Tuesday, October 14, 2025

Gara-Gara Suratan, Aku Dikira Agen Rahasia oleh Temen Sekelas

Hidup ini kadang-kadang nggak kayak di film. Di film James Bond, sang spy dengan cool-nya nyodorin secarik kode rahasia ke agen perempuan cantik di balik bar, lalu mereka lanjut ke adegan kejar-kejaran mobil yang bikin degup jantung kita ikut-ikutan. Di kehidupan nyata? Aku cuma nyodorin secarik kertas lipat segitiga ke Rina, cewek yang naksir mati di kelas, dan dia malah nanya, "Ini kupon diskon minimarket ya?"

Mari kita mundur sedikit ke awal petualangan bodoh ini.

Semuanya berawal dari kebosanan tingkat akut di jam pelajaran Sejarah. Pak Guru menerangkan dengan penuh semangat tentang Perang Diponegoro, sementara di depanku, Rina, sang pujaan hati, sedang menata rapi buku-bukunya. Cahaya dari jendela menyorot rambutnya yang hitam legam. Saat itulah, sebuah ide gila—dan, dalam retrospeksi, sangat-sangat tolol—muncul di kepalaku.

Aha! Kenapa aku nggak coba cara yang unik untuk deketin dia? Sesuatu yang misterius, yang bikin penasaran, yang nunjukin kalau aku ini cowok dalam dan penuh teka-teki. Daripada chat WA yang isinya cuma "oi" atau "lagi apa?", lebih baik aku gunakan SENI SURAT-MENYURAT RAHASIA!

Aku pun membuka buku catatanku, menyelinap di balik tumpukan buku, dan mulai menyusun masterpiece-ku.

Surat Pertama: Awal Mula Kekacauan

Isinya sederhana, sih. Aku cuma menulis:

"Si Merpati telah meninggalkan sarang. Matahari terbit di sebelah barat. Tunggu instruksi selanjutnya. - Si Bayangan."

Aku merasa seperti Napoleon Bonaparte yang sedang merencanakan penaklukan. Aku melipat kertas itu dengan rumit, bentuknya segitiga dengan ujung yang diselipkan ke dalam, persis seperti yang kubuat waktu SD dulu. Aku menyuruh teman sebangku untuk menyelipkannya ke dalam tas Rina.

Keesokan harinya, aku menyaksikan Rina membuka kertas itu dengan ekspresi bingung. Dia mengernyit, melihat ke sekeliling, lalu membuangnya ke tempat sampah. Oke, mungkin terlalu abstrak, pikirku. Aku perlu meningkatkan levelnya.

Surat Kedua: Misi yang Semakin Kacau

Surat kedua lebih "personal". Aku menulis:

"Target telah teridentifikasi. Dia mengenakan kaus biru dengan motif kucing. Prosedur pendekatan sedang disusun. Tetap waspada. - Si Bayangan."

Kali ini, Rina membacanya, lalu mendekati Sari, temannya yang memang kebetulan pakai kaus biru bermotif kucing.
"Sar, ini kamu yang kirim?" tanya Rina.
Sari menggeleng. "Bukan. Kok aneh sih? Jangan-jangan ini orang iseng."

Aku, dari jauh, merasa misi ini mulai tidak sesuai rencana. Mereka bukannya terkesima, malah curiga. Tapi seorang agen sejati pantang menyerah, bukan?

Puncak Kekacauan: Aku Dituduh Sebagai Sales

Inilah momen di mana semuanya meledak. Aku memutuskan untuk menggunakan kode yang lebih "canggih". Aku menulis pesan dengan kode angka sederhana, A=1, B=2, dan seterusnya. Isi pesannya:

"P 1 14 7 7 9 12 1 14 19 1 13 16 1 14 1 13 21"

Yang artinya: "Panggilan samaran sudah siap."

Aku dengan percaya diri menyelipkan kertas itu ke dalam bukunya saat dia pergi ke toilet. Saat dia kembali dan menemukannya, ekspresinya berubah dari bingung menjadi... khawatir.

Dia mengumpulkan teman-teman dekatnya. Aku pura-pura membaca di sudut ruangan, tapi telingaku menyembul seperti antena parabola.

"Ini yang ketiga kalinya, Rin," kata Sari dengan suara berbisik yang sebenarnya cukup keras untuk kudengar.
"Aku tau. Ini serem. Kodenya aneh-aneh," keluh Rina.
"Gue tau ini siapa," sahut Andi, si tukang ngibul kelas. "Ini modus baru! Pasti."
"Modus apa?" tanya mereka kompak.
"Ya, modus penipuan! Jualan pulsa atau MLM! Biasanya nih, mereka ngasih kode-kode gini biar kita penasaran, terus nanti diajak meeting atau diminta top up pulsa. Bapak gue aja kemarin hampir ketipu skema kayak gini!"

DUNIAKU BERHENTI.

Aku... dikira... sales MLM?!

Bukan dikira agen rahasia internasional, bukan dikira anggota geng rahasia, tapi sales MLM dan penjual pulsa! Rasanya seperti dihantam oleh sebuah truk yang penuh dengan barang dagangan "Paket Hemat 10GB Cuma 50 Ribu".

Mereka mulai mengamati semua orang yang mendekati mereka. Dan karena akulah yang paling sering "kelihatan tidak mencurigakan" di dekat mereka (karena ingin memantau hasil operasiku), aku menjadi tersangka utama.

"Lihat tuh si Fajar," bisik Sari suatu hari. "Dari tadi diem aja, tapi matanya keliling-keliling. Itu ciri-ciri sales yang lagi observasi calon member."
"Bener juga," balas Rina. "Kemaren juga gue liat dia lagi nulis-nulis sesuatu. Jangan-jangan dia nyatet siapa aja yang mau diajaknya."

Aku ingin berteriak, "BUKAN! ITU CATATAN SEJARAH, RIN! TENTANG PERANG DIPONEGORO YANG GAGAL KARENA PAK GURU NGAJARNYA BANGET!"

Tapi tentu saja aku diam. Seorang agen (atau dalam kasus ini, calon sales) harus bisa menahan diri.

Operasi Penyelamatan Diri yang Gagal Total

Aku harus mengakhiri kekacauan ini. Aku memutuskan untuk mengirim "surat terakhir" yang menjelaskan semuanya. Aku menulis dengan jujur dan polos:

"Rina, ini Fajar. Aku cuma mau bilang kalau kamu cantik. Surat-surat sebelumnya cuma buat deketin kamu. Maaf ya kalau bikin kamu khawatir. - Fajar (bukan Si Bayangan lagi)."

Aku kira ini akan menyelesaikan masalah. Aku membayangkan dia akan tersipu malu, lalu tersenyum manis padaku.

Kenyataannya?

Dia dan teman-temannya malah semakin yakin dengan teori MLM-nya.

"Tuh kan!" seru Andi seperti Sherlock Holmes yang baru menemukan petunjuk utama. "Ini namanya soft approach! Dia pura-pura nembak, nanti kalau udah dekat, baru dia tawarin produk-produknya. Itu namanya building rapport! Bapak gue diajarin itu sama uplinenya!"

Rina memandangku dengan penuh kasihan. "Fajar, kita temenan aja ya. Aku nggak minat jadi downline kamu. Produknya apa sih, kok sampe harus pakai kode-kode gitu?"

Aku cuma bisa melongo, otakku kosong. Bagaimana cara melawan logika yang begitu... airtight? Mereka sudah membangun narasi yang begitu kuat, dan penjelasanku yang sebenarnya justru dianggap sebagai bagian dari skema.

Epilog: Aku, Sang Legenda

Akhirnya, setelah beberapa hari, badai itu reda dengan sendirinya. Mereka menyadari bahwa aku tidak pernah menawarkan satu pun produk, tidak ada meeting gelap, dan pulsa mereka tetap aman.

Tapi reputasiku sudah terlanjur.

Hingga hari ini, bahkan setelah kami lulus, setiap kali ada acara reuni atau sekadar kumpul-kelas di grup WA, cerita itu selalu dihidupkan kembali.

"Eh, ingat nggak dulu waktu Fajar jadi agen rahasia MLM? Modusnya pake kode-kode, tapi ternyata cuma mau nembak Rina!" canda seseorang.

Rina, yang sekarang sudah jadi teman baikku (dan sudah punya pacar, sayangnya), cuma tertawa. "Iya, gue dikirimi kode angka, dikira mau diajak misi rahasia, ternyata cuma Panggilan Samaran. Ya elah, Far!"

Aku hanya bisa menghela napas dan ikut tertawa. Pelajaran berharga dari petualangan bodoh ini adalah: Hidup ini bukan film spy. Kalau kamu suka seseorang, lebih baik bilang langsung. Daripada pake kode rahasia yang malah bikin kamu dikira sales MLM yang gagal.

Dan untuk Andi, si ahli teori konspirasi kelas itu, kabarnya dia sekarang benar-benar jadi sales. Dan dia masih bersikeras bahwa dulu itu adalah "strategi marketing-ku" yang genius, meski gagal total.

Jadi, buat kalian yang punya rencana romantis ala-ala agen rahasia, pertimbangkan lagi. Resikonya bukan cuma ditolak, tapi juga mendapat gelar baru: "Mantan Agen MLM Paling Kreatif dan Misterius se-Kelas".

Sudah deh, males. Gue mau ngisi pulsa dulu, nih. Eh, bercanda! Atau...? [mengedipkan mata penuh kode]

No comments:

Post a Comment