitam dulu."
Gembala : "Mereka menghasilkan sekitar 10
kilogram bulu setiap tahun."
Bedu : "Dan yang putih?"
Gembala : "Sama."
Bedu akhirnya tidak
bisa menahan diri.
Bedu : "Pak, mengapa Anda selalu
memisahkan dua kambing ini jika jawabannya sama?"
Gembala tersenyum,
"Karena yang hitam adalah kambing milik saya, dan yang putih adalah milik
Anda."
Mereka berdua pun
tertawa bersama, menyadari lelucon ringan di balik perbedaan yang hanya ada di
mata pengamat.
Seorang guru bertanya kepada muridnya, "Kenapa kamu terlambat lagi ke
sekolah?"
Murid : "Maaf, Bu. Saya bermimpi
bahwa saya sedang perjalanan ke sekolah dengan sepeda motor, tapi tiba-tiba
saya terbangun dan baru menyadari bahwa saya belum memiliki sepeda motor."
Guru : "Hahaha! Itu memang mimpi
yang unik. Tapi bagaimana kamu bisa terlambat jika hanya bermimpi?"
Murid : "Yah, Bu, saya harus berjalan
kaki dari rumah ke sekolah setelah saya terbangun!"
Semoga cerita ini dapat menghibur Anda! Jangan ragu untuk meminta lagi jika
Anda ingin mendengar lebih banyak cerita lucu.
2. PERTANYAAN CERDAS SI BOCIL
Di suatu pagi yang cerah, seorang profesor tua sedang duduk santai di taman kampus, menikmati kopi dan udara segar. Tiba-tiba datanglah seorang bocah kecil, kira-kira umur 8 tahun, mendekatinya dengan wajah serius.
Bocil: "Om, om itu pintar ya?"
Profesor: "Wah, om dosen. Jadi, ya lumayanlah."
Bocil: "Berarti om tahu semuanya ya?"
Profesor: "Tidak semuanya sih, tapi om bisa coba jawab. Mau tanya apa?"
Bocil: "Kenapa kucing kalau jatuh selalu jatuh pakai kaki?"
Profesor: "Karena kucing punya refleks luar biasa dan tulangnya fleksibel."
Bocil: "Oke. Kalau gitu, kenapa roti jatuhnya selalu sisi yang dikasih selai?"
Profesor: "Eh... itu karena berat jenis selai lebih tinggi, jadi gravitasinya condong ke situ."
Bocil: "Berarti kalau kucing dikasih selai di punggung, terus dijatuhin… dia muter di udara dong?"
Profesor: ๐
Bocil: "Gimana tuh, Om? Muter terus? Kayak kipas?"
Profesor: "Kamu niat jadi ilmuwan atau bikin om pusing?"
Bocil: "Saya cuma pengen tahu cara bikin energi tanpa batas, Om. Kucing berselai bisa jadi solusi!"
Kesimpulan:
Kadang ide brilian datang dari bocah iseng. Siapa tahu, sumber energi masa depan bukan dari nuklir, tapi dari kucing dan roti selai! ๐
3. AHLI KACA MATA
Suatu hari di pusat perbelanjaan, seorang bapak tua masuk ke toko optik dengan langkah mantap. Ia mengenakan baju batik, celana bahan, dan topi pet yang menunjukkan bahwa beliau pensiunan keren.
Ia disambut oleh petugas toko yang ramah:
Petugas: “Selamat siang, Pak. Mau cari kacamata?”
Bapak: “Iya, saya mau beli kacamata baca.”
Petugas: “Silakan duduk, Pak. Ini ada berbagai model. Mau yang frame bulat, kotak, atau yang bisa gonta-ganti warna?”
Bapak: “Hmm… saya gak begitu ngerti model. Yang penting bisa bantu saya baca jelas.”
Petugas: “Baik, Pak. Kalau boleh tahu, Bapak matanya minus atau plus?”
Bapak: “Saya gak tahu. Tapi saya butuh kacamata yang bisa bantu saya ngerti berita politik.”
Petugas: “Eee… maaf, Pak. Maksudnya?”
Bapak: “Soalnya tiap saya baca berita, saya gak ngerti... mana janji, mana bualan, mana yang bener, mana yang akting. Barangkali ada kacamata yang bisa bedain itu semua?”
Petugas: ๐ณ
Petugas: “Kalau kacamata jujur, adanya di dunia dongeng, Pak…”
Bapak: “Oh, yaudah. Kalau gitu, saya beli yang bisa bantu lihat harga sembako gak bikin sakit hati aja deh!”
๐๐๐
Pesan moralnya:
Kadang kita bukan butuh kacamata untuk melihat lebih jelas, tapi hati yang kuat dan logika yang tajam biar gak gampang ketipu janji-janji manis—apalagi saat mendekati masa kampanye!
Kalau kamu senyum baca ini, tunggu cerita selanjutnya:
"Ibu-Ibu, Harga Diskon, dan Dompet yang Menangis"
4. UJIAN YANG JUJUR
Suatu pagi, di ruang kelas SD, Bu Guru memberikan ulangan harian Matematika. Semua murid serius mengerjakan, kecuali satu anak yang terlihat tenang, bahkan terlalu tenang: Farel.
Bu Guru berjalan mendekat.
Bu Guru: “Farel, kenapa kamu belum mulai mengerjakan soal?”
Farel: “Saya sudah selesai mikir, Bu. Tapi saya memutuskan untuk tidak mengerjakan.”
Bu Guru: “Lho, kenapa begitu? Kamu tidak belajar?”
Farel: “Saya belajar, Bu. Tapi saya sadar... ilmu tidak bisa diukur hanya dari angka di kertas.”
Bu Guru: ๐คจ “Itu betul, tapi kamu tetap harus mengerjakan!”
Farel: “Tapi Bu, kalau saya jawab semua soal, nanti saya dianggap sombong. Kasihan teman-teman yang nilainya pas-pasan.”
Bu Guru: “Farel, kamu gak mengerjakan karena takut dianggap sombong??”
Farel: “Iya, Bu. Saya ini rendah hati. Lebih baik dianggap bodoh daripada menyakiti perasaan orang lain…”
Bu Guru: “Kamu mau nilai rendah?”
Farel: “Itu pengorbanan kecil demi persahabatan sejati, Bu.”
๐๐๐
Kesimpulan:
Alasan anak-anak kadang lebih kompleks dari rumus matematika itu sendiri. Tapi ya tetap saja... nilai kosong tetaplah kosong—meskipun dibungkus dengan filosofi hidup! ๐