Thursday, October 16, 2025

Salah Masukin Amplop, Surat Cinta Malah Jadi PR Bahasa Indonesia

Pernah ngebayangin nggak, sidang skripsi aja nggak semenegangkan hari itu. Hari di mana aku, dengan jantung berdebar-debar kayak mesin cuci rusak, akhirnya memberanikan diri untuk menulis surat cinta buat sang pujaan hati, Dina. Nggak tanggung-tanggung, aku habiskan tiga malam penuh, merangkai kata-kata yang dalem, puitis, dan bikin merinding. Hasilnya? Sebuah mahakarya yang siap meluluhkanlantung siapapun.

Tapi nasib berkata lain. Dan bukan ‘lain’ yang romantis, tapi ‘lain’ yang bikin pengen pindah planet.

Ini adalah kisah tentang bagaimana sebuah surat cinta yang semestinya bikin Dina klepek-klepek, malah berakhir jadi bahan PR Bahasa Indonesia yang dibacakan di depan kelas oleh Bu Sari, guru yang terkenal paling galak se-SMP Negeri 3.

Bab 1: Persiapan Operasi Rahasia

Bayangkan ini: aku duduk di kamar, dikelilingi coretan-coretan draft yang gagal. Sampah penuh dengan bola kertas yang berisi kalimat-kalimat canggung seperti, "Matamu bagai bintang di langit yang gelap," yang terdengar lebih cocok untuk deskripsi observasi astronomi daripada deklarasi cinta.

Akhirnya, setelah perjuangan keras, jadilah surat itu. Isinya kira-kira begini:

Untuk Dina yang…

Di antara riuh rendah bel sekolah dan hiruk-pikuk lorong kelas, ada satu hal yang selalu jelas bagiku: senyummu. Seperti pelangi setelah hujan, kamu hadirkan warna dalam hidupku yang biasa saja.

Aku nggak bisa bohong, setiap kali kamu lewat, rasanya kayak dunia slow motion. Bahkan suara ketawa kamu itu loh, kayak musik yang bikin aku lupa sama semua masalah, termasuk PR Matematika yang numpuk.

Aku cuma mau bilang… aku suka sama kamu. Beneran. Bukan karena kamu cantik (walaupun kamu memang cantik), tapi karena kamu itu… ya kamu. Orangnya baik, lucu, dan nggak sok-sokan.

Gimana kalo kita jalan bareng nonton bioskop sabtu depan? Aku traktir popcorn.

Dari rahasia hatiku,
Rangga

Cihuy! Pencapaian tingkat dewa. Aku melipatnya dengan sangat hati-hati, memasukkannya ke dalam amplop putih bersih, dan menuliskan dengan tinta biru: "Untuk: Dina - Dengan Rahasia". Aku merasa seperti Shakespeare remaja. Operasi "Getar Hati Dina" siap diluncurkan.

Bab 2: Momen Kritis yang Mematikan

Esok harinya di sekolah, suasana genting. Aku memegang amplop itu di saku celana, seperti agen rahasia yang membawa dokumen vital. Dadaku berdegup kencang, berkali-kali lebih kencang dari saat lari keliling lapangan.

Rencananya sederhana: serahkan surat itu diam-diam ke tas atau mejanya saat dia nggak lihat.

Tapi alam punya rencana lain. Di tengah keramaian istirahat, saat aku sedang mencari momen yang tepat, Bu Sari tiba-tiba masuk ke kelas dan mengumumkan dengan suara lantang, "Anak-anak, kumpulkan PR Bahasa Indonesia kalian! Letakkan di meja guru sekarang!"

Kelas pun riuh. Semua orang memburu-buru mengeluarkan buku dan lembaran PR. Aku ikut panik. PR-ku ada di buku tulis khusus. Dengan reflek, sambil mataku masih menyasar Dina yang sedang asik ngobrol di depan, tanganku merogoh saku dan mengeluarkan… AMPLOP SURAT CINTA ITU.

Dalam keadaan panik buta, otakku nggak berfungsi. Alih-alih mengambil buku PR, tanganku justru meletakkan amplop bertuliskan "Untuk: Dina - Dengan Rahasia" itu di atas tumpukan kertas PR di meja guru. Aku bahkan nggak sadar. Pikiranku masih penuh dengan Dina. Setelah "mengumpulkan PR", aku langsung balik badan, mencoba mendekatinya lagi.

Bab 3: Bom Waktu di Meja Guru

Bom waktu itu berbentuk amplop putih dan meledak tepat di pelajaran Bahasa Indonesia, dua jam kemudian.

Bu Sari duduk di depan kelas dengan segunung kertas di depannya. Dia mulai memeriksa PR satu per satu, kadang mengangguk, kadang menghela napas. Lalu, sampailah tangannya pada sebuah amplop putih yang mencolok di antara tumpukan buku dan kertas folio.

Dia mengambilnya. Matanya berbinas. Seluruh kelas tenang.

"Untuk: Dina - Dengan Rahasia," dia membacakan tulisan di depan amplop dengan suara jelas. Suasana kelas yang tadinya hening, langsung pecah dengan desisan dan cekikikan.

Dina yang duduk di barisan tengah, langsung memerah wajahnya. Aku? Darah di sekujur tubuhku berhenti mengalir. Aku membeku. Rasanya seperti mimpi buruk di mana kamu telanjang di depan umum, tapi jauh, jauh lebih buruk.

Bu Sari, dengan alis yang terangkat tinggi, membuka amplop itu. "Wah, ternyata ada surat rahasia nih di antara PR kalian. Mari kita lihat isinya," katanya dengan senyum tipis yang bikin bulu kuduk berdiri.

Bab 4: Pembacaan yang Menyiksa Selama 1000 Tahun

Dan dimulailah pembacaan paling dramatis dan memalukan dalam sejarah hidupku. Bu Sari, dengan intonasi dan penjiwaan layak seorang dalang wayang, membacakan surat cintaku kata demi kata.

"Di antara riuh rendah bel sekolah dan hiruk-pikuk lorong kelas…" dia mulai. Cekikikan sudah mulai terdengar.

"…rasanya kayak dunia slow motion." Beberapa anak laki-laki di belakang sudah menutup mulut mereka.

Saat dia sampai pada bagian, "Bahkan suara ketawa kamu itu loh, kayak musik yang bikin aku lupa sama semua masalah, termasuk PR Matematika yang numpuk," seluruh kelas tidak bisa menahan diri lagi. Tertawa lepas menggema di ruangan itu. Dina memendahkan kepalanya, kupingnya merah padam.

Aku ingin sekali menghilang. Menjadi debu. Atau minimal, kesamber petir.

Puncaknya adalah ketika Bu Sari membacakan kalimat, "Aku traktir popcorn." Dia berhenti sejenak, memandang ke arahku yang sedang mencoba menyatu dengan kursi. "Wah, yang nulis kayaknya baik banget ya, mau traktir popcorn," katanya sambil tertawa kecil. Kelas semakin menjadi-jadi.

Bab 5: Konsekuensi yang Abadi

Setelah surat itu selesai dibacakan—yang terasa seperti satu abad—Bu Sari meletakkan kertas itu. Dia tidak marah, malah terlihat sangat terhibur.

"Rangga," panggilnya. Suaranya menggema di kelas yang tiba-tiba senyap lagi. "Kreatif sekali ya menulis deskripsi. Sayang sekali salah alamat. Suratnya untuk PR Bahasa Indonesia, dapat nilai E. Alasannya: tidak menjawab soal!"

Kelas meledak lagi. Aku hanya bisa mengangguk pelan, wajahku lebih merah dari bendera.

Setelah pelajaran usai, aku adalah bahan gunjingan utama. Dina menghampiriku. Jantungku berdebar, masih ada sisa harapan.

"Rangga," katanya.
"Iya, Din? Maaf ya tadi, aku…"
"Gue malu banget, Rang. Jangan ngomong sama gue dulu, ya."

Crek. Hati ini hancur berderai. Bukan cuma ditolak, tapi ditolak dengan cara yang paling spektakuler dan publik dalam sejarah pergaulan sekolah.

Epilog: Legenda yang Tak Terlupakan

Hingga kami lulus, bahkan sampai sekarang saat reuni, cerita itu tetap hidup.

"Eh, ingat nggak si Rangga yang surat cintanya dibacain Bu Sari? Gila, itu plot twist terbaik se-SMP!" adalah kalimat yang selalu muncul.

Dina dan aku akhirnya bisa berteman baik, dan itu jadi bahan ledekan yang lucu antara kami. "Traktir popcorn, dong, yang dulu janjiin!" godanya kadang-kadang.

Pelajaran berharganya? Jangan pernah mencampurkan urusan hati dengan urusan akademis. Periksa kembali apa yang kamu kumpulkan ke guru. Dan yang paling penting, kadang-kadang, lebih baik bilang langsung daripada lewat surat yang berisiko salah alamat.

Sekarang, setiap kali ada yang ngomongin surat cinta, aku cuma bisa senyum-senyum getir. Aku adalah bukti hidup bahwa sebuah deklarasi cinta bisa berubah menjadi sesi komedi publik yang dibintangi oleh dirimu sendiri, tanpa izin.

Jadi, buat kalian yang lagi mau kasih surat cinta, pastikan kalian nggak salah masukin amplop. Atau, lebih baik, chat aja le WA. Risikonya jauh lebih kecil. Kecuali kalau kalian kirim screenshot-nya ke grup kelas. Itu level malu yang sama sekali berbeda

 

No comments:

Post a Comment