Drama di Warung Kopi
Setting: Sebuah kafe mahal di kota. Seorang pria sederhana, Bang Ucok, masuk ke kafe dengan penuh percaya diri. Ia mengenakan kaus oblong dan sandal jepit, terlihat sedikit kebingungan dengan suasana kafe yang modern dan estetik.
Adegan 1: Bang Ucok vs Menu Kopi
(Bang Ucok melihat daftar menu digital di layar kafe dan mulai mengernyitkan dahi. Seorang barista, Dinda, menyapanya dengan ramah.)
Dinda: "Selamat datang, Kak! Mau pesan apa?"
Bang Ucok: (mencoba tetap tenang, tapi bingung dengan menu) "Ehhh... ini kopi ada yang biasa aja nggak?"
Dinda: "Oh, tentu Kak! Mau Americano, Espresso, Cappuccino, Macchiato, atau Affogato?"
Bang Ucok: (mikir keras) "Mmm... Itu yang Affogato, namanya kayak aliran silat ya?"
Dinda: (tertawa kecil) "Itu espresso yang disajikan dengan es krim vanila, Kak."
Bang Ucok: "Ohh... kalau yang Macchiato?"
Dinda: "Itu espresso dengan sedikit busa susu."
Bang Ucok: "Lah? Jadi Macchiato itu kopi dikasih busa doang?"
Dinda: "Iya, Kak, khas banget rasanya!"
Bang Ucok: (garuk kepala) "Nggak ada yang namanya Kopi Kapal Selam aja, ya?"
Dinda: (bingung) "Maksudnya apa tuh, Kak?"
Bang Ucok: "Kopi tubruk, Mbak. Yang ampasnya bisa buat ramalan masa depan."
Dinda: (tertawa) "Hehe, kalau di sini adanya kopi manual brew, Kak. Pakai metode V60 atau French Press."
Bang Ucok: (mikir keras lagi) "V60? Itu maksudnya harga kopinya 60 ribu ya?"
Dinda: (tertawa kecil) "Bukan, Kak! Itu metode penyeduhan kopi."
Adegan 2: Bang Ucok vs Harga Kopi
(Bang Ucok akhirnya menyerah dan menunjuk satu menu sembarangan.)
Bang Ucok: "Yaudah, saya pesan... ini aja deh, yang Latte."
Dinda: "Baik, Kak. Itu jadi 48 ribu, ya!"
Bang Ucok: (kaget dan langsung batuk-batuk) "Berapa, Mbak?! 48 ribu?! Kopi saya pake biji emas apa gimana?"
Dinda: "Hehe, itu harga standar, Kak."
Bang Ucok: (mencoba berpikir rasional) "Mbak, saya beli kopi sachet di warung cuma dua ribu, masih dapet kembalian buat beli gorengan."
Dinda: "Tapi ini kopi premium, Kak. Biji kopinya dari Amerika Selatan."
Bang Ucok: (membelalak) "Waduh, jauh banget perjalanannya ya! Itu harga termasuk ongkos pesawatnya juga, ya?"
Dinda: (tertawa) "Nggak, Kak. Memang kualitasnya beda."
Bang Ucok: (mikir sebentar, lalu garuk kepala) "Mbak, kalau saya pesan air putih aja, berapa?"
Dinda: "Air mineral? Itu 20 ribu, Kak."
Bang Ucok: (menghela napas panjang) "Mbak, di rumah saya, air segalon cuma 15 ribu, bisa buat sebulan!"
Adegan 3: Keputusan Akhir Bang Ucok
(Bang Ucok akhirnya pasrah, tapi masih berat hati.)
Bang Ucok: "Mbak, kalau saya duduk aja di sini, terus pura-pura ngopi, gratis nggak?"
Dinda: (tertawa kecil) "Wah, nggak bisa, Kak. Minimal pesan sesuatu."
Bang Ucok: (menghela napas, lalu mendekati kasir dengan wajah pasrah) "Yaudah, Mbak... Saya pesan kopinya satu."
(Setelah membayar dengan berat hati, Bang Ucok duduk. Kopinya datang dalam cangkir kecil.)
Bang Ucok: (menatap kopinya, lalu kaget) "Lah?! Ini kopi atau sampel doang?!"
(Dinda tertawa sambil berlalu. Bang Ucok hanya bisa merenung sambil menyeruput kopinya dengan penuh kehati-hatian, takut kehabisan dalam satu tegukan.)
No comments:
Post a Comment