1. "Linggis dari Gudang": Balas Dendam Pemuda Kecil di Bar
Di sebuah kota kecil yang hanya punya satu jalan utama, satu pasar tradisional, dan satu bar dengan kursi goyang rusak di pojok ruangan, terjadi sebuah kejadian luar biasa.
Bar itu bernama "Santuy's Tavern". Tidak terlalu ramai, tapi cukup terkenal. Bukan karena minumannya enak, melainkan karena pemilik bar-nya, Pak Jatmiko, yang dikenal suka karaoke sendirian dengan suara seperti knalpot bocor.
Malam itu, suasana bar cukup tenang. Hanya ada beberapa pelanggan. Di sudut ruangan, duduk seorang pemuda kecil—badannya mungil, kurus, memakai jaket jeans belel dan celana ngatung. Ia sedang menyeruput minuman ringan sambil menikmati musik pelan dari radio tua.
Tak ada yang spesial darinya. Ia bukan pengunjung tetap, juga bukan pemabuk. Tapi malam itu, ia seolah menjadi tokoh utama dalam drama laga… dan tragedi.
Masuklah Si Preman
Pintu bar mendadak terbuka keras. Angin malam menyelinap masuk, mengibaskan tirai usang.
Masuklah Kobar, preman lokal. Badannya besar, perut buncit, dan lengan penuh tato gambar naga, harimau, dan entah kenapa… telur mata sapi. Kobar adalah legenda di lingkungan itu—tapi bukan karena kehebatannya, melainkan karena tidak ada yang berani bilang bahwa dia sebenarnya lebih mirip penjaga parkir minimarket daripada preman sungguhan.
Malam itu, Kobar sedang mencari “sensasi”.
Dan matanya langsung tertuju pada pemuda kecil itu.
“Heh, cacing pipih! Duduk santai aja? Gak kenal saya, ya?!”
Pemuda kecil tidak menjawab. Dia hanya melirik sebentar, lalu kembali memandangi gelasnya.
Tapi Kobar tak suka diabaikan. Tanpa peringatan, dia langsung menendang kursi si pemuda.
“Ciaaaattt!!” teriaknya, entah kenapa dengan gaya silat film 80-an.
Pemuda kecil jatuh tersungkur dari bangku.
Dengan sombong, Kobar berkata, “Itu tadi... Taekwondo dari Korea!”
Semua orang di bar diam. Pemilik bar mencoba pura-pura sibuk mengelap gelas yang sudah bersih sejak dua jam lalu.
Pemuda kecil, pelan-pelan, bangkit. Dia mengusap lututnya, duduk kembali di bangku, dan... diam. Tidak ada protes. Tidak ada balasan.
Aksi Kedua: Judo dari Jepang
Tak puas dengan aksi pertamanya, Kobar kembali menghampiri si pemuda. Kali ini dengan gaya lebih dramatis. Dengan satu tangan, dia menarik kerah jaket si pemuda dan...
"GUBRAKKK!"
Dibantingnya si pemuda ke lantai.
“Itu tadi... Judo dari Jepang!” katanya sambil menyeringai.
Pemuda kecil mulai terlihat memar. Tapi tetap tidak ada perlawanan. Ia duduk kembali, kali ini sedikit tertatih.
Orang-orang mulai kasihan. Tapi tak seorang pun berani mencampuri. Kobar memang dikenal bengis (walau sebenarnya takut sama istrinya).
Aksi Ketiga: Boxing dari Amerika
Beberapa menit berlalu. Pikir Kobar, belum puas kalau belum “kombo 3 jurus.”
Dia datang lagi. Kali ini tanpa basa-basi, langsung menghajar si pemuda dengan tinju ke pipi kiri.
“BUGGG!”
Pemuda itu terhuyung. Mulutnya mengeluarkan darah. Ia jatuh. Tapi masih sadar.
Kobar tertawa sambil berkata, “Itu tadi... Boxing dari Amerika, Bung!”
Pemuda kecil duduk. Tapi kali ini tidak kembali ke kursinya.
Dengan napas berat, ia berdiri perlahan. Lalu melangkah pelan ke arah pintu. Tidak berkata sepatah kata pun.
“Hahaha! Kabur dia!” seru Kobar bangga. Ia kembali ke mejanya, memesan minuman.
Misteri Gudang & Balasan Tertunda
Beberapa menit berlalu. Kobar masih tertawa sendiri, sambil menyombongkan diri ke siapa pun yang mau mendengarkan.
Tiba-tiba… pintu bar terbuka lagi.
Semua menoleh.
Masuklah pemuda kecil tadi.
Tapi kali ini, ada yang berbeda.
Dia tidak lagi berwajah bingung. Tidak gemetar. Ia melangkah pelan… pasti… seperti aktor laga dalam film India saat adegan klimaks.
Dia menghampiri Kobar. Dan sebelum siapa pun bisa bereaksi...
"BLETOKKKK!!"
Satu pukulan keras mendarat tepat di kepala Kobar.
Tubuh sang preman raksasa itu limbung, lalu jatuh ke lantai... pingsan. Nyaris tanpa suara.
Semua orang terdiam. Pemuda kecil mengusap pelipisnya yang sedikit berdarah. Ia memandang tubuh Kobar yang tergeletak, lalu memandang pemilik bar, Pak Jatmiko.
Dengan tenang, ia berkata:
“Pak, kalau dia bangun… tolong bilang... yang tadi itu adalah linggis dari gudang.”
Kejadian yang Mengubah Sejarah Bar
Keesokan harinya, cerita itu menyebar seantero kota kecil. Orang-orang menyebutnya “Insiden Linggis.” Kobar, sang preman, tidak berani keluar rumah selama dua minggu. Konon, ia mulai ikut kursus manajemen emosi dan meditasi.
Bar "Santuy's Tavern" mendadak ramai dikunjungi orang-orang yang ingin tahu cerita asli dari Pak Jatmiko.
Dan pemuda kecil itu? Ia pergi begitu saja malam itu setelah membayar minumannya. Tapi legenda tentangnya tetap hidup.
Pelajaran Moral (atau Tidak?)
Cerita ini menyimpan banyak hikmah:
-
Jangan remehkan orang berdasarkan ukuran tubuh. Kadang yang kecil itu menyimpan “alat berat”.
-
Taekwondo, Judo, dan Boxing memang keren, tapi linggis di gudang juga cukup mematikan.
-
Kalau mau cari ribut, jangan di bar. Apalagi kalau bar-nya punya gudang.
Dan tentu saja…
-
Selalu pastikan gudang Anda terkunci.
Penutup
Kisah pemuda kecil dan si preman menjadi salah satu cerita paling lucu dan legendaris yang pernah terjadi di kota kecil itu. Masyarakat bahkan mengusulkan agar bar "Santuy's Tavern" mengganti nama jadi “Linggis & Co.” sebagai penghargaan.
Pak Jatmiko menolak, tapi diam-diam mulai menjual kaos bertuliskan:
“Itu tadi… linggis dari gudang.”
CERCU
Cerita Lucu, Humor Tajam Setajam Linggis
======================================================
2. "Sandaran dari Warung Sebelah"
(Balada Bangku Kayu dan Dendam Tukang Bakso)
Di sebuah gang sempit yang hanya bisa dilewati satu motor dan satu kucing bersamaan (asal kucingnya rela minggir), terdapat sebuah warung kopi legendaris bernama "WarKop Damai". Bukan karena kopinya enak, tapi karena bangkunya keras dan senderannya longgar.
Pemiliknya, Pak Harun, sudah tua tapi semangatnya membara seperti air ketel yang lupa dimatikan. Di warung itu, berkumpullah para tukang ojek, bapak-bapak pensiunan, dan... satu tukang bakso keliling bernama Ujang.
Ujang adalah pribadi santun. Tapi di balik mangkok baksonya, tersimpan dendam lama—karena sandaran bangku Pak Harun telah merusak reputasi punggungnya.
Awal Mula Insiden
Suatu sore, Ujang mampir untuk ngopi. Duduklah ia di bangku kayu dengan senderan legendaris itu. Baru juga bersandar sedikit...
KREK!!
Sandarannya patah. Ujang jatuh ke belakang seperti jati diri saat ditinggal mantan.
Pak Harun: “Waduh, maaf, Jang! Itu memang udah goyang dari dulu...”
Ujang: “Dari dulu kenapa gak diganti, Pak?”
Pak Harun: “Itu sandaran punya nilai sejarah. Pernah diduduki ketua RT tiga periode berturut-turut.”
Ujang: “Punggung saya juga punya sejarah, Pak! Dan sekarang retaknya nambah babak!”
Pak Harun hanya nyengir sambil menawarkan kopi gratis. Tapi bagi Ujang, ini bukan sekadar jatuh. Ini... penghinaan terhadap sistem musculoskeletal nasional!
Aksi Balas Dendam
Seminggu kemudian, Ujang datang lagi.
Tapi kali ini... dia membawa obeng dan lem Fox.
Diam-diam, sebelum duduk, ia memperbaiki bangku yang patah. Tapi bukan untuk memperbaiki kenyamanan. Tidak, teman-teman.
Ia merekayasa bangku itu menjadi jebakan mematikan.
Sandarannya ia perkuat sedikit, namun hanya di satu sisi. Sisi lainnya ia ganjal pakai tusuk sate dan sumpah serapah dalam hati.
Lalu Ujang pergi.
Korban Pertama
Esok harinya, datanglah Pak RT yang sombong dan suka nitip utang kopi. Ia duduk di bangku jebakan Ujang. Dengan gaya sok penting, ia menyandarkan diri dan bilang:
Pak RT: “Wah, sandarannya udah dibenerin ya, Pak Harun?”
Pak Harun: “Lho? Saya gak benerin apa-apa...”
Pak RT: “Eh?”
KRAAAK!!!
Pak RT terguling, keteknya nyangkut di gagang pintu warung.
Ujang dari kejauhan hanya tersenyum...
“Itu tadi... sandaran dari warung sebelah.”
Epilog
Sejak saat itu, bangku itu dikenal dengan nama “Bangku Penguji Keimanan.” Siapa pun yang mencoba menyandar tanpa izin, biasanya jatuh… atau tercerahkan.
Pak Harun akhirnya mengganti semua bangku dengan plastik. Tapi cerita tentang Ujang si Penjual Bakso dan Dendam Sandaran tetap hidup di antara seduhan kopi dan keringat sore hari.
Pelajaran Moral:
-
Jangan pernah remehkan tukang bakso dengan obeng.
-
Sandaran palsu lebih berbahaya dari mantan yang pura-pura sayang.
-
Kalau ingin nyaman… bawa kursi sendiri.
CERCU
Cerita Lucu, Selegendaris Senderan Warung 😄
===============================================================
3. "Kerupuk dari Surau"
(Kisah Suara Mistis dan Rahasia Ibu-Ibu Pengajian)
Di sebuah desa yang adem dan damai, berdirilah Surau Al-Ikhlas, tempat di mana bapak-bapak mengaji, ibu-ibu bergosip berbalut doa, dan anak-anak lari-larian sambil makan kerupuk gratis.
Surau itu punya satu kebiasaan unik: setiap malam Jumat, ada pengajian khusus ibu-ibu lengkap dengan konsumsi—biasanya teh manis, pisang goreng, dan kerupuk udang cap Sabar Tak Bertepi.
Namun suatu malam, kejadian aneh terjadi.
Suara Gaib dari Dalam Surau
Malam itu, pengajian berjalan seperti biasa. Bu RT sedang khusyuk membaca ayat, Bu Lurah sibuk nyorekin pisang goreng, dan Bu Yati diam-diam menyelipkan dua kerupuk ke tasnya.
Tiba-tiba…
“KRAUK... KRAUK... KRAUK...”
Terdengar suara orang makan kerupuk—kencang dan dalam... padahal semua ibu-ibu sudah habis makan.
Semua saling pandang.
Bu RT: “Itu… suara siapa ya, Bu?”
Bu Yati (nada panik): “Saya gak makan lagi kok… sumpah, ini sisa gigitan terakhir saya tadi!”
Mereka diam. Sunyi. Tapi...
“KRAUK… KRAUK…”
Suara itu terdengar lagi. Kali ini lebih berat. Seperti... suara dari alam lain yang juga suka camilan gurih.
Seketika suasana mencekam. Ibu-ibu mulai merapat ke pintu keluar.
Bu Lurah: “Jangan-jangan… suraunya angker?”
Bu RT: “Jangan-jangan... kerupuknya jin yang punya!”
Tiba-tiba… pintu gudang surau terbuka pelan…
“Ciiiiit…”
Dan muncullah... Udin, anak kecil tetangga surau, dengan kerupuk menempel di pipi dan senyum bego.
Udin: “Maaf, Bu-Bu... saya ngumpet tadi... soalnya takut disuruh ngaji.”
Tangisan, Tawa, dan Terselamatkannya Surau
Setelah itu, suasana tegang berubah jadi tawa lepas. Ibu-ibu menertawakan diri sendiri. Bahkan Bu Yati, yang kerupuknya tinggal satu di tas, mengaku rela berbagi dengan Udin.
Bu RT: “Lain kali ngaji ya, Din, bukan ngunyah!”
Udin: “Siap, Bu. Tapi boleh sambil bawa kerupuk gak?”
Pelajaran Moral:
-
Jangan langsung menyalahkan jin kalau dengar suara aneh. Bisa jadi... anak tetangga belum makan malam.
-
Ibu-ibu bisa lebih takut sama suara kerupuk daripada suara ceramah.
-
Dan tentu saja... kerupuk dari surau tidak pernah salah. Yang salah hanya niat makan doang, tapi gak ikut ngaji.
4. "Kentut Misterius Saat Shalat Tarawih"
(Drama Masjid, Bau Tak Kasat Mata, dan Fitnah Berantai)
Ramadan di kampung Cibebek Wetan selalu meriah. Anak-anak main petasan, remaja masjid semangat ngatur karpet, dan ibu-ibu... sibuk ngeteh di emperan masjid sebelum Tarawih.
Tapi malam itu...
Di rakaat ke-6 Tarawih, terjadilah sebuah insiden yang mencoreng kesunyian dan ketakwaan.
Kronologi Bau
Imam masjid sedang khusyuk membaca:
“Walad dhaaallliiin… Aamiin…”
Dan jamaah pun ruku'.
Saat itulah, kejadian itu terjadi.
“PPRRROOOTTTTTT.”
Suara kentut keras, jelas, dan beraroma penuh penderitaan, muncul dari shaf tengah bagian kanan.
Semua jamaah langsung sadar... bahwa malam ini bukan sekadar ujian iman, tapi juga uji ketahanan napas.
Beberapa orang mulai goyah. Satu dua jamaah menahan tawa. Yang lain terbatuk pelan, berpura-pura masuk angin.
Pak RW, yang berada tepat di belakang sumber suara, terlihat gemetar. Bukan karena takut… tapi karena sedang menahan muntah sambil istighfar.
Fitnah dan Tuduhan Tak Berdasar
Selesai salam, jamaah masih duduk. Tapi suasana aneh. Sunyi… tapi tegang.
Pak Daeng: “Kayaknya si Ucup deh. Dia dari tadi gerak-gerak aneh.”
Pak RT: “Enggak, kayaknya yang pakai sarung kotak-kotak. Wajahnya merah.”
Buya Haji: “Semua diam… ini masjid. Kita jaga prasangka baik.”
Tapi sejujurnya… semua sedang menilai siapa yang paling mencurigakan.
Yang paling gelisah, paling ngipasin hidung, atau yang terlalu cepat keluar masjid.
Pahlawan Tak Terduga
Saat jamaah mulai bubar, dan kecurigaan makin kuat, seorang anak kecil datang dari arah belakang. Namanya Unyil. Usianya 9 tahun. Lugu, polos, dan... habis makan telur rebus busuk dari warung sebelah.
Dengan wajah tak berdosa, dia berkata:
“Pak Haji... tadi maaf ya. Saya gak tahan… abis makan telur, terus kebelet... jadinya kentut.”
Semua langsung menoleh.
Pak RW: “HAH?! Itu kamu?! Astaghfirullah... hampir saya fitnah tetangga saya sendiri!”
Pak Daeng: “Kirain si Ucup. Maaf ya, Cup.”
Ucup: “Gue emang sering gerak-gerak, tapi bukan berarti gue kentut, Bang!”
Semua pun tertawa lega… meski masih ada yang menutup hidung karena trauma.
Epilog
Sejak malam itu, masjid kampung Cibebek Wetan membuat aturan baru:
-
Anak-anak duduk di shaf paling belakang.
-
Yang habis makan telur, dilarang ikut Tarawih sebelum 30 menit lewat.
-
Dan siapa pun yang kentut, harus punya keberanian seperti Unyil: jujur, meski memalukan.
Unyil sendiri?
Ia dijuluki “Syekh Bau Angin” oleh anak-anak komplek. Tapi juga dihormati karena keberaniannya… menghadapi kenyataan, dan... gas buatan sendiri.
Pelajaran Moral:
-
Kentut bisa merusak ibadah, tapi fitnah bisa lebih membahayakan.
-
Jangan langsung menuduh orang... bisa jadi yang salah malah si bocil.
-
Dan paling penting: hindari makan telur rebus sebelum Tarawih.