Sekolah memang tempat belajar, tapi siapa sangka kalau di dalamnya juga tersimpan panggung hiburan paling absurd sejagat. Kadang yang dipelajari bukan hanya rumus, tapi juga teknik tahan tawa, menahan emosi, dan cara paling elegan untuk tidak melempar spidol ke murid—walau sebenarnya sudah di ujung tanduk.
Dan salah satu cerita yang pantas dikenang dan
didokumentasikan untuk generasi masa depan adalah: Insiden Telepon yang Tak Pernah Hilang.
Pertanyaan
Sederhana yang Mengguncang Dunia
Hari itu cuacanya mendung. Angin bertiup pelan,
dan suasana kelas terasa damai. Bu Guru—dengan langkah penuh wibawa dan rambut
yang dikuncir rapi—masuk ke kelas sambil membawa spidol. Senyumnya tulus,
semangatnya membara.
Beliau berdiri di depan kelas, menatap
anak-anak dengan penuh harapan. Lalu dengan suara lantang penuh semangat,
beliau bertanya:
“Anak-anak,
ada yang tahu siapa penemu telepon?”
Sebuah pertanyaan biasa. Normal. Masuk akal.
Seharusnya dijawab dengan nama yang sudah hafal sejak SD: Alexander Graham Bell. Tapi, sayangnya,
beliau mengajukan pertanyaan itu di KELAS PALING NYENTRIK sepanjang sejarah
dunia pendidikan: kelas 9B.
Tira Si
Lugu, Tapi Jleb
Tangan pertama yang terangkat adalah milik
Tira. Siswi yang dikenal pendiam, rajin, dan tidak banyak gaya. Bu Guru sempat
menghela napas lega. Mungkin kali ini kelas akan menunjukkan keseriusan.
“Emang
telepon siapa sih yang hilang, Bu?” tanya Tira dengan polosnya.
Bu Guru terdiam. Seluruh kelas ikut diam.
Bahkan jam dinding seperti berhenti berdetak.
“Maksud
Ibu tuh penemu, Tir. Penemu. Bukan orang yang kehilangan.”
Tira tersipu malu. Tapi suasana belum selesai.
Di kelas ini, satu tanya ngawur artinya membuka pintu kegilaan massal.
Dika Si
Juru Bercanda Kelas
Setelah Tira selesai mempermalukan logika,
giliran Dika yang buka suara. Anak ini memang hobi ngelucu, entah sedang mood
atau tidak. Kadang bercandanya lucu, kadang bikin guru pengen ganti profesi
jadi petani.
“Bu…
kalau gitu, laporin aja ke tim Termehek-mehek!”
Gerrr!
Kelas langsung meledak. Ada yang nyengir, ada yang hampir batuk darah menahan
tawa. Sementara Bu Guru… mulai terlihat ada urat tipis di pelipisnya.
“Termehek-mehek apaan, Dik?”
“Itu lho
Bu, acara yang bantuin nyari orang hilang. Siapa tahu bisa bantu nyari
teleponnya juga.”
“Dik... yang Ibu maksud itu PENEMU TELEPON.
Penemuuu. Bukan laporan kehilangan!”
Udin
Sang Ahli Ekonomi Pasar Gadget
Dan karena hari itu semesta ingin menguji
kesabaran Bu Guru, tentu saja Udin ikut nimbrung. Udin, yang dalam legenda
sekolah dikenal sebagai Master of Tidak
Serius, Raja Jawaban Ngawur, dan Pangeran Alasan Palsu, pun menyumbang
pendapat.
Dengan wajah datar dan ekspresi sok bijak, dia
berkata:
“Bu,
cuma telepon aja diributin. Beli lagi lah di konter, banyak tuh. Yang merek
Cina, cepek juga udah dapet.”
Gubrakk.
Suara meja dipukul pelan. Ada yang jatuh dari
kursi. Bahkan Bu Guru nyaris terisak. Bukan karena sedih, tapi antara nahan
tawa dan nahan emosi.
“Ini
bukan soal beli telepon, Din. Ini pelajaran sejarah penemuan teknologi. Kita
bahas tokohnya, bukan tokonya!”
Udin hanya mengangguk, lalu berkata:
“Ohh
gitu… ya kenapa nggak bilang dari awal sih, Bu, kan saya jadi nggak usah
mikirin diskon di konter.”
Bu
Guru: Sosok Pejuang yang Tak Pernah Mengalah
Jika ada penghargaan Pahlawan Kesabaran Nasional, Bu Guru layak masuk nominasi.
Hari itu, beliau diuji dari segala sisi: logika, emosi, dan iman. Tapi beliau
tetap bertahan. Tidak ada spidol melayang. Tidak ada sandal terbang. Hanya
tatapan kosong dan gumaman lirih:
“@#$%!~”
Itu bukan makian, bukan sumpah serapah. Itu
semacam mantra untuk menahan ledakan batin. Karena memang, hanya guru yang tahu
betapa sulitnya menyampaikan konsep sederhana ke murid yang pikirannya terbang
entah ke mana.
Tawa
adalah Vitamin Belajar
Tapi begitulah dunia pendidikan.
Kadang yang datang ke kelas bukan hanya buku
dan pena, tapi juga kelucuan, keluguan, dan tingkah laku yang bikin pengen
ngakak sambil menangis. Dan dari situlah kita belajar bahwa tidak semua
pelajaran harus serius. Ada kalanya candaan—meskipun ngaco—justru jadi jembatan
penghubung antara guru dan murid.
Mungkin hari itu tidak ada yang menyebut
Alexander Graham Bell. Tapi semua murid pasti akan ingat bahwa belajar bisa
dibungkus dengan tawa. Bahwa Bu Guru, meskipun nyaris migrain, tetap sabar dan
menyelipkan pelajaran di balik drama absurd kelasnya.
Telepon
Bukan Hanya Alat, Tapi Simbol Komunikasi
Lucunya, dari semua kejadian ini, kita juga
bisa melihat makna simbolik dari “telepon” yang dibahas.
Telepon itu alat komunikasi. Sama seperti guru
dan murid, komunikasi itu penting. Tapi seringkali, pesan dari guru dipahami
berbeda oleh murid. Ketika guru bicara “penemu”, murid pikir itu “pencari
barang hilang.” Ketika guru bicara sejarah, murid pikirnya gosip zaman dulu.
Tapi komunikasi bukan soal kesempurnaan.
Kadang justru dari miskomunikasi itu muncul kehangatan, kedekatan, dan cerita
yang akan dikenang seumur hidup.
Penutup:
Pelajaran yang Tak Ada di Buku
Jadi, apakah hari itu kelas 9B gagal belajar?
Tidak juga.
Mereka memang tidak hafal nama penemu telepon.
Tapi mereka belajar bahwa:
·
Guru itu
manusia super yang sabarnya di luar nalar.
·
Tertawa
bersama teman itu adalah bagian dari proses belajar.
·
Kalau
nggak tahu jawaban, jangan asal nyambung ke TV.
·
Dan yang
paling penting: jika ditanya penemu telepon, jangan jawab “Cek di konter.”
Karena kalau Alexander Graham Bell hidup di
zaman sekarang dan dengar cerita ini, bisa jadi dia akan tertawa terbahak
sambil berkata:
“Saya
nyiptain telepon biar orang makin nyambung, bukan makin nyeleneh.”
No comments:
Post a Comment