Halo, para kolektor momen canggung dan kesialan yang
direncanakan dengan matang! Hari ini, kita akan membongkar sebuah bab dalam
buku harian hidup saya yang berjudul: “Ketika Gagasan Gaya-gayaan
Beradu dengan Realita Fisika Dasar.”
Semua berawal dari sebuah ketidakpuasan. Saya melihat teman-teman sebaya saya menyatakan perasaan dengan cara yang begitu… biasa. DM Instagram, chat WhatsApp, atau yang paling berani, ngasih notes biasa di buku tulis. Boring! Jiwa seniman saya yang terdalam (yang ternyata cuma sedalam tempayan) memberontak. Saya harus menciptakan sebuah momen yang tak terlupakan, sebuah artefak cinta yang akan dikenang sepanjang masa.
![]() |
| Nulis Surat Pakai Tinta Emas, Eh Malah Luntur Pas Kehujanan di Tas |
Sasaran saya adalah Saskia, si cewek yang matanya seperti
pelangi—kalau lagi pakai softlens. Untuk mencapainya, saya memutuskan untuk
menggunakan senjata pamungkas: sebuah surat cinta.
Tapi bukan sembarang surat. Ini harus menjadi sebuah masterpiece visual.
Sebuah lukisan kata-kata yang memukau mata sebelum merasuk ke dalam kalbu. Dan
di tengah pencarian saya akan kesempurnaan, di sebuah toko alat tulis yang
penuh debu, mata saya tertumbuk pada sebuah kotak ajaib. Sebuah pulpen
dengan cartridge tinta emas glitter.
Wahai para lelaki dan perempuan! Cahayanya! Bagaimana
mungkin sebuah benda bisa begitu memesona di bawah lampu neon 10 watt toko itu.
Saya membayangkan Saskia membuka surat itu. Cahaya matahari menyentuh kertas,
dan glek! kilauan emas akan memantul ke retina matanya,
membuatnya terpesona sebelum sempat membaca satu pun kata-kata canggung yang
saya tulis.
“Ini dia! Kunci hatinya!” gumam saya, dengan penuh keyakinan
membayar pulpen yang harganya setara dengan lima porsi mie ayam komplit itu.
Proses Kreatif yang Penuh Penderitaan
Membuat surat dengan tinta glitter bukanlah perkara mudah.
Ini adalah sebuah medan perang.
- Pertempuran
1: Melawan Glitter yang Serakah. Tinta ini bukan mengalir, tapi
keluar seperti longsoran emas yang rakus. Sedikit tekanan terlalu kuat,
dan kertasmu akan memiliki gumpalan glitter yang mengeras seperti kerak
bumi, menyembunyikan kata-kata penting seperti “aku” dan “kamu”.
- Pertempuran
2: Melawan Waktu Pengeringan. Tinta ini mengering dengan
kecepatan yang tidak manusiawi. Jika kamu berhenti berpikir selama tiga
detik untuk mencari kata yang puitis, ujung pulpen sudah macet oleh
glitter yang membeku. Hasilnya adalah goresan-goresan putus-putus yang
membuat suratmu terlihat seperti ditulis oleh orang yang sedang menggigil
kedinginan.
- Pertempuran
3: Melawan Kekacauan. Setelah menulis satu paragraf, jari-jarimu,
meja, lantai, dan bahkan hidungmu (entah bagaimana caranya) akan dipenuhi
oleh serpihan glitter. Kamu bukan lagi calon kekasih, kamu adalah dewa
Midas yang ceroboh.
Setelah berjuang selama tiga jam, mengorbankan tiga lembar
kertas draft, dan kesabaran yang tinggal separuh, akhirnya jadilah mahakarya
itu. Dua halaman penuh dengan untaian kata yang lebih cheesy dari pizza keju
double, semua tertulis dalam tinta emas yang berkilauan. Saya melipatnya dengan
hati-hati, memasukkannya ke dalam amplop cokelat bermotif, dan merasa seperti
Shakespeare yang baru saja menyelesaikan Hamlet.
Misi Pengantaran: Ketika Langit Ikut Campur
Hari H pun tiba. Saya menitipkan surat ini kepada kurir
andalan, si Boni, untuk diselipkan ke dalam tas Saskia saat jam istirahat. Saat
Boni menyerahkan surat itu, langit cerah. Matahari bersinar. Burung-burung
berkicau. Alam seolah mendukung misi romantis saya.
Tapi, siapa yang bisa mempercayai langit di negeri ini?
Tanpa diduga, tepat saat bel pulang berbunyi, langit yang
tadi cerah mendadak berubah warna menjadi abu-abu pekat. Lalu, dengan tanpa
peringatan, HUJAN DERAS mengguyur dengan amat sangat jahatnya.
Bukan hujan gerimis yang romantis, tapi hujan yang seakan-akan ingin
membersihkan dunia dari segala bentuk kegoblokan, termasuk surat cinta bertinta
emas saya.
Saskia, seperti kebanyakan siswa, berlari ke halte bus
dengan tas ranselnya ditenteng di atas kepala. Tas itu basah kuyup. Dan di
dalamnya, terselip sebuah amplop cokelat yang berisi harapan dan glitter.
Saya menyaksikan pemandangan ini dari jendela kelas dengan
perasaan campur aduk. Sedih melihat Saskia kehujanan, tapi juga ada sedikit
rasa bangga bahwa surat saya mungkin akan memberinya kehangatan di tengah
dinginnya hujan. Ah, mungkin ini takdir, pikir saya. Dia
akan membacanya sambil minum teh hangat, dan kilauan emasnya akan kontras
dengan mendung di luar.
Kenyataan Pahit: Dari Mahakarya Menjadi Bencana
Seni
Keesokan harinya, saya mencari Saskia dengan penuh antusias.
Saya membayangkan dia akan tersipu malu, atau setidaknya tersenyum manis saat
melihat saya.
Yang saya dapatkan justru tatapan bingung bercampur
kekhawatiran.
“Eh, tentang surat itu…” kata Saskia, membuka percakapan.
Jantung saya berdebar kencang. “Iya? Gimana? Kamu suka?”
Dia mengeluarkan selembar kertas dari tasnya. Tapi, ini bukan lagi mahakarya
yang saya kenal.
Surat saya telah berubah menjadi sebuah lukisan
abstrak yang mirip dengan peta harta karun yang kena kutukan.
Tinta emas yang dulu begitu berkilau kini telah LUNTUR
TOTAL. Glitter-glitter itu telah bermigrasi dari posisi semula, membentuk
gumpalan-gumpalan kuning keemasan yang acak-acakan. Kata-kata “Aku menyukaimu”
kini berubah menjadi sebuah noda besar berbentuk seperti Pulau Papua. Kata
“selamanya” kini terlihat seperti jejak kaki alien yang tenggelam dalam banjir
lumpur emas. Warna cokelat dari amplop yang basah ikut meresap, menciptakan
efek ‘vintage’ yang tidak diinginkan, membuat seluruh kertas terlihat seperti
kain lap bekas membersihkan kuah kari.
“Aku… bingung bacanya,” ujar Saskia polos. “Ini tulisannya
kok jadi blur semua? Aku kira ini semacam teka-teki atau kode rahasia. Terus,
glitter-nya jadi berantakan kemana-mana. Pas buka tas, semua buku dan pensil
aku jadi kayak habis dicelup emas. Ini apaan sih?”
Saya hanya bisa terdiam, memandangi sisa-sisa malapetaka
yang dulu disebut surat cinta. Pulpen tinta emas seharga lima porsi mie ayam
itu telah mengkhianati saya. Ia tahan banting di atas kertas, tetapi lemah tak
berdaya di hadapan setetes air hujan.
“Itu… itu sebenernya surat…” bata saya, tak mampu
melanjutkan.
“Oh! Jadi ini surat!” katanya, mencoba lebih keras untuk membaca. “Aku cuma
bisa baca beberapa kata. ‘…langit…’ ‘…sendiri…’ ‘…pizza?’. Kamu ngajak aku
makan pizza?”
Saya menghela napas dalam-dalam. “Bukan. Itu tulisannya
‘pizza’ atau ‘pizza’? Ah, sudahlah.”
Pelajaran yang Dibayar dengan Malu
Tragedi ini bukanlah akhir dari dunia, tapi jelas merupakan
akhir dari karier saya menulis surat cinta berglitter. Beberapa pelajaran mahal
yang saya petik:
- Uji
Ketahanan Itu Wajib. Sebelum menggunakan materi apapun untuk
surat cinta, coba celupkan ke dalam air. Jika isinya luntur dan berubah
menjadi noda kuning aneh, JANGAN GUNAKAN.
- Glitter
adalah Pengkhianat. Glitter tidak punya loyalitas. Dia akan
berpindah tempat dengan senang hati saat bertemu air, meninggalkan
kata-katamu dalam kubangan kekacauan.
- Kesederhanaan
adalah Kekuatan. Sebuah surat yang ditulis dengan pulpen biasa di
kertas biasa, yang tidak berubah menjadi teka-teki silang saat kehujanan,
adalah tanda cinta yang sesungguhnya.
- Selalu
Cek Prakiraan Cuaca. Ini adalah pelajaran hidup yang berlaku
untuk segala hal, termasuk mengirim surat cinta. Jika ada potensi hujan,
tunda misinya. Atau, gunakan plastik klip. Sebuah plastik klip sederhana
bisa menyelamatkanmu dari malapetaka seni yang memalukan.
Jadi, untuk kalian yang berniat mengejar kekasih dengan
aksi-aksi visual yang mencolok, ingatlah kisah saya. Kadang, yang kita anggap
sebagai “sentuhan Midas” yang akan mengubah segala sesuatu menjadi emas, pada
kenyataannya hanya sebuah “sentuhan ceroboh” yang mengubahnya menjadi noda
kuning yang membingungkan.
Cinta itu seharusnya jelas dan mudah dibaca, bukan blur dan
terlihat seperti noda kecap di baju putih. Lebih baik kata-katamu yang
bersinar, bukan tintanya yang justru luntur saat diuji hujan. Sekian dari saya,
sang mantan calon maestro seni rupa yang gagal. Sudah ah, mau bersih-bersih
sisa glitter yang masih menempel di celana dari tiga tahun lalu.
.jpg)
Comments
Post a Comment