Skip to main content

Suratku Ditemuin Ortu Si Doi… & Dibaca Keras-Keras Saat Acara Keluarga

 

Mimpi buruk jadi kenyataan: surat cintaku dibaca di depan keluarga doi sambil ditertawakan.

Ada banyak hal memalukan dalam hidup.
Sandal putus di tengah jalan.
Kepleset di depan mantan.
Atau salah masuk grup WA dan kirim sticker “Aku nge-fans sama kamu” ke grup RT.

Tapi tidak ada, saya ulangi, TIDAK ADA yang lebih memalukan dibandingkan kejadian yang saya alami:
SURAT CINTA SAYA DIBACA KERAS-KERAS OLEH ORANG TUA DOI DI DEPAN KELUARGA BESARNYA.

Kalau ada kontes “Aib Paling Menyakitkan Tahun Ini”, saya menang tanpa babak final.

Berikut kisah lengkapnya, agar Anda bisa ikut tertawa—karena saya sudah tidak bisa lagi.

 

Suratku Ditemuin Ortu Si Doi… & Dibaca Keras-Keras Saat Acara Keluarga

Prolog: Ketika Cinta dan Keberanian Saling Salah Paham

Semua berawal ketika saya sedang berada pada fase over–confidence tingkat tinggi.
Saya merasa hubungan saya dengan si doi sudah cukup dekat. Kami sering chat, sering bercanda, sering saling kirim meme, bahkan dia pernah ngomong:

“Kamu lucu juga ya.”

Itu pujian atau penghinaan? Entahlah. Yang jelas, hati saya berbunga-bunga seperti taman kota saat lomba hias.

Dalam momen euforia itu, saya memutuskan melakukan tindakan yang sekarang saya sesali sepanjang hayat:
Mengirim SURAT CINTA.

Bukan chat.
Bukan DM Instagram.
Bukan voice note.

Tapi SURAT.
Kertas. Tulisan tangan. Mirip zaman ketika surat masih diantar pak pos naik sepeda.

Saya menulis sepanjang dua halaman.
Pakai pena tinta gel warna biru—biar dramatis.
Tulisannya sampai penuh dengan perumpamaan lebay seperti:

“Tatapanmu menenangkan seperti AC 1 PK di siang bolong.”

“Hatiku bergetar setiap kamu menyebut namaku, meski cuma buat nanya PR.”

“Kalau cinta adalah sepak bola, maka kamu adalah final pialanya.”

Intinya, saya sedang mabuk cinta.
Tapi bukan cinta yang salah—saya yang salah nalar.

Setelah selesai, saya lipat rapi, masukkan ke amplop, tempel stiker hati, dan menyelipkannya di tas si doi saat dia lagi ke toilet waktu belajar kelompok.

Saya pikir ide itu brilian.
ROMANTIS dan RAHASIA.

Ternyata, romansa itu cuma di kepala saya.
Realitanya?
Horor komedi.

 

Awal Mula Musibah: Tas Doi Diperiksa Ibunya

Besok paginya, saya mendapat pesan dari si doi:

“Kamu sempat masukin sesuatu ke tasku ya? Ibu nemu soalnya.”

Jantung saya langsung terasa seperti jatuh ke lobang sumur.
Saya balas:

“OH. MY. GOD. Jadi ibumu baca??”

Dia balas:

“Belum. Tapi kayaknya bakal dibaca. Soalnya dia penasaran.”

Saya langsung lemas.
Saya kepikiran buat ngumpet di bawah ranjang, pindah sekolah, atau daftar jadi relawan cuci piring di Antartika.

Tapi itu baru permulaan.

 

Puncak Malapetaka: Acara Keluarga Besar

Siang itu, keluarga doi mengadakan arisan keluarga.
Ada tante, pakde, bude, sepupu, dan entah siapa-siapa lagi.
Ternyata ibunya bawa tas si doi… lengkap dengan surat cinta saya di dalamnya.

Dan… entah kenapa…
Keisengan ibu-ibu selalu muncul di waktu yang tidak tepat.

Tiba-tiba ibunya berkata:

“Eh, ini ada surat di tas anakku. Kayaknya dari seseorang nih. Lucu deh… tulisan tangan!”

Tante-tantenya langsung heboh:

“Ya ampuuun, baca-baca! Baca dong!”

“Ayo bacakan! Siapa tahu calon menantu!”

“Wih, siapa yang naksir nih?!”

Doi sudah berusaha merebut suratnya sambil berkata, “Bu!! Jangan!!”, tapi tentu saja…

TRADISI IBU-IBU LEBIH KUAT DARI SEGALA HUKUM ALAM.

Ibunya membuka amplop itu dengan pelan, seperti mau buka hasil tes lotre berhadiah mobil.

Doa saya saat itu hanya satu: semoga listrik padam.

Tapi PLN juga tidak berpihak pada saya.

 

Momentum Maut: SURAT CINTAKU DIBACA KERAS-KERAS

Ibunya clearing throat, lalu mulai membaca dengan lantang.

“Hai… (nama doi). Semoga kamu membaca surat ini sambil tersenyum…”

Semua keluarga menoleh ke si doi.
Doi sudah menutup wajahnya dengan bantal.

Lanjuut…

“Aku cuma mau jujur bahwa setiap aku lihat kamu… hatiku meleleh seperti es serut kena matahari.”

Tawa pecah di seluruh ruangan.

Tante:
“HAHAHAHAH!! Es serut katanya! Aduh, aduh… lucu banget ini anak!”

Pakde:
“Wah, jago majas nih..! Lanjut, Bu!”

Saya di rumah hanya bisa merasakan jiwa saya keluar dari tubuh, melayang ke angkasa.

Ibunya terus membaca sambil senyum geli:

“Kalau kamu ibarat kopi susu, maka aku adalah sendok kecil yang selalu menemanimu…”

Tante lain:
“ASTAGA! ROMANTISNYAAA~”

Sepupu kecil:
“Kok kopi susu sama sendok sih? Masa nggak sama gelas?”

Sebagian keluarga lain sudah ketawa sampai batuk.

Tapi itu bukan bagian paling mematikan.
Bagian puncak horor adalah paragraf terakhir:

“Aku nggak tahu apakah kamu punya perasaan yang sama. Tapi satu hal yang pasti… aku siap menunggu kamu, meski seribu purnama…”

Seluruh keluarga bersamaan berteriak:

“WAAAAH SERIBU PURNAMA!”

Ada yang tepuk tangan.
Ada yang bersiul.
Ada yang pura-pura melambaikan sapu tangan seolah ini adegan drama Korea.

Ibunya menutup surat sambil berkata:

“Aduh… gemess bangeeet ini yang nulis. Siapa sih namanya?”

Doi hanya menggeleng dengan pasrah.

 

Setelah Itu… Keheningan (dan Trauma)

Beberapa jam kemudian, doi mengirim saya chat:

“MAAF… keluargaku kebablasan…”

Saya balas:

“Nggak apa-apa. Aku cuma sedang mempertimbangkan jadi biksu.”

Dia balas:

“Tapi serius… mereka bilang kamu manis kok.”

MANIS??
Itu bukan manis.
Itu mirip gula yang jatuh ke lantai, diinjak-injak, lalu jadi karamel gosong.

Dia melanjutkan:

“Aku juga bacanya… cute sih.”

Saya antara mau bahagia atau makin malu.

Tapi tragedi belum selesai.
Keesokan harinya, salah satu tantenya mengirim DM ke Instagram saya:

“Nak, suratmu kemarin lucu banget. Kapan main ke rumah?”

SAYA. MENINGGAL. SECARA SOSIAL.

 

Efek Jangka Panjang: Saya Jadi Urban Legend

Sejak hari itu…

1. Setiap kali ada acara keluarga mereka, surat saya jadi bahan nostalgia

Katanya pernah dibacakan ulang saat mereka kumpul lagi.
Astaga.

2. Doi jadi suka manggil saya "Es Serut"

Saya belum memutuskan apakah itu panggilan sayang atau penghinaan.

3. Ada sepupu doi yang nanyain kapan saya nulis novel cinta

Tolong. Saya cuma penulis surat gagal.

 

Plot Twist: Dari Malu Jadi Manis (Sedikit…)

Meski awalnya saya ingin menggali tanah dan masuk ke dalemnya, ternyata setelah kejadian itu hubungan saya dan doi malah… makin dekat.

Katanya, dia tersentuh.
Bahkan dia bilang:

“Sejujurnya… aku senang punya seseorang yang berani kayak kamu.”

Deg.
Jantung saya seperti drum band.

Lalu dia nambahin:

“Walaupun… yaa… suratnya ketauan seluruh keluarga.”

Kami tertawa bareng.
Tawa getir, tapi tawa juga.

Dan sejak itu… hubungan kami perlahan berkembang.
Meski saya masih trauma dengan surat tulisan tangan, setidaknya kejadian itu membawa hasil.

Walau hasilnya lewat jalur yang paling memalukan.

 

Pelajaran Moral (Versi Ngakak):

  1. Jangan masukin surat cinta ke tas tanpa izin.
    Risiko: dibaca keluarga besar.
  2. Ibu-ibu + rasa penasaran = bencana nasional.
  3. Jangan pakai perumpamaan “es serut” lagi.
    Trauma.
  4. Kalau mau romantis, secukupnya. Jangan lebay sampai satu kampung tahu.
  5. Kalau suratmu diumbar ke publik… anggap saja itu soft launching karier kepenulisanmu.
  6. Yang penting: keberanianmu lebih besar dari rasa malumu. Dan itu menggerakkan hati seseorang.

 

Comments

Popular posts from this blog

Panik di ATM

  "Panik di ATM" Setting: Sebuah ruangan ATM kecil di pinggir jalan. Pak Diran , pria paruh baya yang gagap teknologi, masuk ke dalam ATM dengan penuh percaya diri. Ia mengeluarkan kartu ATM dari dompetnya, bersiap untuk tarik tunai. Adegan 1: Transaksi Dimulai ( Pak Diran memasukkan kartu ATM ke mesin dan mulai menekan tombol dengan serius. ) Pak Diran: (mumbling sambil baca layar) "Pilih bahasa… Indonesia, jelas lah! Masukkan PIN… Oke, 1-2-3-4…" (melirik ke belakang dengan curiga, takut ada yang ngintip) ( Setelah memasukkan PIN, ia memilih jumlah uang yang ingin ditarik. ) Pak Diran: "Satu juta? Wah, kayaknya kebanyakan… Lima ratus ribu aja deh… Eh, tapi cukup nggak ya buat seminggu?" (mikir lama banget, sampai orang di belakang mulai gelisah) Orang di Belakang: (batuk pura-pura, kode biar cepet) "Ehem." Pak Diran: (panik sendiri) "Iya, iya, sebentar!" (akhirnya neken tombol ‘Tarik 500.000’) Adegan 2: Kartu Hilang?! ( Mesin be...

Apakah Burung Merpati Adalah Robot Mata-Mata

  "Apakah Burung Merpati Adalah Robot Mata-Mata?" Setting: Sebuah warung kopi sederhana di pinggir jalan. Ujang dan Dodi , dua sahabat yang hobi teori konspirasi, sedang ngobrol serius sambil menyeruput kopi. Adegan 1: Teori Konspirasi Dimulai ( Ujang menatap burung merpati yang bertengger di atas kabel listrik. ) Ujang: (berbisik) "Dodi, lo sadar nggak? Itu burung merpati udah dari tadi di situ, nggak gerak-gerak." Dodi: (melirik santai, lalu ngunyah gorengan) "Terus kenapa?" Ujang: (mendekat, bisik-bisik dramatis) "Gue yakin, itu bukan burung biasa. Itu… robot mata-mata!" Dodi: (ketawa sambil hampir keselek gorengan) "Hah?! Lo becanda kan?" Ujang: (serius) "Serius! Lo pikir aja, pernah nggak lo liat anak burung merpati?" Dodi: (mikir keras, lalu kaget) "Eh, iya juga ya… Merpati mah tiba-tiba gede gitu aja!" Ujang: (mengangguk yakin) "Nah! Itu karena mereka bukan lahir dari telur… tapi pabrik! Me...

"Konspirasi Konyol: Kenapa Orang Tua Selalu Bisa Menemukan Barang yang Kita Hilangkan?

  "Konspirasi Konyol: Kenapa Orang Tua Selalu Bisa Menemukan Barang yang Kita Hilangkan?" Setting: Kamar seorang pemuda berantakan. Doni , mahasiswa malas, sedang mencari kunci motornya yang hilang. Ibunya, Bu Sri , berdiri di pintu dengan ekspresi tenang. Adegan 1: Barang Hilang, Panik Melanda ( Doni mengobrak-abrik seluruh kamar, celingak-celinguk ke bawah kasur, lemari, bahkan di dalam kulkas. ) Doni: (panik) "Astaga, kunci motor gue ke mana sih?! Udah gue cari di mana-mana!" Bu Sri: (sambil melipat tangan) "Udah dicari beneran belum? Jangan-jangan matanya aja yang nggak dipake." Doni: (kesal) "Iya, udah! Masa gue harus punya mata elang buat nemuin ini kunci?!" Bu Sri: (santai) "Sini, Ibu cariin." Adegan 2: Fenomena Orang Tua Detektor ( Bu Sri masuk ke kamar, membuka laci meja dengan tenang, lalu… mengambil kunci motor yang ada di sana. ) Bu Sri: (senyum kalem, sambil menunjukkan kunci) "Nih, ada di sini." ( Doni ...