Halo, para pejuang cinta yang percaya bahwa kata-kata yang berlebihan adalah kunci ke hati sang doi! Mari kita berjalan-jalan sebentar ke masa di mana saya, dengan percaya diri yang sangat salah, memutuskan bahwa menjadi Romeo dari komplek perumahan adalah ide yang brilian.
Ini adalah kisah tentang bagaimana sebuah kunjungan ke perpustakaan dan menonton film Romeo + Juliet versi Leonardo DiCaprio yang sudah tua, memicu sebuah bencana komunikasi yang sampai hari ini masih membuat saya meringis kalau teringat.
Karakter utama dalam drama ini adalah Dinda. Dinda adalah cewek praktis. Dia suka hal-hal yang jelas, to the point, dan tidak berbelit. Sayangnya, saya tidak menyadari hal ini. Yang saya lihat hanyalah bahwa dia cantik, dan kecantikan itu—menurut logika film—harus disikapi dengan puisi dan kata-kata sok tinggi.
![]() |
| Ketika Saya Dikuasai oleh Roh Shakespeare |
Fase Inspirasi: Ketika Saya Dikuasai oleh Roh Shakespeare
Waktu itu, kami dapat tugas bahasa Indonesia untuk membaca sebuah drama. Saya, yang malas, memilih yang paling tipis: Romeo dan Juliet versi singkat. Itu adalah kesalahan terbesar dalam hidup saya. Setelah membacanya, saya merasa "tercerahkan". Saya yakin, inilah cara merayu wanita yang sesungguhnya! Bukan dengan chat "udah makan?" yang biasa, tapi dengan metafora yang dalam tentang matahari, bulan, dan kuda terbang!
Saya duduk di meja belajar, dengan buku kumpulan drama Shakespeare di satu tangan dan kamus Bahasa Indonesia-Inggris di tangan lain. Misi saya: menulis surat cinta yang akan membuat Dinda terpesona oleh kedalaman jiwa sastrawan saya.
Prosesnya sungguh memilukan. Saya menyiksa bahasa Indonesia dengan memaksanya menjadi pseudo-Elizabethan yang aneh. Kata "aku" diganti menjadi "beta". Kata "kamu" menjadi "engkau". Setiap kalimat harus berirama, penuh dengan kata seru yang tidak perlu.
Akhirnya, setelah berjam-jam bergelut dengan kata-kata, terciptalah sebuah mahakarya yang isinya kira-kira seperti ini:
“Wahai, Dinda, sang mentari yang bersinar di angkasa
raya!
Sudikah engkau mengetahui isi kalbu beta yang terdalam?
Bagai sang perindu yang merindukan sang bulan, demikianlah hati beta
merindukan cahayamu.
Wajahmu bagaikan kembang yang merekah di taman syurga, membuat sekalian
bintang menjadi malu akan sinarnya.
Oh, Dinda, adakah ruang di dalam kalbumu yang suci untuk beta, si papa yang
hina dina ini?”
Saya membacanya ulang. Air mata saya hampir menetes karena terharu pada karya saya sendiri. This is it, pikir saya. Besok, dia akan datang ke sekolah dengan mahkota bunga dan memanggil saya 'pujaan hatinya'.
Misi Pengiriman: Sang "Karya Sastra" Meluncur
Saya melipat surat itu dengan hati-hati dan menyelipkannya ke dalam tas Dinda saat pelajaran olahraga. Jantung saya berdebar kencang, bukan karena lari keliling lapangan, tapi karena membayangkan ekspresinya saat membuka surat itu. Saya yakin dia akan terdiam, terpana, dan mungkin menitikkan air mata.
Hari itu berjalan lambat. Saya mengamatinya dari kejauhan, menunggu tanda-tanda bahwa dia telah membaca "karya sastra" saya. Tapi wajahnya tetap biasa saja. Saya menyimpulkan bahwa dia pasti menyimpannya untuk dibaca di rumah, dalam kesunyian, agar bisa menikmati setiap katanya dengan khidmat.
Benturan Realita: Ketika Dunia Sastra Bertemu Bahasa Gaul
Keesokan harinya, Dinda menghampiri saya di lorong sekolah. Wajahnya tidak terpesona. Tidak ada mahkota bunga. Ekspresinya adalah campuran antara bingung dan khawatir.
"Eh, we," katanya, membuyarkan khayalan saya bahwa dia akan memanggil saya "Wahai, pujaan hatiku".
"We... suratnya lo yang kasih ya?" tanyanya, mengeluarkan lipatan kertas itu.
"Beta... maksudnya, iya. Aku," jawabku, mencoba tetap konsisten dengan karakter Shakespeare saya.
Dinda mengedipkan beberapa kali, seolah memastikan bahwa saya ini nyata.
"Gue baca semalem. Berulang-ulang. Sebenernya... lo lagi ngegas gue ya?"
DUNIA SAYA HANCUR. Ngegas? Istilah yang berarti mengolok-olok atau menyindir dengan kasar? Surat cinta saya yang penuh pujian setinggi langit itu dianggap sebagai sebuah bentuk bullying?
"Na... ngegas? Bukan! Itu... itu surat cinta!" bela saya, rasa malu mulai membakar seluruh wajah.
Dinda mengernyitkan dahi, lalu tertawa kecil. "Surat cinta? Serius? Kirain lo lagi nyindir gue karena kemaren gue presentasi jelek. Soalnya tuh tulisan lo aneh banget. 'Si papa yang hina dina'? 'Bagai sang perindu'? Itu binatang apa? Lo kurang tidur ya? Atau lagi demam? Kok jadi kayak orang jaman dulu banget."
Saya berdiri terpaku, merasa seperti patung yang baru saja dihujani fakta. Semua metafora tentang mentari dan kembang, semua kata-kata sok puitis itu, tidak diterjemahkan sebagai keromantisan, melainkan sebagai sindiran tajam yang tidak bisa dipahami.
Dia bahkan tidak mengerti bahwa itu adalah pujian!
Analisis Kegagalan: Dekonstruksi Sebuah Bencana Sastra
Setelah kejadian itu (dan setelah saya sembuh dari malu akut selama seminggu), saya mencoba menganalisis di mana titik kesalahannya.
- Kesenjangan Budaya dan Zaman. Dinda adalah anak gaul 2010-an yang bahasanya dicampur dengan bahasa prokem dan singkatan. Saya tiba-tiba menyodorkan bahasa yang lebih tua dari kakeknya. Itu seperti memberikan Blackberry ke anak Gen Z dan berharap mereka akan terkesima.
- Tingkat Kepraktisan. Dinda adalah tipe "yang penting jelas". Kalimat seperti "Gue suka lo" jauh lebih efektif baginya daripada "Hati beta bagai sang perindu yang merindukan sang bulan". Yang satu langsung ke sasaran, yang satunya lagi membuatnya bertanya-tanya apakah saya sedang bergurau atau mengalami gangguan jiwa.
- Salah Tafsir Total. Frasa "si papa yang hina dina" yang dalam kepala saya berarti "saya yang tidak berdaya", di telinga Dinda terdengar seperti penghinaan terhadap diri sendiri yang berlebihan, sehingga terkesinronis. Dia mengira saya sedang menyindirnya dengan berpura-pura merendahkan diri.
Saya membayangkan apa yang ada di pikiran Dinda saat membaca
surat saya:
"Wahai, Dinda, sang mentari..." -> "Ini
sarkas? Gue diemin dia seminggu, langsung dijadiin matahari?"
"Bagai sang perindu..." -> "Serangga? Dia
bilang gue serangga?!"
"Si papa yang hina dina..." -> "Nih orang
ngatain diri sendiri, jangan-jangan mau nyindir gue juga. Lo ngegas ya?"
Epilog: Akhir yang (Tidak) Romantis
Tidak ada kisah cinta ala Romeo dan Juliet yang tercipta. Yang ada, Dinda jadi agak menjaga jarak selama beberapa waktu, mungkin masih ragu apakah saya ini normal atau tidak. Reputasi saya sebagai "anak yang biasa saja" berubah menjadi "anak yang aneh dan sok puitis".
Pelajaran berharga yang saya petik dari tragedi ini:
- Kenali Bahasanya Doi. Jika doi bicara dengan bahasa gaul, jangan jawab dengan bahasa sastra 400 tahun yang lalu. Itu bukan romantis, itu awkward.
- Kredibilitas Itu Penting. Jika kamu bukan seorang penyair atau pecinta sastra tulen, tiba-tiba menulis dengan gaya Shakespeare hanya akan membuatmu terlihat seperti sedang berakting dengan buruk.
- "Aku suka kamu" itu Universal. Frasa ini, dalam segala kesederhanaannya, memiliki tingkat keberhasilan yang jauh lebih tinggi dan risiko kesalahpahaman yang jauh lebih rendah.
- Simpan Shakespeare untuk Ujian Saja. Kecuali doi adalah profesor sastra, lebih baik tinggalkan Romeo dan Juliet di buku pelajaran.
Jadi, untuk kalian yang berniat menggunakan pendekatan sastra klasik, pikirkan kembali. Apakah doi akan terpesona, atau justru akan menanyakan kesehatan mentalmu sambil menawarkan obat?
Kadang, cara terbaik untuk mengatakan "aku cinta kamu" adalah dengan langsung mengatakannya, bukan dengan menyamarkannya dalam metafora tentang kuda terbang dan rembulan. Karena kalau tidak, kamu bukan akan dianggap sebagai Romeo, tapi sebagai orang aneh yang perlu diperiksa ke dokter.
Sekian dari saya, sang mantan pujangga gagal yang karyanya dikira sebagai bentuk olok-olok. Sudah ah, mau bakar-bakar puisi lama saya yang menyedihkan itu.
.jpg)
Comments
Post a Comment