Pernah ngebayangin nggak, sidang skripsi aja nggak semenegangkan hari itu. Hari di mana aku, dengan jantung berdebar-debar kayak mesin cuci rusak, akhirnya memberanikan diri untuk menulis surat cinta buat sang pujaan hati, Dina. Nggak tanggung-tanggung, aku habiskan tiga malam penuh, merangkai kata-kata yang dalem, puitis, dan bikin merinding. Hasilnya? Sebuah mahakarya yang siap meluluhkanlantung siapapun.
Tapi
nasib berkata lain. Dan bukan ‘lain’ yang romantis, tapi ‘lain’ yang bikin
pengen pindah planet.
Ini
adalah kisah tentang bagaimana sebuah surat cinta yang semestinya bikin Dina
klepek-klepek, malah berakhir jadi bahan PR Bahasa Indonesia yang dibacakan di
depan kelas oleh Bu Sari, guru yang terkenal paling galak se-SMP Negeri 3.
Bab 1: Persiapan Operasi Rahasia
Bayangkan
ini: aku duduk di kamar, dikelilingi coretan-coretan draft yang gagal. Sampah
penuh dengan bola kertas yang berisi kalimat-kalimat canggung seperti, "Matamu bagai bintang di
langit yang gelap," yang terdengar lebih cocok untuk
deskripsi observasi astronomi daripada deklarasi cinta.
Akhirnya,
setelah perjuangan keras, jadilah surat itu. Isinya kira-kira begini:
Untuk Dina yang…
Di antara riuh rendah
bel sekolah dan hiruk-pikuk lorong kelas, ada satu hal yang selalu jelas
bagiku: senyummu. Seperti pelangi setelah hujan, kamu hadirkan warna dalam
hidupku yang biasa saja.
Aku nggak bisa
bohong, setiap kali kamu lewat, rasanya kayak dunia slow motion. Bahkan suara
ketawa kamu itu loh, kayak musik yang bikin aku lupa sama semua masalah,
termasuk PR Matematika yang numpuk.
Aku cuma mau bilang…
aku suka sama kamu. Beneran. Bukan karena kamu cantik (walaupun kamu memang
cantik), tapi karena kamu itu… ya kamu. Orangnya baik, lucu, dan nggak
sok-sokan.
Gimana kalo kita
jalan bareng nonton bioskop sabtu depan? Aku traktir popcorn.
Dari rahasia hatiku,
Rangga
Cihuy! Pencapaian tingkat dewa. Aku melipatnya dengan sangat
hati-hati, memasukkannya ke dalam amplop putih bersih, dan menuliskan dengan
tinta biru: "Untuk:
Dina - Dengan Rahasia". Aku merasa seperti Shakespeare
remaja. Operasi "Getar Hati Dina" siap diluncurkan.
Bab 2: Momen Kritis yang Mematikan
Esok
harinya di sekolah, suasana genting. Aku memegang amplop itu di saku celana,
seperti agen rahasia yang membawa dokumen vital. Dadaku berdegup kencang,
berkali-kali lebih kencang dari saat lari keliling lapangan.
Rencananya
sederhana: serahkan surat itu diam-diam ke tas atau mejanya saat dia nggak
lihat.
Tapi
alam punya rencana lain. Di tengah keramaian istirahat, saat aku sedang mencari
momen yang tepat, Bu Sari tiba-tiba masuk ke kelas dan mengumumkan dengan suara
lantang, "Anak-anak, kumpulkan PR Bahasa Indonesia kalian! Letakkan di
meja guru sekarang!"
Kelas
pun riuh. Semua orang memburu-buru mengeluarkan buku dan lembaran PR. Aku ikut
panik. PR-ku ada di buku tulis khusus. Dengan reflek, sambil mataku masih
menyasar Dina yang sedang asik ngobrol di depan, tanganku merogoh saku dan
mengeluarkan… AMPLOP SURAT CINTA ITU.
Dalam
keadaan panik buta, otakku nggak berfungsi. Alih-alih mengambil buku PR,
tanganku justru meletakkan amplop bertuliskan "Untuk: Dina - Dengan
Rahasia" itu di atas tumpukan kertas PR di meja guru. Aku bahkan nggak
sadar. Pikiranku masih penuh dengan Dina. Setelah "mengumpulkan PR",
aku langsung balik badan, mencoba mendekatinya lagi.
Bab 3: Bom Waktu di Meja Guru
Bom
waktu itu berbentuk amplop putih dan meledak tepat di pelajaran Bahasa
Indonesia, dua jam kemudian.
Bu
Sari duduk di depan kelas dengan segunung kertas di depannya. Dia mulai
memeriksa PR satu per satu, kadang mengangguk, kadang menghela napas. Lalu,
sampailah tangannya pada sebuah amplop putih yang mencolok di antara tumpukan
buku dan kertas folio.
Dia
mengambilnya. Matanya berbinas. Seluruh kelas tenang.
"Untuk: Dina - Dengan Rahasia,"
dia membacakan tulisan di depan amplop dengan suara jelas. Suasana kelas yang
tadinya hening, langsung pecah dengan desisan dan cekikikan.
Dina
yang duduk di barisan tengah, langsung memerah wajahnya. Aku? Darah di sekujur
tubuhku berhenti mengalir. Aku membeku. Rasanya seperti mimpi buruk di mana
kamu telanjang di depan umum, tapi jauh, jauh lebih buruk.
Bu
Sari, dengan alis yang terangkat tinggi, membuka amplop itu. "Wah,
ternyata ada surat rahasia nih di antara PR kalian. Mari kita lihat
isinya," katanya dengan senyum tipis yang bikin bulu kuduk berdiri.
Bab 4: Pembacaan yang Menyiksa Selama 1000 Tahun
Dan
dimulailah pembacaan paling dramatis dan memalukan dalam sejarah hidupku. Bu
Sari, dengan intonasi dan penjiwaan layak seorang dalang wayang, membacakan
surat cintaku kata demi kata.
"Di antara riuh rendah bel sekolah
dan hiruk-pikuk lorong kelas…" dia mulai. Cekikikan sudah
mulai terdengar.
"…rasanya kayak dunia slow motion."
Beberapa anak laki-laki di belakang sudah menutup mulut mereka.
Saat
dia sampai pada bagian, "Bahkan
suara ketawa kamu itu loh, kayak musik yang bikin aku lupa sama semua masalah,
termasuk PR Matematika yang numpuk," seluruh kelas tidak
bisa menahan diri lagi. Tertawa lepas menggema di ruangan itu. Dina memendahkan
kepalanya, kupingnya merah padam.
Aku
ingin sekali menghilang. Menjadi debu. Atau minimal, kesamber petir.
Puncaknya
adalah ketika Bu Sari membacakan kalimat, "Aku traktir popcorn." Dia
berhenti sejenak, memandang ke arahku yang sedang mencoba menyatu dengan kursi.
"Wah, yang nulis kayaknya baik banget ya, mau traktir popcorn,"
katanya sambil tertawa kecil. Kelas semakin menjadi-jadi.
Bab 5: Konsekuensi yang Abadi
Setelah
surat itu selesai dibacakan—yang terasa seperti satu abad—Bu Sari meletakkan
kertas itu. Dia tidak marah, malah terlihat sangat terhibur.
"Rangga,"
panggilnya. Suaranya menggema di kelas yang tiba-tiba senyap lagi.
"Kreatif sekali ya menulis deskripsi. Sayang sekali salah alamat. Suratnya
untuk PR Bahasa Indonesia, dapat nilai E. Alasannya: tidak menjawab soal!"
Kelas
meledak lagi. Aku hanya bisa mengangguk pelan, wajahku lebih merah dari
bendera.
Setelah
pelajaran usai, aku adalah bahan gunjingan utama. Dina menghampiriku. Jantungku
berdebar, masih ada sisa harapan.
"Rangga,"
katanya.
"Iya, Din? Maaf ya tadi, aku…"
"Gue malu banget, Rang. Jangan ngomong sama gue dulu, ya."
Crek. Hati ini hancur berderai. Bukan cuma ditolak, tapi ditolak
dengan cara yang paling spektakuler dan publik dalam sejarah pergaulan sekolah.
Epilog: Legenda yang Tak Terlupakan
Hingga
kami lulus, bahkan sampai sekarang saat reuni, cerita itu tetap hidup.
"Eh,
ingat nggak si Rangga yang surat cintanya dibacain Bu Sari? Gila, itu plot
twist terbaik se-SMP!" adalah kalimat yang selalu muncul.
Dina
dan aku akhirnya bisa berteman baik, dan itu jadi bahan ledekan yang lucu
antara kami. "Traktir popcorn, dong, yang dulu janjiin!" godanya kadang-kadang.
Pelajaran
berharganya? Jangan
pernah mencampurkan urusan hati dengan urusan akademis. Periksa
kembali apa yang kamu kumpulkan ke guru. Dan yang paling penting,
kadang-kadang, lebih baik bilang langsung daripada lewat surat yang berisiko
salah alamat.
Sekarang,
setiap kali ada yang ngomongin surat cinta, aku cuma bisa senyum-senyum getir.
Aku adalah bukti hidup bahwa sebuah deklarasi cinta bisa berubah menjadi sesi
komedi publik yang dibintangi oleh dirimu sendiri, tanpa izin.
Jadi, buat
kalian yang lagi mau kasih surat cinta, pastikan kalian nggak salah masukin
amplop. Atau, lebih baik, chat aja le WA. Risikonya jauh lebih kecil. Kecuali
kalau kalian kirim screenshot-nya ke grup kelas. Itu level malu yang sama
sekali berbeda
No comments:
Post a Comment