Halo, para veteran perang urat syaraf yang pernah gagal
total dalam misi pendekatan! Mari kita berkenalan dengan sebuah spesies langka
yang sangat sulit dipahami: si oblivious atau si "tidak
ngeh". Mereka adalah makhluk yang hidup dalam dimensi yang berbeda, di
mana sinyal-sinyal cinta sekuat apapun berubah menjadi angin lalu, dan sebuah
konfesi berani hanya dianggap sebagai pujian biasa.
Cerita saya hari ini adalah tentang bagaimana saya, dengan
penuh keyakinan, meluncurkan sebuah rudal perasaan yang langsung mental dan
balik menghancurkan markas saya sendiri.
Semuanya berpusat pada seorang bernama Gita. Gita itu ceria,
pintar, dan punya aura sparkly yang bikin mata saya
berkedip-kedip. Setelah berbulan-bulan mengumpulkan nyali dari remah-remah
bakwan yang saya makan, saya memutuskan bahwa sudah waktunya untuk jujur. Tapi,
karena saya bukan tipe yang flamboyan, saya memilih cara yang elegan dan
klasik: surat.
Bukan surat panjang bertele-tele. Saya memilih pendekatan short, simple, and straight to the point. Saya yakin, di era yang serba ribet ini, kejujuran yang poloslah yang akan menang.
![]() |
| Pas Kirim Surat ‘Aku Suka Kamu’, Eh Dibalas ‘Makasih, Aku Juga Suka Diriku’ |
Dengan hati berdebar-debar, saya menulis di selembar kertas
notes bergambar kartun:
"Hai Gita, aku suka kamu. Serius."
Sederhana. Jelas. Tidak ada multi tafsir. Seperti panah yang
ditembakkan langsung ke sasaran. Saya melipatnya rapi dan menyelipkannya ke
dalam bukunya saat dia pergi ke perpustakaan. Jantung saya berdetak kencang
seperti drum band yang sedang latihan. Saya membayangkan ekspresinya: terkejut,
lalu tersipu, lalu mungkin akan mencari saya untuk membalas senyuman.
Hari-H Penantian: Dari Deg-degan Jadi Tanya Tanda
Tanya
Hari itu berlalu sangat lambat. Setiap detik terasa seperti
satu semester. Saya mengamati Gita dari kejauhan, mencoba menangkap ekspresi
atau bahasa tubuh yang berbeda. Apakah dia sedang memandang saya? Apakah dia
tersenyum aneh?
Ternyata, tidak. Dia sama sekali tidak berubah. Masih ceria
seperti biasa, masih tertawa lepas dengan teman-temannya. Saya mulai
bingung. "Apakah dia belum menemukan suratnya? Atau mungkin dia
butuh waktu untuk memprosesnya?"
Sampai akhirnya, di penghujang hari, dia menghampiri saya.
Saya langsung tegang. Ini dia! Momen kebenaran!
"Dik, makasih ya suratnya!" katanya dengan senyum
lebar dan polos, seraya menepuk punggung saya.
Saya membeku. Dik? Dia memanggil saya
'Dik'? Ini bukan awal yang baik.
"O-iya. Sama-sama," bata saya, otak sudah mulai
berkabut.
"Wah, jarang-jarang ada yang ngasih apresiasi kayak gitu. Bener-bener
bikin semangat, deh!" lanjutnya dengan antusias.
Apresiasi? Otak saya berputar cepat. Apa
hubungannya "aku suka kamu" dengan apresiasi?
Sebelum saya sempat bertanya atau menjelaskan, dia sudah
melompat-lompat pergi sambil berkata, "Aku jadi makin percaya diri
nih!"
Saya pulang dengan perasaan campur aduk antara bingung dan
masih penuh harap. Mungkin ini caranya menerima? Aneh, tapi siapa tau memang
begitu gayanya.
Pukulan Telak: Sang Jawaban yang Membuat Hati
Copot
Keesokan harinya, saya menemukan sebuah balasan yang
diselipkan di celah jendela kelas saya. Hati saya langsung berbunga-bunga. Ini
dia! Balasan resminya! Saya membayangkan isinya: "Aku juga suka
kamu," atau mungkin "Mari kita coba kenalan lebih dekat."
Dengan tangan gemetar, saya membuka lipatannya. Isinya hanya
satu kalimat, ditulis dengan spidol warna-warni dan penuh emoticon senyum.
"Makasih ya! Aku juga suka diriku! 😊💖
#SelfLove #GoodVibes"
DUNIA SAYA BERHENTI.
Saya membacanya ulang. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Seperti
sedang memecahkan kode sandi yang sangat sulit.
"Aku juga suka diriku?"
"#SELFLOVE?!"
Saya tidak menyangka kalau tiga kata "aku suka
kamu" bisa disalahtafsirkan sedemikian rupa. Surat cinta saya yang polos
itu, di mata Gita, bukanlah sebuah deklarasi, melainkan sebuah surat
apresiasi atas kecintaannya pada diri sendiri! Saya bukan sedang
mengungkapkan perasaan, saya sedang memuji konsep self-love-nya!
Rasa malu, kaget, dan ingin ketawa bercampur menjadi satu.
Saya terjebak di antara ingin menangis dan ingin menggelinding di lantai karena
absurditas situasi ini.
Analisis Kegagalan: Di Mana Titik Kesalahannya?
Setelah shock mereda, saya mencoba menganalisis
kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan kegagalan komunikasi level dewa ini.
- Teori
Kesederhanaan yang Berlebihan: Mungkin kalimat saya terlalu
sederhana. Di era di mana orang terbiasa dengan bahasa yang berbelit,
kalimat "Aku suka kamu" dianggap terlalu umum. Bisa berarti suka
sebagai teman, suka sebagai fans, atau dalam kasus ini, suka sebagai
penyemangat.
- Teori
Dimensi Paralel: Gita hidup dalam dimensi di mana setiap pujian
adalah pengakuan akan kehebatannya. Di dimensinya, tidak ada yang namanya
suka secara romantis. Yang ada hanya saling mengapresiasi antara satu
makhluk awesome dengan makhluk awesome lainnya.
- Teori
Kekuatan Self-Love yang Terlalu Kuat: Kecintaan
Gita pada dirinya sendiri (self-love) sudah mencapai level yang
begitu tinggi, sehingga setiap kalimat "suka" yang diterimanya
otomatis diterjemahkan sebagai konfirmasi bahwa memang dirinya sangat
layak untuk disukai—terutama oleh dirinya sendiri.
Saya membayangkan apa yang ada di pikiran Gita saat membaca
surat saya:
"Wih, dia tahu ya kalau aku lagi berusaha buat lebih mencintai diri
sendiri? Manis banget deh dia ngasih support kayak gini. Iya bener sih, aku
juga suka banget sama diriku sendiri. Aku memang keren ya? Thank you, thank
you."
Epilog: Hubungan Baru yang (Dipaksakan)
Apa yang terjadi selanjutnya? Tentu saja, tidak ada hubungan
cinta yang terjalin. Sebaliknya, saya justru secara tidak sengaja telah
memantik sebuah "persekutuan" yang aneh.
Gita kini menganggap saya sebagai "sahabat seperjuangan
dalam self-love". Dia sering bercerita tentang pencapaiannya
dan berkata, "Kamu kan yang dulu bilang suka sama aku, pasti setuju kan
kalau aku hebat?"
Atau, yang lebih menyiksa, dia kadang membalas cerita saya
dengan, "Wah, kamu keren! Kamu juga harus belajar buat suka sama dirimu
sendiri, kayak aku!"
Saya terjebak dalam sebuah lingkaran di mana saya tidak bisa
mengoreksi kesalahpahaman tanpa menjadi si perusak good vibes dan positive
energy-nya.
Pelajaran Hidup yang Pahit (Tapi Lucu di Kemudian
Hari)
- Jangan
Setengah Hati. Jika ingin mengungkapkan perasaan, gunakan kalimat
yang jelas dan tidak ambigu. "Aku suka kamu dan ingin jadi
pacarmu" mungkin lebih berisiko, tapi setidaknya tidak akan disangka
sebagai kampanye self-love.
- Kenali
Target dengan Baik. Jika doi adalah tipe orang yang sangat percaya
diri dan full of self-love, bersiaplah dengan strategi yang
berbeda. Mungkin butuh pendekatan yang lebih langsung dan verbal.
- Kekuatan Hashtag Itu
Nyata. Sebuah balasan yang disertai hashtag #SelfLove adalah
tanda yang sangat jelas bahwa kamu telah gagal total.
- Terkadang,
Kegagalan Lebih Lucu Daripada Kesuksesan. Meskipun saat itu
rasanya seperti ditampar oleh realita, cerita ini justru menjadi bahan
tertawa terbaik saya bersama teman-teman. Kegagalan yang absurd adalah
bumbu kehidupan.
Jadi, untuk kalian yang sedang bersiap untuk mengungkapkan
isi hati, pelajari baik-baik kisah saya. Pastikan bahwa "aku suka
kamu"-mu tidak berakhir menjadi "aku mendukung kecintaanmu pada
dirimu sendiri".
Karena dalam peperangan cinta, terkadang musuh terbesarnya
bukanlah penolakan, melainkan sebuah penerimaan yang sama sekali tidak kamu
harapkan. Lebih baik ditolak dengan jelas daripada diterima sebagai
"sponsor" dalam perjalanan self-discovery-nya doi.
Sekian curhat colongan dari saya, yang pernah statusnya
bukan rejected, tapi misdirected. Sudah ah, aku harus
lanjutin self-love-ku dulu, sambil berusaha suka dengan
rasa maluku sendiri.
.jpg)
Comments
Post a Comment