Skip to main content

Surat Cinta Pakai Parfum Sample Majalah, Eh Malah Dikira Bau Obat Nyamuk

 

 

Halo, para pejuang cinta dengan budget pas-pasan! Mari kita ngobrol tentang sebuah era di mana gengsi itu mahal, tapi kantong kita mungil. Era di mana kita ingin tampak wah, tapi sumber dayanya terbatas. Dan dalam kondisi terdesak seperti inilah, biasanya akal-akalan yang justru bikin malu di kemudian hari muncul.

Cerita ini tentang usaha saya meracik surat cinta yang tak hanya memukau lewat kata, tapi juga melalui hidung. Sebuah misi yang berakhir dengan kegagalan sensorik yang sampai hari ini membuat saya menyesali kenapa saya tidak memilih cara yang normal saja.

Jadi, waktu itu ada seorang wanita impian, sebut saja Sari, yang duduk di kelas paralel. Sari ini bukan main. Senyumannya bisa membuat pelajaran matematika yang membosankan terasa seperti menonton komedi romantis. Saya memutuskan untuk menyatakan isi hati dengan cara yang klasik dan elegan: surat cinta.

Surat Cinta Pakai Parfum Sample Majalah, Eh Malah Dikira Bau Obat Nyamuk

Bukan sembarang surat. Ini adalah sebuah mahakarya. Saya menghabiskan tiga buku notes, empat pulpen yang macet, dan setengah botol white-out untuk menghasilkan dua paragraf yang sempurna. Isinya? Campuran puisi karya saya sendiri (yang terdengar seperti lirik lagu dangdut koplo yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia), kutipan dari film India, dan pertanyaan retoris seperti, “Apakah mentari tahu, bahwa senyummu lebih cerah darinya?”

Pokoknya, level cheesy-nya bisa membuat keju di seluruh supermarket menangis malu.

Nah, masalahnya dimulai ketika surat yang sudah jadi itu terlihat… biasa saja. Ia hanya seonggok kertas. Saya butuh sesuatu yang bisa menghidupkannya. Sesuatu yang bisa membuat Sari membayangkan saya setiap kali mencium aromanya. Saya butuh parfum.

Tapi, siapa saya? Seorang pelajar yang uang sakunya habis untuk membeli bakso dan pulsa. Membeli parfum botolan? Itu sama saja dengan mengorbankan jatah bakso selama sebulan. Sebuah pengorbanan yang terlalu berat.

Di tengah kegalauan, mata saya tertumbuk pada tumpukan majalah lama adik saya. Dan di sana, terselip sebuah anugerah dari langit: selembar kertas sample parfum.

Ya Tuhan! Ini dia jawabannya! Sample parfum dari majalah itu, meski kecil, terlihat begitu mewah. Namanya saja “Eau de Toilette – Forbidden Desire”. “Keinginan yang Terlarang”! Sangat pas dengan situasi hati saya yang sedang memberontak ini.

Dengan penuh keyakinan, saya menggosok-gosokkan sample parfum itu ke sudut-sudut kertas surat. Saya gosok ke amplop. Saya bahkan sempatkan menggosokkannya ke baju saya, untuk memastikan bahwa ketika saya menyerahkan surat nanti, aromanya konsisten. Ruang kamar saya langsung dipenuhi oleh wangi “Forbidden Desire” yang… hm… agak menyengat. Tapi saya pikir, “Ah, ini kan wangi parfum mahal. Memang begitu ciri khasnya, kuat dan berkelas.”

Saya membayangkan Sari membuka surat itu, lalu terpana oleh aroma maskulin dan menggoda yang langsung membawanya ke dalam khayalan tentang kami berdua berjalan di pantai saat senja.

Misi Pengiriman dan Perasaan Sangat Percaya Diri

Surat itu akhirnya saya titipkan lewat sahabatnya. Saya pesankan, “Ini, serahkan ke Sari. Bilang dari orang yang sangat mengaguminya.” Saya melenggang pergi dengan penuh percaya diri. Saya sudah melakukan yang terbaik. Kata-kata memukau, aroma menggoda. Apa lagi yang kurang?

Hari-hari berikutnya saya lalui dengan perasaan deg-degan yang campur aduk. Setiap kali ponsel berdering, jantung saya berdetak kencang. Saya membayangkan balasan dari Sari yang penuh dengan kata-kata manis, mungkin dia akan bertanya, “Parfum apa yang kau pakai? Wanginya sangat unique.”

Tapi, yang datang bukanlah SMS dari Sari. Melainkan laporan dari sang sahabat kurir.

Dia menghampiri saya di kantin dengan wajah yang aneh. Seperti dia sedang menahan sesuatu yang sangat kuat di perutnya.

“Gue udah kasih suratnya ke Sari,” katanya.

“Terus?!” tanya saya, tak sabar. “Gimana reaksinya? Dia suka wanginya?”

Sang sahabat menghela napas panjang, seolah sedang mempersiapkan diri untuk menyampaikan berita duka. “Bro… lo semprot surat itu pake apa, sih?”

“Pake sample parfum ‘Forbidden Desire’! Yang dari majalah itu, lho! Wangi kan?” sahut saya dengan bangga.

Dia menggeleng-geleng pelan, lalu memutuskan untuk tidak menahan tawanya lagi. Setelah terkekeh-kekeh seperti ayam yang kesedak biji jagung, akhirnya dia bisa bicara.

“Sari… Sari bilang, dia bingung banget pas buka surat lo.”
“Bingung kenapa? Terpesona?”
“Bukan. Dia bilang suratnya… bau obat nyamuk bakar.”

DUNIA SAYA RUNTUH. BAU APA?!

“OBAT NYAMUK BAKAR?!” teriak saya, membuat beberapa orang di kantin menengok. “Itu kan parfum! ‘Forbidden Desire’! Harganya mungkin jutaan per botolnya!”

“Kata Sari, persis seperti baunya obat nyamuk ‘Baygon’ yang baru dinyalain. Wanginya menusuk dan bikin agak pusing. Dia sempet buka jendela kamarnya biar baunya hilang. Dia juga heran, kenapa lo kirim surat cinta sekalian ngusir nyamuk dari kamarnya.”

Saya terduduk lemas. Sample parfum “mewah” yang ku puja-puja itu ternyata di hidung sang doi baunya seperti pestisida pembasmi serangga! Saya membayangkan Sari membuka surat saya sambil mengipas-ngipaskan tangan dan mengernyitkan hidung, bukannya bermimpi tentang senja di pantai.

Rasa malu itu begitu dalam. Lebih dalam dari lautan yang sering saya tulis di puisi. Saya bukan lagi si pemuda romantis, tapi si penyebar aroma pembasmi nyamuk.

Investigasi dan Kekecewaan yang Dalam

Penasaran dan masih tidak percaya, saya pulang dan langsung menyisir tumpukan majalah adik saya. Saya menemukan sample “Forbidden Desire” itu lagi. Saya cium… hm… iya, agak menyengat. Tapi masa iya segitu nyamuknya?

Saya bawa sample itu ke ibu saya. “Bu, ini wanginya kayak apa?”
Ibu saya cium sebentar, lalu berkata tanpa ragu, “Oh, ini kayak obat nyamuk cair yang kemarin kita beli. Yang rasa ‘Fresh Breeze’ gitu.”

Lalu saya tanya adik saya. “Kakak, ini wanginya elegan kan?”
Dia menjawab, “Jijik. Wanginya kayak semprotan pembasmi kecoa. Itu mah sample parfum palsu, Dek. Emang jarang yang asli.”

Sample. Parfum. Palsu. Tiga kata yang menghancurkan sisa-sisa harga diri saya.

Saya sudah mengira sedang menyemprotkan “aura kegagahan”, tapi pada kenyataannya, saya sedang menyemprotkan “aura Raid Anti Nyamuk”. Saya pikir saya seperti pemeran utama di film romantis, tapi di mata (dan hidung) Sari, saya mungkin seperti seorang sales obat nyamuk yang sedang mencoba cara marketing yang unik.

Epilog: Sebuah Pelajaran Hidup yang Mahal

Tentu saja, tidak ada balasan dari Sari. Hubungan kami—yang bahkan belum pernah benar-benar terjadi—telah mati sebelum berkembangan, dibunuh oleh aroma yang salah sasaran.

Beberapa pelajaran berharga yang bisa saya bagikan dari tragedi ini:

  1. Jangan Percaya Begitu Sama Sample Parfum di Majalah. Itu adalah undian sensorik. Bisa jadi kamu dapat wangi mawar, bisa jadi kamu dapat wangi pembersih lantai. Resikonya terlalu besar untuk sebuah surat cinta.
  2. Uji Coba Itu Penting. Sebelum menyemprotkannya ke mahakarya romantismu, cium dulu sample-nya. Tanyakan kepada minimal lima orang dengan indra penciuman yang normal. Jika ada satu saja yang bilang baunya seperti produk pembasmi hama, BATALKAN!
  3. Kesederhanaan Itu Indah. Surat cinta yang polos, tanpa aroma tambahan, jauh lebih baik daripada surat yang berbau seperti ingin mengusir nyamuk dan perasaan sekaligus.
  4. Investasi di Bakso Itu Lebih Berguna. Daripada mengandalkan sample palsu, lebih baik uangnya dipakai untuk membeli bakso. Setidaknya, kebahagiaan yang didapat dari bakso itu nyata dan tidak akan pernah membuatmu dikira sebagai distributor obat nyamuk.

Jadi, untuk kalian yang sedang merencanakan aksi romantis ala zaman dulu, berhati-hatilah. Pastikan alat peraga kalian—dalam hal ini parfum—tidak memiliki side effect yang justru mengubah citra kalian dari “calon kekasih” menjadi “pembasmi nyamuk berjalan”.

Kadang, yang kita anggap “forbidden desire” (keinginan terlarang) bagi si doi, bagi doi malah jadi “forbidden scent” (aroma terlarang) yang harus segera dibuang ke tong sampah. Sekian cerita lucu sekaligus memalukan dari saya. Sudah ah, mau beli obat nyamuk dulu, soalnya kamar saya baunya agak aneh sejak saya cium-cium sample tadi.


Comments

Popular posts from this blog

Panik di ATM

  "Panik di ATM" Setting: Sebuah ruangan ATM kecil di pinggir jalan. Pak Diran , pria paruh baya yang gagap teknologi, masuk ke dalam ATM dengan penuh percaya diri. Ia mengeluarkan kartu ATM dari dompetnya, bersiap untuk tarik tunai. Adegan 1: Transaksi Dimulai ( Pak Diran memasukkan kartu ATM ke mesin dan mulai menekan tombol dengan serius. ) Pak Diran: (mumbling sambil baca layar) "Pilih bahasa… Indonesia, jelas lah! Masukkan PIN… Oke, 1-2-3-4…" (melirik ke belakang dengan curiga, takut ada yang ngintip) ( Setelah memasukkan PIN, ia memilih jumlah uang yang ingin ditarik. ) Pak Diran: "Satu juta? Wah, kayaknya kebanyakan… Lima ratus ribu aja deh… Eh, tapi cukup nggak ya buat seminggu?" (mikir lama banget, sampai orang di belakang mulai gelisah) Orang di Belakang: (batuk pura-pura, kode biar cepet) "Ehem." Pak Diran: (panik sendiri) "Iya, iya, sebentar!" (akhirnya neken tombol ‘Tarik 500.000’) Adegan 2: Kartu Hilang?! ( Mesin be...

Apakah Burung Merpati Adalah Robot Mata-Mata

  "Apakah Burung Merpati Adalah Robot Mata-Mata?" Setting: Sebuah warung kopi sederhana di pinggir jalan. Ujang dan Dodi , dua sahabat yang hobi teori konspirasi, sedang ngobrol serius sambil menyeruput kopi. Adegan 1: Teori Konspirasi Dimulai ( Ujang menatap burung merpati yang bertengger di atas kabel listrik. ) Ujang: (berbisik) "Dodi, lo sadar nggak? Itu burung merpati udah dari tadi di situ, nggak gerak-gerak." Dodi: (melirik santai, lalu ngunyah gorengan) "Terus kenapa?" Ujang: (mendekat, bisik-bisik dramatis) "Gue yakin, itu bukan burung biasa. Itu… robot mata-mata!" Dodi: (ketawa sambil hampir keselek gorengan) "Hah?! Lo becanda kan?" Ujang: (serius) "Serius! Lo pikir aja, pernah nggak lo liat anak burung merpati?" Dodi: (mikir keras, lalu kaget) "Eh, iya juga ya… Merpati mah tiba-tiba gede gitu aja!" Ujang: (mengangguk yakin) "Nah! Itu karena mereka bukan lahir dari telur… tapi pabrik! Me...

"Konspirasi Konyol: Kenapa Orang Tua Selalu Bisa Menemukan Barang yang Kita Hilangkan?

  "Konspirasi Konyol: Kenapa Orang Tua Selalu Bisa Menemukan Barang yang Kita Hilangkan?" Setting: Kamar seorang pemuda berantakan. Doni , mahasiswa malas, sedang mencari kunci motornya yang hilang. Ibunya, Bu Sri , berdiri di pintu dengan ekspresi tenang. Adegan 1: Barang Hilang, Panik Melanda ( Doni mengobrak-abrik seluruh kamar, celingak-celinguk ke bawah kasur, lemari, bahkan di dalam kulkas. ) Doni: (panik) "Astaga, kunci motor gue ke mana sih?! Udah gue cari di mana-mana!" Bu Sri: (sambil melipat tangan) "Udah dicari beneran belum? Jangan-jangan matanya aja yang nggak dipake." Doni: (kesal) "Iya, udah! Masa gue harus punya mata elang buat nemuin ini kunci?!" Bu Sri: (santai) "Sini, Ibu cariin." Adegan 2: Fenomena Orang Tua Detektor ( Bu Sri masuk ke kamar, membuka laci meja dengan tenang, lalu… mengambil kunci motor yang ada di sana. ) Bu Sri: (senyum kalem, sambil menunjukkan kunci) "Nih, ada di sini." ( Doni ...