Hidup ini kadang-kadang nggak kayak di film. Di film James Bond, sang spy dengan cool-nya nyodorin secarik kode rahasia ke agen perempuan cantik di balik bar, lalu mereka lanjut ke adegan kejar-kejaran mobil yang bikin degup jantung kita ikut-ikutan. Di kehidupan nyata? Aku cuma nyodorin secarik kertas lipat segitiga ke Rina, cewek yang naksir mati di kelas, dan dia malah nanya, "Ini kupon diskon minimarket ya?"
Mari
kita mundur sedikit ke awal petualangan bodoh ini.
Semuanya
berawal dari kebosanan tingkat akut di jam pelajaran Sejarah. Pak Guru
menerangkan dengan penuh semangat tentang Perang Diponegoro, sementara di
depanku, Rina, sang pujaan hati, sedang menata rapi buku-bukunya. Cahaya dari
jendela menyorot rambutnya yang hitam legam. Saat itulah, sebuah ide gila—dan,
dalam retrospeksi, sangat-sangat tolol—muncul di kepalaku.
Aha! Kenapa aku nggak coba cara yang unik untuk deketin dia?
Sesuatu yang misterius, yang bikin penasaran, yang nunjukin kalau aku ini cowok
dalam dan penuh teka-teki. Daripada chat WA yang isinya cuma "oi"
atau "lagi apa?", lebih baik aku gunakan SENI SURAT-MENYURAT RAHASIA!
Aku
pun membuka buku catatanku, menyelinap di balik tumpukan buku, dan mulai
menyusun masterpiece-ku.
Surat Pertama: Awal Mula Kekacauan
Isinya
sederhana, sih. Aku cuma menulis:
"Si Merpati
telah meninggalkan sarang. Matahari terbit di sebelah barat. Tunggu instruksi
selanjutnya. - Si Bayangan."
Aku
merasa seperti Napoleon Bonaparte yang sedang merencanakan penaklukan. Aku
melipat kertas itu dengan rumit, bentuknya segitiga dengan ujung yang
diselipkan ke dalam, persis seperti yang kubuat waktu SD dulu. Aku menyuruh
teman sebangku untuk menyelipkannya ke dalam tas Rina.
Keesokan
harinya, aku menyaksikan Rina membuka kertas itu dengan ekspresi bingung. Dia
mengernyit, melihat ke sekeliling, lalu membuangnya ke tempat sampah. Oke, mungkin terlalu abstrak, pikirku.
Aku perlu meningkatkan levelnya.
Surat Kedua: Misi yang Semakin Kacau
Surat
kedua lebih "personal". Aku menulis:
"Target telah
teridentifikasi. Dia mengenakan kaus biru dengan motif kucing. Prosedur
pendekatan sedang disusun. Tetap waspada. - Si Bayangan."
Kali
ini, Rina membacanya, lalu mendekati Sari, temannya yang memang kebetulan pakai
kaus biru bermotif kucing.
"Sar, ini kamu yang kirim?" tanya Rina.
Sari menggeleng. "Bukan. Kok aneh sih? Jangan-jangan ini orang
iseng."
Aku,
dari jauh, merasa misi ini mulai tidak sesuai rencana. Mereka bukannya
terkesima, malah curiga. Tapi seorang agen sejati pantang menyerah, bukan?
Puncak Kekacauan: Aku Dituduh Sebagai Sales
Inilah
momen di mana semuanya meledak. Aku memutuskan untuk menggunakan kode yang
lebih "canggih". Aku menulis pesan dengan kode angka sederhana, A=1,
B=2, dan seterusnya. Isi pesannya:
"P 1 14 7 7 9 12
1 14 19 1 13 16 1 14 1 13 21"
Yang
artinya: "Panggilan
samaran sudah siap."
Aku
dengan percaya diri menyelipkan kertas itu ke dalam bukunya saat dia pergi ke
toilet. Saat dia kembali dan menemukannya, ekspresinya berubah dari bingung
menjadi... khawatir.
Dia
mengumpulkan teman-teman dekatnya. Aku pura-pura membaca di sudut ruangan, tapi
telingaku menyembul seperti antena parabola.
"Ini
yang ketiga kalinya, Rin," kata Sari dengan suara berbisik yang sebenarnya
cukup keras untuk kudengar.
"Aku tau. Ini serem. Kodenya aneh-aneh," keluh Rina.
"Gue tau ini siapa," sahut Andi, si tukang ngibul kelas. "Ini
modus baru! Pasti."
"Modus apa?" tanya mereka kompak.
"Ya, modus penipuan! Jualan pulsa atau MLM! Biasanya nih, mereka ngasih
kode-kode gini biar kita penasaran, terus nanti diajak meeting atau diminta top
up pulsa. Bapak gue aja kemarin hampir ketipu skema kayak gini!"
DUNIAKU BERHENTI.
Aku... dikira... sales MLM?!
Bukan
dikira agen rahasia internasional, bukan dikira anggota geng rahasia,
tapi sales MLM
dan penjual pulsa! Rasanya seperti dihantam oleh sebuah
truk yang penuh dengan barang dagangan "Paket Hemat 10GB Cuma 50
Ribu".
Mereka
mulai mengamati semua orang yang mendekati mereka. Dan karena akulah yang
paling sering "kelihatan tidak mencurigakan" di dekat mereka (karena
ingin memantau hasil operasiku), aku menjadi tersangka utama.
"Lihat
tuh si Fajar," bisik Sari suatu hari. "Dari tadi diem aja, tapi
matanya keliling-keliling. Itu ciri-ciri sales yang lagi observasi calon
member."
"Bener juga," balas Rina. "Kemaren juga gue liat dia lagi
nulis-nulis sesuatu. Jangan-jangan dia nyatet siapa aja yang mau
diajaknya."
Aku
ingin berteriak, "BUKAN! ITU CATATAN SEJARAH, RIN! TENTANG PERANG
DIPONEGORO YANG GAGAL KARENA PAK GURU NGAJARNYA BANGET!"
Tapi
tentu saja aku diam. Seorang agen (atau dalam kasus ini, calon sales) harus
bisa menahan diri.
Operasi Penyelamatan Diri yang Gagal Total
Aku
harus mengakhiri kekacauan ini. Aku memutuskan untuk mengirim "surat
terakhir" yang menjelaskan semuanya. Aku menulis dengan jujur dan polos:
"Rina, ini
Fajar. Aku cuma mau bilang kalau kamu cantik. Surat-surat sebelumnya cuma buat
deketin kamu. Maaf ya kalau bikin kamu khawatir. - Fajar (bukan Si Bayangan
lagi)."
Aku
kira ini akan menyelesaikan masalah. Aku membayangkan dia akan tersipu malu, lalu
tersenyum manis padaku.
Kenyataannya?
Dia
dan teman-temannya malah semakin yakin dengan teori MLM-nya.
"Tuh
kan!" seru Andi seperti Sherlock Holmes yang baru menemukan petunjuk
utama. "Ini namanya soft
approach! Dia pura-pura nembak, nanti kalau udah dekat, baru dia
tawarin produk-produknya. Itu namanya building
rapport! Bapak gue diajarin itu sama uplinenya!"
Rina
memandangku dengan penuh kasihan. "Fajar, kita temenan aja ya. Aku nggak
minat jadi downline kamu. Produknya apa sih, kok sampe harus pakai kode-kode
gitu?"
Aku
cuma bisa melongo, otakku kosong. Bagaimana cara melawan logika yang
begitu... airtight?
Mereka sudah membangun narasi yang begitu kuat, dan penjelasanku yang
sebenarnya justru dianggap sebagai bagian dari skema.
Epilog: Aku, Sang Legenda
Akhirnya,
setelah beberapa hari, badai itu reda dengan sendirinya. Mereka menyadari bahwa
aku tidak pernah menawarkan satu pun produk, tidak ada meeting gelap, dan pulsa
mereka tetap aman.
Tapi
reputasiku sudah terlanjur.
Hingga
hari ini, bahkan setelah kami lulus, setiap kali ada acara reuni atau sekadar
kumpul-kelas di grup WA, cerita itu selalu dihidupkan kembali.
"Eh,
ingat nggak dulu waktu Fajar jadi agen rahasia MLM? Modusnya pake kode-kode,
tapi ternyata cuma mau nembak Rina!" canda seseorang.
Rina,
yang sekarang sudah jadi teman baikku (dan sudah punya pacar, sayangnya), cuma
tertawa. "Iya, gue dikirimi kode angka, dikira mau diajak misi rahasia,
ternyata cuma Panggilan
Samaran. Ya elah, Far!"
Aku
hanya bisa menghela napas dan ikut tertawa. Pelajaran berharga dari petualangan
bodoh ini adalah: Hidup
ini bukan film spy. Kalau kamu suka seseorang, lebih baik bilang langsung.
Daripada pake kode rahasia yang malah bikin kamu dikira sales MLM yang gagal.
Dan
untuk Andi, si ahli teori konspirasi kelas itu, kabarnya dia sekarang
benar-benar jadi sales. Dan dia masih bersikeras bahwa dulu itu adalah
"strategi marketing-ku" yang genius, meski gagal total.
Jadi,
buat kalian yang punya rencana romantis ala-ala agen rahasia, pertimbangkan
lagi. Resikonya bukan cuma ditolak, tapi juga mendapat gelar baru: "Mantan Agen MLM Paling
Kreatif dan Misterius se-Kelas".
Sudah deh,
males. Gue mau ngisi pulsa dulu, nih. Eh, bercanda! Atau...? [mengedipkan mata penuh kode]
No comments:
Post a Comment